Misteri Cinta Dari Tuhan

Malam minggu adalah malam yang spesial bagi kalangan muda mudi, begitu ramai para anak milenial halu lalang di jalan, ada dengan teman, dengan pacar, dengan keluarga, dan dengan genk-genk mereka. Nah.. kalau aku mamling begitu anak milenial menyebutnya, cukup sendirian, beli tiket bioskop, dan nonton deh film kesukaan ku. Jangan heran kenapa aku sendiri, karena pastinya aku jomblo. Tak terasa waktu larut, begitu selesai film, aku pun segera berlari hendak menuju lapangan pakrir untuk mengambil motor ku dan terus pulang. Tau kenapa aku buru-buru?, itu sebab aku tidak mau pulang keduluan ayah, bisa mampus aku di hukumnya. Ketika menuju keluar studio bioskop, kulihat di luar hujan turun dengan derasnya. Butiran keristal kecil lunak ini seolah-olah enggan untuk berhenti. Aku pun hanya terpaku di pinggir teras studio bioskop, dengan pandangan menatap kearah turunnya hujan. Sesaat tanganku terangkat untuk mengencangkan posisi bajuku, dengan tangan menghimpit tubuh untuk mendapatkan kehangatan ku sendiri, dari dinginnya hembusan angin hujan ini. Jemariku bergerak menggeliat saling bersalipan, agar erat pelukan yang kuciptakan untuk tubuh ku. Kalau sudah begini apa mau dikata, aku tidak mungkin bisa pulang lebih awal dari Ayah, sudah pasti dia akan marah besar kepadaku, dan menghukumku. Aku harap Ayah bisa mengerti dengan situasi ku saat ini.

Tubuhku gemetaran hebat akibat kedinginan. Tanpa sadar aku mulai menggigit bibir bawahku, rasanya sudah tidak kuat aku menahan hawa dingin yang menusuk tubuhku. Aku berusaha memejamkan mata sejenak, berharap saat mataku terbuka hujan sudah berhenti dan aku bisa segera pulang.

Baru saja hendak ku tutup mataku, seketika aku membukanya kembali dengan cepat. Kurasakan ada sesuatu yang membalut tubuhku. Pandanganku beralih melihatnya, dan ternyata sebuah jas piama hitam bercorak putih tengah melekat di tubuhku. Sontak aku mencari orang yang melakukannya. Mataku membulat dengan sempurna, kulihat seorang pria muslim sedang berdiri di hadapanku. Dia tersenyum ramah padaku. Bagai mana mungkin aku tidak tahu dia muslim dari pakaiannya saja terlihat jelas dia seorang muslim. Lagian lucu juga dia, kestudio bioskop, pakai baju seperti muslim sembahyang.

"Ini punya kakak?" tanyaku.

"Pakai saja, kamu pasti kedinginan" balasnya lalu tersenyum manis. Bahkan terlihat lebih manis dari gula yang termanis yang pernah ada di seluruh mukabumi ini. Ya.. sepertinya agak sedikit lebay. Tapi memang itulah adanya.

"Terimakasih" ungkap ku.

Pria itu hanya mengangguk sebagai peryataan itu sebuah jawaban. Sedangkan aku langsung tersenyum lebar sembari sibuk menormalkan detak jantungku. Salahkah jika kubilang aku mengaguminya? sebab baru pertama kali aku bertemu pria sebaik ini, yang santun, lembut, menghargai wanita, dizaman melinial seperti ini. Sampai-sampai terbersit pikiran ku, kalau lah dia menjadi suamiku kelak, wahh.. aku benar-benar tak bisa membayangkannya. Tapi apa dia mau ya?, pria dengan pakaian baju sembahyang nya orang muslim, sudah pasti dia muslim. Sedangkan aku beda keyakinan sama dia.

"Kamu sepertinya benar- benar kedinginan ya?" tanyanya tiba-tiba.

"Iya, kak, dingin sekali, tapi untungnya ada jas piama kakak".

"Alhamdulillah, jika itu bermanfaat untuk mu, mau pulang kemana?, apa mau di antar?", dia menawarkan jasa untuk ku.

"Makasih kak, tapi Maria ada bawa motor sendiri kok" jelas ku.

Tiba-tiba dia menatap ku, aku bingung apa makna tatapannya. "Nama kamu Maria?" dia melontarkan pertanyaan.

"Iya.. kak" jawab ku.

"Saya Muhammad Ibrahim Adam, panggil saja Adam" dia menyebutkan namanya.

Dari nama itu dan pakaiannya, sekarang makin jelas kalau dia muslim.

Itulah awal pertemuanku dengannya. Sebuah pertemuan yang tak dirancang dan hadir begitu saja. Dari pertemuan itu terlahirlah butir-butir kasih yang bersemayam di hati ku.

"Masih ingat saat kita bertemu dulu?" tanyanya.

"Aku selalu mengingat itu kak" jawabku mantap.

Sembari bibir ini mengulum senyum tulus ku padanya. Mata ku menatap penuh bahagia kepada pria yang kini berada di hadapanku. Ya, dia Muhammad Ibrahim Adam pria yang kutemui beberapa tahun lalu. Enta kenapa, setelah pertemuan yang pertama kali dulu, rasa itu hadir dan tumbuh dengan sendirinya, aku telah jatuh cinta padanya. Hingga akhirnya kami berdua memutuskan untuk menjalin kasih.

Hubunganku dengan Adam sudah berjalan selama empat tahun. Tapi sampai detik ini, Adam tidak tahu kalau aku ini bukan muslim. Dia pun tidak pernah bertanya dan tidak mempermasalahkan itu, cinta kami mengalir begitu saja. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku teringin sekali kalau dia membawaku kepada keluarganya. Memperkenalkan aku kepada Ayah dan Ibunya, sebagai tanda kalau dia serius pada ku. Tapi nyatanya tidak pernah, dan jujur aku kecewa sekali. Andailah dia mau melihat sedikit kedalam hati ku, ada segumpal cahaya harapan yang selalu berharap menunggu saat Adam melamarku, dan saat dia menyematkan cincin di jari manisku.

"Adam", seketika dia menoleh pada ku saat ku panggil namanya. Kami sebenarnya sedang berada di taman ibukota hari itu, yang mana ini adalah tempat kami biasa bertemu.

"Jika nanti banyak sekali perbedaan di antara kita, apa kamu akan tetap bertahan bersamaku?" tanya ku.

"Ya, aku akan selalu bertahan"

"Jika takdir bahkan, tidak merestui hubungan kita, apa kamu akan tetap mempertahankannya?"

"Ya aku akan tetap mempertahankannya"

"Terimakasih"

Aku merasa sangat puas mendengar jawaban yang keluar dari mulut Adam.

"Boleh aku memelukmu" tanyanku.

"Kita belum menikah lagi Maria aku harap kamu faham dengan batasan dosa, itu salah satu jalan yang dekat ke perzinahan. Ini bukan kali pertamanya aku menjelaskan Maria"

"Ya sudah, lupakan saja permintaanku itu"

Hari sudah mulai gelap. Kami berdua bergegas pulang. Adam membukakan pintu mobilnya untukku. Tak lama mobil yang kami kendarai melaju dengan cepat, menerobos jalanan Ibu kota Jakarta. Baru beberapa menit terasa berkendara, Adam menghentikan laju kendaraannya di depan sebuah tempat ibadah umat muslim.

"Maria, aku sholat dulu, bareng sekalian?" ujarnya.

Mendesir darah di tubuh ku, Adam mengajak aku ikut ibadah dengannya. Dalam hati ku berkata, aku bukan musli Adam.

"Aku belum boleh" jawab ku terbata.

"Astarfirullah, maaf aku tidak tahu Maria."

Dia pun menutup pintu mobil dan berjalan masuk ke tempat ibadahnya, meninggalkan aku didalam mobil dihalaman parkir. Tidak beberapa menit lamanya dia keluar, dan menghampiriku lalu melanjutkan perjalanan pulang.

"Tok, tok, tok" ku pukul daun pintu dengan dua buku jari ku.

Kulihat seorang wanita paruh baya muncul dibalik pintu. Daster panjang yang dipakainya menambah kesan keibuannya. Dialah pelindungku, sayapku yang selalu siap memapahku tatkala aku terjatuh, Dialah ibuku.

"Baru pulang? ini sudah malem lho" ucapnya padaku lalu melirik Adam yang ada disampingku.

"Iya bu kemaleman nih. Maaf ya Maria gak sempet ngabarin" ucapku sambil mencium punggung tangannya.

"Saya juga minta maaf karena saya Maria jadi kemaleman gini" kata Adam bersuara lalu mencium punggung tangan ibuku.

"Tidak apa-apa, tapi nanti jangan diulangi lagi. Kalian ini belum menikah, tidak baik kalau jalan berlama-lama dan selalu berdua" kata ibu ramah, tidak bagus dilihat tetangga.

Terbersit ingin ku memperkenalkan Adam kepada orang tuaku terlebih dahulu, untuk sedikit membuat Adam supaya mengerti.

"Adam mampir dulu lah"

"Kayaknya aku pulang aja Maria, Papa udah nunggu di rumah, katanya ada yang penting mau dibicarakan" ucapnya. Entah kenapa aku merasa dia sedang membohongiku.

"Oh ya udah, aku masuk ya"

Seminggu berlalu. Waktu berjalan dengan begitu cepat. Tapi selama itu pula Adam belum memperkenalkan aku pada keluarganya. Hatiku sudah memberontak, berteriak menyuruhku untuk mempertanyakan semua ini. Hubungan ini, perlu sebuah kejelasan status yang lebih serius, supaya ini tidak membingungkan.

Aku meraih ponselku. Tanganku mengetik pesan singkat untuk Adam. Mumpung hari minggu aku harus bisa menggunakannya dengan baik. Sangat jarang aku memiliki waktu luang seperti ini. Kesibukan ku dalam dunia kerja membuatku harus mengkesampingkan kesenanganku.

To: Adam

Adam kita ketemu di tempat biasa

From: Adam

Ok

Setelah itu aku mengambil tas kecil yang biasa menemaniku. Tak lupa aku memakai jaket levis kesayanganku. Jaket ini pemberian Adam untukku. Aku akan selalu memakainya walau nanti jaket ini sudah tak indah sekalipun. Karena yang membuatnya istimewa ini adalah pemberian pria yang sangat berarti di dalam hidupku.

"Adam, hubungan kita hampir mau berjalan lima tahun. Jujur aku tidak mau terus berpacaran seperti ini, tidak ada kejelasan sama sekali, aku sudah dewasa Adam. Ditambah lagi Ibu ku selalu menanyakan kapan aku menikah" ucapku pada Adam.

"Aku tahu"

"Kalau sudah tahu kenapa kamu tidak cepat melamarku? bahkan membawaku kepada keluargamu saja kamu tidak pernah"

Adam terdiam, dia tak menjawab pertanyaanku. Matanya menatap padaku dalam.

"Perbedaan keyakinan kita ini yang membuat aku menjadi pengecut seperti saat ini kamu lihat Maria. Hampir lima tahun dan kamu tidak pernah memberitahuku jika kita beda keyakinan. Disaat ku ketahui dan ku sampaikan kepada keluarga ku, mereka tidak bisa merestui hubungan ini"

Bagai disambar petir disiang hari. Ini sangat mengagetkan dan menyakitkanku, selama ini aku aku berfikir kalau dia bisa menerima perbedaan antara kami berdua. Tapi nyatanya aku salah, ternyata keyakinan menjadi permasalahan yang membuat rumit cinta kami. Bertahun-tahun ku pertahankan hubungan ini, dan harus kandas karena sebuah perbedaan keyakinan.

"Adam, aku harap kamu masih tetap bertahan. Adam kamu pernah mengatakan bahwa kamu akan mempertahankan hubungan ini, walau pun takdir tidak merestui kita" aku berusaha mengingatkan pada ucapannya. Walau pun sebenarnya aku kecewa, aku terlalu kecewa pada kenyataan. Aku terlalu kecewa pada takdir yang ada. Aku kecewa kenapa kita harus diciptakan dengan berbagai macam perbedaan.

"Adam kamu akan bertahan kan? kamu dan aku akan tetap berjuang. Bahkan kalau perlu aku akan pindah keyakinan"

Adam menggeleng dengan cepat. Menandakan dia tidak setuju pada ucapanku.

"Kamu mau meninggalkan Tuhan kamu? begitu? fikirkan dengan matang Maria.

Tanggapan Adam bagi ku itu terlalu dingin, aku merasa hubungan ini seperti menggantung bukan di sebabkan keyakinan kami yang berbeda, pasti ada sebab lain di sebalik ini semua. Ada misteri yang sedang di tulis Tuhan untuk aku dan Adam.