BAB 8: Minum obat 3 Kali Sehari

Hari ini Adelia bertekad untuk menyelesaikan segala hal yang berhubungan dengan persiapannya untuk masuk Bridging class hari Senin depan. Tahap pertama adalah menghubungkan laptopnya dengan koneksi internet gratis yang disediakan oleh kampusnya. Kemaren ia sudah membeli kabel-kabel yang diperlukan untuk menyambungkan koneksi itu ke laptopnya. Tinggal men-setting internet itu. Yes... setting... hemm.. sepertinya sulit...

Ia mencari para engineer yang biasa nongrong di common room flatnya. Mereka sedang sarapan bersama, dan kali ini sarapan mereka adalah roti bikinin mereka sendiri. Bentuknya seperti donat tanpa bolongan, dan mereka memakannya hanya dengan mengoleskan butter diatasnya. Sepertinya rasanya seperti spons cuci piring, karena muka mereka aneh ketika menggigitnya. Mengigitnya saja sepertinya sebuah tantangan tersendiri.

"Can someone help to set up my laptop to the University's line?", tanyanya kepada para cowok itu. Mereka saling memandang dan mengangkat bahu sambil menggeleng. "We don't have a laptop or a PC", jawab Josh si juru bicara.

"Whattt? So how do you guys finish your homework?", tanya Adelia.

"Well, we just go to the computer lab and do it there, print it there. We are a backpacker dear, we travel. We don't bring our laptop", katanya lagi. Adelia takjub. Wow, mereka memang kesini buat bersenang-senang aja rupanya. "Why don't you ask Ravi for help?", tanya Pat.

"Ohh good idea!", Adelia langsung ceria. But first, rapikan kamar, rapikan dandanan. Mungkin sang RA akan masuk ke kamarnya dan memperbaiki laptopnya. Haruskah ia siapkan makanan dan minuman agar sang cowok nyaman? Hehehehe. Ia segera ke dapur untuk merebus teh kesayangannya dan meninggalkannya di poci. Sukurnya kemaren ia membeli croissant lebih. Ia segera turun ke lantai 1 menuju flat 26. I memencet bel flat itu, dan mengatur nafasnya. Benar saja, sang RA langsung membukakan pinturnya.

"You must be Adelia from upstair right?", tanyanya. Adelia mengangguk. "Ravi, I'm having trouble connecting my laptop to the Uni line. Can you help me plisss", Adelia memohon dengan senyum paling manis dan mengatupkan kedua tangannya. Ravi tersenyum melihat tingkah Adelia.

"But I'm actually in the middle of RA meeting", katanya sambil menunjukkan meja makannya yang memang sedang dipenuhi beberapa mahasiswa menggunakan seragam RA.

"But I know someone who can help you. I taught him yesteday, and He already helped other people with it. So he should be able to help you", katanya. Kemudian ia mengetuk kamar nomor 2. Kamar yang letaknya persis dibawah kamar Adelia. Ia berbicara dengan sopan kepada penghuni kamar itu.

Adelia sempat mendengar sekilas cowok di dalam kamar itu berkata: "I'll go change first".

Adelia menunggu dengan sabar, semoga cowok di dalam lebih cakep dari Ravi. Huhuhu. Ketika akhirnya cowok itu keluar, Adelia benar-benar tidak bisa menahan rasa kagetnya. Bastian. Begitu juga cowok itu. Ia tidak menyangka, ia harus membantu cewek ini membetulkan saluran internetnya.

Cewek dengan dandanan sok imut dengan celana jeans biru ngepas, kaos pink dan jacket dengan tudung berwarna putih. Rambutnya ia cepol seadanya di bagian atas kepalanya. Tapi tampangnya pagi ini begitu cerah dan imut, sepertinya ia baru saja mandi. Sepagi ini sudah memakai parfum? Hemm….

"So Bastian, please help her, will ya?", Ravi memohon kepada Bastian. Cowok itu mengangguk sopan kepada teman satu flatnya itu. Adelia yang tidak tahu diri lantas langsung menuju lantai 2 dan membuka pintu flatnya untuk Bastian. Cowok itu melangkah pelan menuju flat Adelia.

Ia melirik ke common room mereka, dan menyaksikan 3 cowok eropa itu sudah rebahan dan duduk sembarangan di 3 sofa dengan pakaian seadanya. Para cowok bar-bar itu berteriak-teriak sambil menonton tivi. Bastian menggeleng-gelengkan kepalanya. Adelia mengarahkan cowok itu masuk ke dalam kamarnya. Ia membuka pintu kamarnya selebar-lebarnya.

"Tuh...", tunjuk Adelia kepada laptop yang terletak di meja belajarnya dengan bibir yang runcing dan mata yang menghindari tatapan Bastian. Cowok itu memindai sekilas kamar gadis itu. Hemmm sangat rapi dan terorganisir dengan baik. Tidak ada warna kontras menyala, hanya warna-warna lembut, putih, abu-abu dan ungu muda. Tidak ada sepatu kotor, tidak ada handuk tergantung, semua rapi dan terkesan sangat nyaman. Buku-buku kuliahnya yang masih sedikit sudah tertata rapi, begitu juga dengan peralatan tulis yang sepertinya semua baru, tersusun rapi di sekitar meja belajar. Area dekat laptop dibuat sangat kosong agar ia leluasa untuk belajar.

Bastian langsung memulai proses setting laptop itu, entah apa yang mulai ia ketak-ketik disitu. Kaki jenjangnya langsung memenuhi kolong meja belajargadis itu. Adelia tidak terlalu memperhatikan. Ia masih galau, haruskah teh dan croissant tadi ia keluarkan?

"Aku laper", kata cowok itu, seakan bisa membaca pikiran Adelia. Cewek itu melengos, dan kemudian berjalan ke dapur. Ia menuangkan teh di dari poci, dan menata croissant di piring Ikea yang baru di belinya. Ia letakkan teh dan roti dimeja belajarnya. Bastian meliriknya sekilas. Cepet juga nyiapinnya, batinnya.

"Aku ga minum teh", katanya datar sambil masih mengutak-atik laptop itu.

"Coba dulu", perintah Adelia. Siapa yang tidak suka teh racikan Adelia? Kemaren ia bereksperimen dengan membeli beberapa kantong bubuk teh dan teh kantong yang di jual di supermarket. Ia memang pecinta teh akut. Ia sama sekali membenci kopi. Ia coba meracik dengan menggabung-gabungkan teh satu dengan yang lain, memasangkannya dengan jenis gula tertentu atau madu, bahkan aneka krim atau susu kental manis. Ia bahkan berani mencampurnya dengan sari buah. Dari semua racikan, teh ini yang paling ia sukai. Biasanya ia minum ini ketika ia sedang galau. Teh ini bisa memberi rasa nyaman dan tenang.

Bastian akhirnya memberanikan diri untuk mencicipinya. Ia memang agak tergoda dengan wanginya. Udara diluar yang dingin, menambah nafsunya untuk meresap minuman itu. Hemm... rasa teh yang kuat, tapi lembut di lidah. Manisnya pas, harumnya meresap langsung ke ujung hidungnya. Ketika ia meminumnya, tenggorokan dan perutnya terasa hangat. Ia kembali menghirup wangi di gelas itu dan memejamkan matanya. "Teh apa ini? Enak banget!", batinnya dalam hati. Tiba-tiba fikirannya tentram dan dadanya nyaman.

Ia mencomot croissant di piring itu dan menggigitnya, "Ini buat aku kan?", tanyanya. Adelia pura-pura mengutak-atik Hp miliknya. "Udah di gigit baru nanyaaaaa", ejeknya. Bastian tersenyum dan langsung dengan lahap menghabiskan croissant itu. Ia kembali meneguk teh itu sampai habis, mumpung masih hangat. Tidak berapa lama, laptop Adelia dapat mengakses internet kampus. Cowok itu lantas berdiri. Adelia juga berdiri, dan langsung menuntunnya keluar dari kamarnya, dan berjalan ke arah pintu keluar. Membukakan pintu flat untuk Bastian...

Cowok itu tidak habis pikir. Dasar cewek itu tidak tahu berterima kasih! Ia mengikuti langkah Adelia. "Thanks for the tea and the pastry", katanya datar. Adelia mengangguk dan menutup pintu flat begitu saja... that's it.

Dasar gadis sinting, batin Bastian.

---

Setelah makan siang, Bastian memutuskan untuk berbelanja barang-barang yang masih ia perlukan di coles. Ia masih kesulitan beradaptasi dengan makanan yang bisa ia beli di sekitar asramanya. Untuk memasak, rasanya cukup sulit. Ia telah mendownload beberapa resep sederhana yang bisa ia lakukan sendiri. Toh teman-teman satu asramanya saja semua masak, harusnya tidak sulit toh?

Pandangannya tiba-tiba berhenti di sebuah lorong, yang ternyata berisi... alamakkk aneka macam pembalut wanita. Ia melihat Adelia sedang membanding-bandingkan satu produk dengan produk yang lain. Berapa banyak pembalut yang diperlukan gadis itu sih? Ia sudah mengisi trolley belanjaannya dengan begitu banyak barang lainnya, bagaimana ia akan membawanya ke asrama?

Bastian akhirnya melanjutkan belanjaannya ke arah bahan-bahan makanan, dan membeli beberapa coklat buatan Australia. Konon, coklat produksi dinegara itu rasanya enaaakk banget, karena produk susunya yang unggul. Bastian adalah penggila coklat. Kopi dan coklat.

Ketika Bastian membayar, ia dapat melihat Adelia melakukan hal yang sama, namun ia tidak melihat Bastian. Belanjaannya banyak sekali. Mungkin ada sekitar 8 kresek. Ia mengikuti gadis itu dari belakang. Ketika ia harus meninggalkan trolley di area supermarket, kelihatan gadis itu bingung dalam membagi tangannya untuk mengangkut semua belanjaan tersebut. Ia mencoba-coba mengangkat 2 atau 3 kresek, di satu tangan dan sisanya di tangan yang lain. Tapi sepertinya tubuh kurusnya mulai limbung.

Bastian langsung menyambar 6 kresek itu dan membaginya di tangan kiri dan kanannya. Beruntung hari ini ia hanya belanja 1 kresek saja. Adelia terkejut, ia mengira ada seseorang merampok barang belanjaannya.

"Ayo cepetan jalan, jauh nih", ajak Bastian sambil melirik ke arahnya. Adelia tidak menjawab. Ia membawa sisa kresek di tangannya. Ingin ia melarang Bastian, tapi ya saat ini ia memang benar-benar membutuhkan bantuannya.

Adelia sekilas menatap cowok itu dari belakang. Tubuhnya tinggi, bahunya sangat lebar. Satu-satunya olahraga yang benar-benar cowok itu tekuni adalah Volly, dan itu menjadi kebanggaan tante Wien. Tangan cowok itu besar dan lebar, pastinya kuat. Mengangkat 6 kantong kresek itu mah, kecillll buat doi.

Mereka berjalan sejauh 1 km tanpa berbicara satu sama lain. Bastian terus berjalan dengan kaki panjangnya, sementara Adelia harus sedikit berlari agar dapat mengimbanginya. Mereka akhirnya tiba di lantai 2 flat 27, dan Bastian menunggu Adelia membukakan pintu untuknya. Tapi gadis itu enggan.

"Taruh di situ aja. Thanks. Bye", katanya mengusir Bastian. Bastian menggigit bibirnya. Ok Fine, gadis tidak tahu diri tidak tahu terima kasih. Toh dia juga tidak ingin berada disitu, apalagi berharap disuguhkan teh seperti kemaren, batinnya. Ia kemudian langsung turun ke lantai flatnya.

---

Hari ini adalah hari pertama Adelia mulai bekerja. Ia mendapat shift pukul 5 sampai 9 malam.Tugasnya hari ini cukup gampang, hanya memastikan piring-piring sudha bersih dan kering, mengelap sendok-sendok basah, mengisi serbet, serta mengantarkan makanan ke meja. Bila sangat-sangat diperlukan, ia boleh mencatat pesanan para pelanggan yang datang. Adelia sudah berusaha menghafal mati aneka makanan-makanan khas India itu. Sukur banget Diva bisa membantunya.

Suasana restoran India itu ternyata sangat ramai. Setiap karyawan berlalu lalang hampir berlari untuk mencatat pesanan, mengantar pesanan, membersihkan meja, seakan-akan ada ratusan orang yang akan makan di restoran kecil itu. Tapi benar saja, ketika Adelia melongok keluar, ada antrian mengular orang-orang yang kedinginan, yang ingin menikmati makanan di restoran itu. Luar biasa. Adelia berusaha untuk mengikuti ritme para teman-teman Indianya dalam bekerja. Ia cukup kewalahan, karena bagaimanapun, ini adalah kerja restorannya yang pertama.

Waktu telah menunjukkan pukul 8 malam, ia mulai kelelahan. Apalagi, ini adalah hari pertama siklus haidnya. Ia bahkan tidak sempat ke kamar mandi untuk mengganti pembalutnya. Tapi sang manajer terus-menerus memberikannya pekerjaan, seakan tak rela ia bernafas lega bahkan untuk sedetikpun.

"Adelia, take order from table 8", kata manajernya. Adelia langsung mengambil buku pesanan dan melesat ke meja nomer 8. Ketika ia sampai ke meja itu, ia tidak percaya siapa yang akan memesan. Ravi dan Bastian! Sangkin kagetnya, Ravi sampai membetulkan letak kacamatanya dan menatap lekat Adelia.

"What are you doing in my favourite Indian restaurant, Adelia?", tanya Ravi. Adelia juga melongok tidak percaya. Kenapa...kenapa... ia bisa bertemu dengan Bastian lagi? Ini sudah kali ketiga hari ini! Seperti minum obat saja, pagi, siang dan malam? Kenapa mereka berdua bisa ada disini? Bastian juga menatapnya tak percaya. Jodohkah ini? Oh wait waitttt... memang pada akhirnya mereka akan menikah, tapi ini benar-benar aneh...

"I work here, do you wanna order something?", tanyanya sambil berkonsentrasi penuh pada buku menu dan buku pesanannya. Ravi dan Bastian saling memandang. Bastian memandang wajah teman masa kecilnya itu. Ada garis hitam di bawah matanya, dan mukanya memucat. Entah itu karena lipsticknya yang sudah hilang, atau ia seperti orang yang kekurangan darah merah.

"I want a butter chicken with rice. Can you suggest something for Bastian? I mean, your guys are from Indo, order something for him that He will love", jelas Ravi. Adelia berikir sebentar. Hampir semua makanan di menu tidak begitu pedas, karena menyesuaikan dengan selera warga Perth. Bagi orang Indonesia yang doyan sambel, pasti Bastian tidak akan suka butter chicken.

"I will suggest him Rogan josh, It's a little bit spicy, but I'm sure he can handle it", jelas Adelia. Kedua cowok itu mengangguk. Dalam beberapa menit saja, makanan mereka bisa diantarkan langsung ke meja nomor 8 itu.

"Please enjoy", kata Adelia. Ia kemudian melanjutkan pekerjaan lainnya. Ia tidak sabar untuk cepat-cepat pulang. Sebentar lagi pukul 9. Ia harus mengejar bus nomor 34, dimana ia harus berjalan sekitar 1 sampai 2 kilo dari restorannya. Entah ia sanggup atau tidak, perutnya sungguh menyiksa.

Ketika akhirnya sang manager mempersilahkannya pulang, Adelia sudah begitu pucat. Ia berjalan gontai keluar dari restoran. Tapi ia di hadang oleh 2 cowok. Ravi dan Bastian.

"Adelia, You don't look good. I'm driving. Let's go home together, shall we?", tanya Ravi. Adelia menatap Ravi dan Bastian bergantian. Ia menggeleng pelan. "No need, I can take the bus", katanya lemah.

"Kamu tuh uda pucat banget Del, Kamu lagi dapet kan?", tanya Bastian tegas. Adelia melotot menatap cowok itu! Ia refleks memegang belakang pinggulnya. Apa aku bocor? Ia menatap Bastian dengan tajam! Dari mana cowok itu tau?, batinnya.

"Enggak, lu tu pucat banget. Ayo pulang. Kalolo pingsan disini, gue juga yang repot di cecer ama mama", perintahnya. Akhirnya Adelia menurut. Mereka berjalan bertiga menuju mobil Ravi yang terparkir tidak begitu jauh dari situ.

Mobil Ravi tidak sebagus mobil Justin, dan sepertinya ia membelinya dengan hasil usahanya sendiri, seperti kebanyakan mahasiswa yang ada di kota tersebut. Adelia memilih untuk duduk di kursi belakang dan mencari posisi yang nyaman. Perutnya sakit sekali, dan sepertinya ia anemia. Ketika mobil itu berjalan, cuma butuh waktu beberapa menit sehingga Adelia langsung menidurkan badannya memenuhi kursi belakang mobil cowok itu. Ia langsung tertidur pulas.

"He must be extremely tired today," Ravi berhipotesis. Bastian mengangguk. Calon istrinya itu sama dengan dirinya. Mereka sama-sama anak tunggal, mereka sama-sama di besarkan kesepian karena kedua orang tua mereka sangat sibuk bekerja.

Dari kecil, baik keluarga Bastian dan Adelia, selalu memiliki harapan tinggi kepada anak-anak mereka. Tidak jarang mereka harus belajar berlebihan dengan jadwal les super padat. Beruntung Bastian memiliki otak yang encer, tapi bagi Adelia, semua itu pasti sebuah siksaan.

Ketika mereka datang kemari, Bastian yakin kalau gadis itu juga shock. Disini mereka bisa mengatur kebebasan mereka sendiri, yang penting mereka harus lulus tepat waktu. Hanya saja gadis ini pasti terlalu antusia ingin mencoba banyak hal. Hal-hal yang mungkin tidak bisa ia lakukan kalau ia pulang nanti. Hal-hal yang tidak bisa ia lakukan lagi bila mereka nantinya akan menikah...