BAB 56: Pulang Ke Jakarta

Adelia sedang memegang gelas wine keduanya sejak duduk di pesawat pagi ini. Sang pramugari sudah mengingatkan bahwa ini masih pagi, dan sudah seharusnya ia mendapatkan sesuatu yang lebih ringan seperti teh atau kopi. Tapi Adelia menggeleng. Ia membutuhkan tidur nyenyak untuk mengumpulkan tenaga melalui hari ini. Hari yang ia yakin adalah hari terberat sepanjang hidupnya.

Adelia melirik ke Bastian, yang duduk di lorong sebelah. Mereka sengaja duduk saling berjauhan, agar dapat memberikan ruang bagi masing-masing untuk berfikir. Harusnya mereka bisa duduk bersama dan memikirkan strategi penting menghadapi kemarahan orangtua mereka. Tapi Bastian terlalu shock dan Adelia belum berhenti menangis sejak tadi malam.

Ketika mama Cecilia memerintahkan mereka untuk pulang, Lisa dan Malik tetap bersama Adelia sampai pagi. Lisa membantu Adelia untuk packing seadanya, menyiapkan makan pagi mereka,dan tak henti memeluk tubuh gadis itu. Ketika saat mereka harus berangkat menuju airport, Malik mengantarkan dengan mobil bututnya. Selama proses itu, Maretha bolak-balik bertanya dan bertanya seperti orang gila. Namun tak ada satupun yang berselera untuk menjelaskan.

-------------------------------

Ini kali pertama Bastian memasuki gedung perkantoran Cecilia Adnan Marcomm. Ruang meeting dengan desain indah dan futuristik itu, sekarang terkesan begitu dingin dan mencekam. Adelia dan Bastian sedang duduk berdampingan seperti dua orang pesakitan. Di hadapan mereka, ada Gerhard Adnan, Cecilia Adnan, Abraham, dan Dr. Wien Abraham. Orangtua mereka yang membatalkan seluruh kegiatan mereka untuk menyambut Adelia dan Bastian dan masalah-masalahnya.

"Seperti yang udah Bastian katakan tadi malam papa, ini cuma salah paham aja. Temen serumah Adelia memang suka iseng dan suka nge-prank orang-orang yang nelfon ke flat itu. Kita jarang sekali telfonan pakai itu, makanya begitu ada yang telfon, suka di becandain. Ya kan Del?", Bastian meminta dukungan dari Adelia. Gadis itu pun mengangguk-angguk. Seperti yang mereka bahas di mobil tadi, mareka sudah menyamakan jawaban. Mereka harus bisa meyakinkan orangtua mereka bahwa penting bagi mereka untuk kembali ke Perth dan menyelesaikan kuliah.

"Tapi mencurigakan sekali Bastian. Omongan perempuan itu sangaaatt meyakinkan. Ia bilang Adelia menginap di rumah pacarnya, dan orang itu bukan kamu. Justru dia mengatakan bahwa dialah pacar kamu, Bastian. Jarang sekali ada kebohongan yang terlalu meyakinkan seperti itu.", kata Mama Cecilia.

"Sekarang jawab Adelia, apa kamu punya pacar?", tanya papa Adnan. Adelia menggeleng. Karena memang itu yang sebenarnya. Ia tidak menjalin hubungan apa-apa dengan Justin, dan ia telah putus dari Hisyam.

"Beneran papa, nama Justin yang disebutin oleh perempuan itu, sebenarnya adalah pacar sahabat Adelia. Papa boleh cek sendiri kok", kata Adelia sambil menyerahkan HP miliknya kepada orangtuanya itu. Tapi papa Adnan tidak mau repot mengeceknya.

"Ya sudah, jadi sekarang gimana? Tiba-tiba kepercayaan kami sama kalian jadi berkurang. Kan sudah perjanjian di awal, kalau setelah kalian wisuda, kalian akan menikah. Sekarang mama jadi ragu kalau disana kalian ternyata pacaran dengan orang lain. Bagaimana kalau kalian terlanjur...", mama Wien tidak sanggup meneruskan kata-katanya.

"Iya mama, Bastian pasti tepati janji Bastian. Kami tetap akan menikah, setelah kami wisuda. Bastian sudah janji kok sama diri Bastian, gak ada perempuan lain yang pengen Bastian jagain dan sayangi selain Adelia", kata cowok itu lantang, namun kemudian wajahnya menunduk. Sebenarnya, itu adalah kenyataan. Tapi mengucapkannya di depan Adelia, rasanya benar-benar memalukan sekarang. Bisa-bisa Adelia ge-er.

Dan benar saja, ada perasaan hangat luar biasa menjalar di hati Adelia. Rasa was-was, takut, sedih yang ia rasakan sejak kemaren malam, tiba-tiba di sapu bersih oleh kata-kata simpel yang keluar dari mulut Bastian.

"Adel juga gitu kok, tante, om, mama, papa. Adel udah janji sama diri Adel sendiri...Adel bakal mengormati, nurut dan sayang cuma sama Bastian. Tapi, Adel mohon, biarkan kami selesaikan kuliah kami dulu. Adel suka sama Bastian yang sekarang bebas, rajin belajar, bergaul bersama teman-teman disana, bekerja di perpustakaan, dan jadi teman yang selalu jagain Adel. Biarkan kami seperti ini dulu mama, papa", pinta Adelia.

"Adel bener tante, om, ternyata selama kita disana, kita justru bisa saling mengenal satu sama lain kok, tapi kita tetap punya kehidupan masing-masing. Justru kita sangat menikmatinya. Bener kan Del?", tanya Bastian lagi meminta persetujuan Adelia. Gadis itu menggangguk-angguk.

"Tapi bener loh Gerhard, aku tuh liat sekarang Bastian ama Adelia kompak yo, gak kayak dulu mirip tom and jerry. Selalu saling menghindar. Mereka toh sekarang kompak yo. Aku sering liat foto-foto mereka makan berdua", kata papa Abraham. Mama Wien pun mengangguk mengiyakan.

"Iya sih, kadang kalo aku telp, suka video call, ada Bastian juga. Aku sih percaya sama mereka. Tapi ini semua tergantung mamanya deh. Dia yang paling gak bisa tenang ini sejak kemaren", kata papa Gerhard Adnan. Mama Cecilia menatap kedua pasangan itu dengan serius sambil melipat tangan di dadanya.

"Aku gak mau ambil resiko. Secara random aku telfon tadi malam aja, ada masalah begini. Waktu mereka menikah akan semakin dekat, pasti godaan dan cobaan makin banyak. Aku gak tenang. Aku punya firasat yang aneh kalau kita biarkan mereka kembali ke Perth.

"Mama...pliss mama. Biarkan Adel balik ma, kuliah Adel paling lama 1 tahun lagi kok. Plisss", pinta Adelia sambil mulai terisak. Bastian dengan refleks, menggenggam tangan Adelia dengan satu tangannya, dan memeluk pundak gadis itu dengan tangannya yang lain. Sikapnya itu diperhatikan dengan seksama oleh kedua orangtua mereka. Mereka tidak menyangka bahwa Adelia dan Bastian sudah seakrab itu.

"Del, tenang dulu Del, kita omongin baik-baik", kata Bastian dengan lembut. Mama Cecilia tampak berfikir keras. Tadinya ia sudah merencanakan sesuatu untuk plan B. Rencana yang hanya akan di jalankan bila darurat saja. Tapi melihat dari sikap Adelia dan Bastian, ia tidak punya pilihan lain.

"Ya sudah, kalau kamu mau tetap melanjutkan kuliah sampai wisuda, dan tetap membuat kami tenang, hanya ada satu solusi. Kalian menikah sekarang juga.", kata mama Cecilia dengan tenang. Tidak ada kekagetan di wajah papa Adnan, papa Abraham dan mama Wien. Sepertinya sudah mereka bicarakan sebelumnya.

"APAAAAAA", sebaliknya Adelia dan Bastian berteriak histeris.

"Loh kenapa? Kok kalian kaget. Sekarang atau tahun depan toh kalian akan menikah juga. Apa salahnya dimajukan. Malah bagus donk. Kalian disana bisa lebih fokus belajar, saling mendukung, saling menyayangi dan saling menjaga. Dan kalian jadi lebih bebas dan aman melakukan hal-hal lain juga kan...", kata papa Abraham yang langsung membuat mama Cecilia dan mama Wien menutup mulut mereka karena terperanjat. Papa Adnan menahan tawanya dengan menggigit genggaman tangannya.

"What? Kita gak pernah tau loh anak jaman sekarang itu pergaulannya seperti apa. Kalau begini kan aman, bebas mereka mau jungkir balik", kata papa Abraham lagi mencoba lebih detail. Adelia dan Bastian kontan melotot menatap om Abraham.

"Papa ihhhh apa-apaan sih ngomongnya kok begitu. Kami gak seperti itu papa...", Bastian panik menjelaskan. Walau di dalam kepalanya, teringat kembali masa dimana ia dan Adelia menghabiskan malam bersama di sebuah tempat tidur kecil.

"Bener om, sama sekali enggak. Bastian...Bastian, selalu menghormati dan menjaga Adel. Beneran om, kami gak seperti itu...", kata Adelia ikut menambahkan. Walau ia juga terbayang malam panas ketika ia dan Bastian mabuk di kamar Adelia. Ciuman pertama mereka, ketika mereka tidur semalaman sambil berpelukan, ketika....

"Nah ya sudah bagus itu. I am with you Cecilia.", kata papa Abraham, yang diikuti oleh anggukan mama Wien.

"Aku juga setuju pa, biar mereka memulai kehidupan berumah tangga justru ketika mereka masih agak santai seperti ini. Biarkan mereka pacaran dulu setelah menikah disana. Seperti bulan madu tiap hari kan? Kalau mereka menikah tahun depan, dan mereka langsung bekerja kayak orang gila seperti kalian, gak bakal deh mereka ngerasain indah-indahnya awal pernikahan. Sudah cocok seperti ini.", kata mama Wien. Adelia dan Bastian langsung saling bertatapan dengan sesak nafas. Mereka kehabisan amunisi untuk menolak.

"Good then. Diluar udah ada Sarah, Bayu dan Jason. Mereka akan bekerja sama dengan WO yang bisa bikin pernikahan kilat. Kita punya waktu 3 hari. Pernikahan bisa kita bikin hari Minggu ini juga. Mita, suruh mereka semua masuk!", perintah Cecilia. Adelia dan Bastian tambah kacau fikiran mereka. Mereka akan menikah dalam waktu 3 hari!

"Apa semuanya mungkin ma? Tiga hari itu waktu yang singkat. Setidaknya ada ratusan orang yang harus kami undang. Kantor kami sendiri pasti pengen ngundang klien-klien penting. Belum saudara-saudara kita semua. Apa mereka bisa hadir dengan undangan sesingkat itu?", tanya papa Adnan.

"Beres itu mah. Pokoknya segala urusan wedding kita serahin ke WO, segala undangan nanti tim aku yang beresin. Aku minta mereka koordinasi sama sekretaris kalian untuk daftar undangan. Mbak Wien, nanti kamu tinggal kasih mereka daftar dokter dan direksi rumah sakit yang mau di undang, sama pihak keluarga. Aku yakin kita bisa handle 300 undangan. Hotel Grand Millenial ready, aku udah cek.", kata mama Cecilia lagi. Semua bernafas lega, kecuali Adelia dan Adnan.

Pintu ruang meeting terbuka, dan tampak 5 orang masuk. Mereka adalah Sarah, manajer dari divisi Media, Bayu manajer dari divisi krisis manajemen, dan Jason manajer dari divisi event. Tampak Jasmina Winata dari divisi event dan Rania Burnwood dari divisi krisis manajemen. Adelia mengenali Jasmina. Mereka pernah bekerja sama di kantor mama Cecilia. Saat itu, Adelia masih magang sambil kuliah.

"Jasmina, Rania, kamu pergi bersama Adelia dan Bastian ke butik yang ditunjuk Wedding organizer untuk fitting. Pastikan baju pengantin untuk Adelia sudah beres ya. Pastikan make-up, cincin, bunga, dekor, dan hotel untuk acara sudah beres. Gak perlu test food, menu biar Jason yang pilih. Dia tahu selera kami", perintah bu Cecilia. Rania dan Jasmina mengangguk-angguk.

"Bayu, Jason, pastikan 300 undangan sudah beres. Kami hanya mengundang pihak-pihak yang penting saja. Saya mau ke-300 undangan itu tidak hanya di antar secara khusus, tapi saya perlu RSVP. Pastikan mereka bisa hadir.", perintah bu Cecilia lagi. Jason dan Bayu mengangguk hormat.

"Jasmina, Rania, work with the WO. Jangan sampai ada yang salah. Sarah, siapkan tim media sosial. Saya mau coverage yang indah untuk acara ini. Siapkan tim fotografer yang terbaik. Atur satu orang fotografer untuk ambil candid selama persiapan pernikahan ini. Siapin studio untuk foto prewed juga. Pastikan bisa di pajang di hotel. Kamu ambil akun Adelia dan Bastian dan juga akun saya. Posting yang bagus. Kasih caption yang jelas dan isinya romantis semua. Saya gak mau ada coverage negatif untuk pernikahan ini. Paham?", jelas bu Cecilia lagi. Mereka semua mengangguk.

"Adelia, Bastian, sekarang kalian ikut bersama Jasmina dan Rania ke butik", perintahnya lagi. Adelia mendongakkan wajahnya ke arah Jasmina. Mata sembabnya menatap temannya itu, dan mencoba tersenyum. Jasmina mencoba memberi senyum terbaiknya, berharap gadis itu merasa lebih nyaman dan tentram.

--------------------------

"Pernikahan akan terjadi dalam beberapa hari Adelia, kenapa wajah kamu kusut begini?", tanya Jasmina pelan sambil mengelus punggungnya. Ia, Adelia dan Rania sedang duduk manis di sofa sebuah butik gaun pernikahan yang cukup terkenal di Jakarta. Adelia sedang memilih-milih gaun yang akan ia gunakan nanti. Bastian sedang mencoba jas yang akan ia pakai untuk acara di ruangan yang lain.

"Karena ini pernikahan paksa Jas, siapa yang suka di paksa-paksa?", jawab Adelia dengan tampang kosong.

"Aku kalau dipaksa menikah dengan pria itu, I will not complain", kata Rania terkikik. Adelia yang tadinya sudah merasa sedih, akhirnya melihat tampang bule itu dan mulai tersenyum.

"I mean, he's hot, he's smart, he's rich, I mean...", jawab Rania

"Maksud cewek gila ini adalah, kalau kamu gak mau, dia akan bersedia memungutnya", jawab Jasmina dengan bibir miring-miring menatap Rania dengan tajam. Gadis setengah bule itu mengangkat bahunya sambil tersenyum nakal. Adelia akhirnya menahan senyum gelinya.

"Hihihi aku gak pernah bilang gak mau nikah sama dia ya gaez hihihi. Tapi maksudnya... gak sekarang. Aku pikir tadinya setidaknya aku punya waktu lebih dari setaon untuk happy-happy di Perth sebelum akhirnya menjadi istri orang lain. Aku tuh masih 23 tahunnnn", jawab Adelia mencoba tersenyum menjelaskan.

"What! Perth! Aku dulu kuliah disana. Kamu di kampus mana?", tanya Rania. Mata Adelia membulat.

"Curtin...", jawabnya antusias dan menunggu jawaban Rania, berharap mereka kuliah di tempat yang sama. Gadis bule itu langsung melonjak-lonjak bahagia.

"Same with me! Where do you live? Aku tinggal di city bareng temen-temen Indonesia", jawabnya antusias.

"KV, di George James House", jawab Adelia yang membuat Rania kembali melonjak-lonjak.

"KKYYYAAA salah satu sahabatku tinggal di Japan house. Aku sering kesana, dan kami sering karaoke di waterford!", jawab Rania lagi, yang akhirnya membuat Adelia yang melonjak-lonjak bahagia.

"AARRRGHHH sama! Aku juga suka karaoke ke waterford. Walau tempat itu busuk, tapi aku suka suka suka karaoke disana tiap Rabu malam hahahaha", Akhirnya Adelia tertawa bahagia.

"Berarti kamu kuliah PR donk? Apa kamu ngambil mata kuliah si tua bangka yang gak suka sama gembel?", tanya Rania. Sepertinya ia sedang membicarakan dosennya yang sinis terhadap mahasiswa yang tidak memakai setelan kerja dalam tiap mata kuliahnya. Adelia mengangguk-angguk.

"Aku terpaksa beli baju-baju kerja seken di city Hahahahaha", kata Adelia yang membuat Rania mencengkeram tangannya dan tertawa terbahak-bahak.

"Ya ampunnn aku rindu masa-masa kuliah!", kata Rania bahagia. Jasmina lega, karena Rania telah membuat suasana menjadi cair. Adelia sekarang kelihatan lebih rileks.

"Ya, itu maksud aku Rania. Aku masih ingin menikmatinya. Berkencan sebanyak-banyaknya, pergi kemanapun yang aku mau, kerja apapun yang aku suka, setidaknya aku benar-benar bebas sebelum aku menikah. Sekarang... entahlah. Kata mama, kalau aku tidak menikah weekend ini juga, aku dan Bastian tidak akan kembali ke Perth untuk melanjutkan kuliah kami", jelas Adelia lemah.

"Berarti setelah selesai resepsi pernikahan, kalian akan kembalike Perth?", tanya Jasmina. Adelia mengangguk.

"Ya, secepatnya. Perkuliahan kami masih berjalan. Gak seperti kuliah di Indonesia yang bisa bolos-bolos begitu aja. Banyak tugas yang menanti disana", kata Adelia lagi.

"Kalian akan tinggal bersama?", tanya Rania. Adelia melotot dan mengibas-ngibaskan tangannya.

"Oh tidak- tidak tidak. Kami tinggal di asrama, di flat yang berbeda. Kami sudah bayar asrama per semester di depan. Hemmm aku kayaknya harus bikin perjanjian dengan Bastian. Setidaknya sampai kuliah kami selesai, aku mau tetap tinggal di flat aku sendiri", kata Adelia sambil melipat tangannya.

"Ah yang bener aja. Namanya aja sudah nikah. Pasti donk mau sama-sama terus. Kayak Jasmina nih, baru juga tunangan, langsung gak mau pisah. Padahal tadinya selama bertahun-tahun mereka santai aja tuh jarak jauh,", ejek Rania ke arah Jasmina.

"Whattt kamu tunangan sama siapa Jas?, tanya Adelia antusias. Ia belum pernah mendengar kalau Jasmina punya pacar. Padahal ia dulu getol sekali menjodohkan Jason dengan Jasmina. Jas and Jas. Get it?

"Ama abang dieee ini", kata Jasmina sambil menunjuk Rania dengan bibir tipisnya, seakan-akan bibir itu bisa membentuk tanda panah.

"What? Kok bisa?", tanya Adelia tergelak.

"Abang gue itu, temen SMA Jasmina. Rumah kita tuh sebelah-sebelahan lagi. Jadi ya gitu, cinta lokasi, terpaksa", kata Rania sambil mencibir ke arah Jasmina. Gadis itu tersipu malu.

"Jadi ala bisa karena biasa. Jadi cinta karena sering bertemu ya?", tanya Adelia. Ia berfikir dengan keras.

"Kawin paksa gak selamanya jelek kok. Buktinya banyak negara-negara yang menerapkan cara seperti ini sejak ratusan tahun yang lalu. Pada akhirnya mereka love happily ever after kok", jelas Rania.

"Perjodohan ini mungkin kamu anggap sebagai kesepakatan bisnis orangtua kalian. Tapi sesungguhnya enggak gitu loh. Mereka kan udah saling kenal lama, pasti udah paham sama keluarga masing-masing kan? Mungkin itu akan mempermudah kamu nanti setelah menjadi keluarga Bastian. Kalian akan lebih gampang berkomunikasi dan saling mengerti", jelas Jasmina.

"Your mom thinks Bastian itu cowok yang baik dan cocok untuk kamu. Gitu juga dengan Bastian's mom berfikir pasti kamu adalah cewek yang baik dan cocok untuk Bastian. Jadi mereka berfikir, kalian yang baik ini, akan cocok bersama. Simpel kan?", jawab Rania.

"Lagian mengenal dia setelah menikah itu uuuhhhh misterius you know. Pasti menarik sekali. Seperti di novel-novel gitu", kata Rania lagi dengan senyum nakalnya. Membuat Adelia dan Jasmina menatapnya dengan ngeri tapi geli.

"Iya sih, makanya aku gak sepenuhnya menolak. Dulu memang aku benci banget sama Bastian, karena tau kami di jodohkan. Tapi setelah kami sama-sama kuliah di Curtin dan tinggal di kompleks asrama yang sama, mau tidak mau kami jadi lebih kenal satu sama lain. He's not that bad ternyata. Dia baik dan perhatian juga, walau kadang dingin gitu", jelas Adelia.

"Nahhh bagus donk. Setelah nikah, kalian kan bisa pacaran", kata Rania.

"Tapi dia masih punya pacar", kata Adelia lagi. Hal itu membuat Jasmina dan Rania terbelalak!

"Whattt! Jadi gimana donk?", tanya mereka serempak.

"Aku tadinya juga punya pacar. Punya selingkuhan juga malah. Tapi semua udah putus. Tadinya aku malah mau cari pacar lagi. Aku mau coba pacaran ama bule.", kata Adelia santai. Jasmina dan Rania mendadak mengalami kekakuan bibir. Adelia tersenyum geli.

"Aku Cuma gak menyangka, ini tidak hanya akan menjadi kawin paksa, tapi juga kawin kilat. Aku selalu bermimpi merencanakan pernikahan impian ala Cinderella bersama orang yang aku cintai dengan perasaan berbunga-bunga. Lah ini, malah ngerepotin perusahaan dan kesannya grabak – grubuk begini. Satu-satunya yang bisa aku pilih hanyalah gaun pernikahan ini", kata Adelia lemah sambil memendarkan tatapannya menyapu butik itu.

"Dan Lingerie untuk malam pengantin", kata Rania santai. Kontan Jasmina dan Adelia menatap Rania dengan penuh kengerian.

"What? Apa aku salah? Kalian akan melakukan malam pengantin kan setelah resepsi? Aku lihat di list, kalau kita menyewa sebuah honeymoon suite untuk 2 malam. Di malam pernikahan dan sehari setelahnya. Kamu kira ini untuk rapat panitia? Jelas bukan!", kata Rania nakal sambil mengangkat-angkat alis matanya yang membuat Adelia semakin panik. Ia menatap Jasmina dan Rania secara bergantian.

"Tidak tidak tidak. Aku gak mau. Aku belum siap. Gimana ini Jasmina? Pernikahan ini saja terlalu cepat, apalagi malam pengantin!", katanya panik.

"Begini aja Del, kayak di novel-novel gitu loh. Jadi kamu bikin perjanjian dengan dia. No malam pengantin sekarang, kalian tetap akan tinggal di asrama berbeda, dan akan menjalani hari-hari sebagai seorang pacar aja dulu disana. Nanti setelah kalian lulus, baru deh hidup sebagai pasangan suami istri.", usul Jasmina. Adelia mengangguk-angguk.

"Nah iya bener. Yang penting tidak mengganggu kebebasan kamu untuk kuliah dan berteman. Jadi kayak pacaran aja gitu", Rania mendukung ide Jasmina. Adelia kembali mengangguk-angguk.

"Tapi kalo mama papa tau gimana?", tanya Adelia. Rania dan Jasmina kontan memasang muka malas.

"Ya jangan kasih tau donk! Bikin perjanjian sama Bastian. Pasti cowok itu setuju! Apa menurut kamu dia pengen buru-buru nikah?", tanya Jasmina. Adelia menggeleng.

"Dia juga kesel sih…" jawabnya.

"Nah ya udah pas lah kalo gitu. Kalo bisa bikin peraturan hitam di atas putih", kata Rania sok bijak. Adelia mengangguk-angguk. Benar juga ya.

"Thanks ya kalian, aku jadi lebih tenang sekarang. Aku tadi bener-bener mikir, ini udah akhir dunia deh. Tapi sekarang ada solusi. Aku tetep bisa kuliah, tetep bisa have fun disana, dan gak bikin mama papa marah", kata Adelia lega.

"Iya, siapa tau setelah kalian pacaran, kalian bisa saling jatuh cinta beneran", kata Jasmina. Adelia menggeleng.

"Entahlah, aku sih ragu. Segala sesuatu yang dipaksakan, sepertinya susah untuk bertahan. Aku aja enggak tahu, sampai kapan pernikahan ini bisa bertahan. Yang penting kami pernah menikah, bukan?", tanya Adelia. Rania dan Jasmina langsung memandang gadis itu dengan panik. Apakah secepat itu Adelia sudah memikirkan tentang perceraian?

"Huss don't say that.", Rania menghardiknya. Jasmina pun menunjukkan tampang tidak setuju. Ia teringat kembali pacaran paksanya dengan Bagas.

"Adelia, selama ini mungkin kamu menganggapnya seperti seorang musuh, karena kalian di jodohkan. Tapi coba kamu anggap dia sebagai seorang teman dulu. Be friends with him. Temani hari-harinya, beri perhatian layaknya seorang teman. Ketika kalian sudah merasa nyaman, jadikan ia sahabat. Jadikan ia tempat pertama untuk keluh kesahmu, jadikan ia pertama yang membantumu, dan jadikan dirimu yang pertama membantu kesusahannya.", kata Jasmina dengan lembut sambil menyentuh pundak Adelia.

"Aku yakin, lama kelamaan kalian akan merasa saling membutuhkan, saling memberi perhatian, saling mengisi, dan akhirnya saling menyayangi. Kalian harus kompak menjalani masalah-masalah, dimulai dengan masalah ini. Jangan saling menyalahkan, jangan saling berdiam diri, mulailah berbicara strategis dengannya. Utarakan keinginan kamu, dengarkan keinginan dia. Coba samakan frekuensi. Aku yakin, lama kelamaan kalian akan jadi pasangan yang ….yang….yang apa ya…ya yang sesuai dengan keinginan kalian lah…",

"Dan saling mencintai. The end", potong Rania sambil tersenyum jahil. Adelia dan Jasmina tersenyum geli menatap gadis bule itu.

Tidak berapa lama, Bastian yang menggunakan Jas tuxedo lengkap, berjalan pelan ke arah gadis-gadis itu. Sepertinya ia ingin meminta pendapat mereka akan pakaian yang akan digunakannya pada saat resepsi. Aura ketampanannya semakin menjadi-jadi, yang membuat ketiga gadis itu terpana dan sesak nafas.

"Adelia, you are one lucky bit***", seru Rania sambil menahan air liurnya keluar. Adelia dan Jasmina kontan tertawa terbahak-bahak.