BAB 59: Ke Perth Bersamamu

Bastian, Adelia dan kedua orangtua mereka sedang berdiri di dekat tempat check-in penerbangan mereka ke Perth. Seperti sebuah dejavu, mereka juga berada persis di titik ini hampir satu tahun yang lalu. Saat itu Adelia baru mengetahui bahwa Bastian juga akan berangkat ke Perth untuk kuliah di kampus yang sama! Dan hari ini, mereka akan bertolak ke negara itu lagi, dengan status baru.

"Wah, kopernya banyak banget!", seru papa Abraham sambil menahan tawanya.

"Gitu deh papa, padahal tadinya aku sama Adelia cuma bawa 2 koper kecil, eh sekarang malah beranak nih nambah 1 koper besar dan 1 koper sedang ini. Mudah-mudahan gak overweight yak", gelak Bastian sambil menatap Adelia, mama Cecilia dan mama Wien. Ketiga wanita itu menatap Bastian dengan kesal.

"Ini kebutuhan essensial bangetttt loh untuk para pengantin baru", kata mama Wien penuh wibawa. Adelia dan Bastian tercekat mendengarnya. Apa itu kebutuhan essensial untuk pengantin baru? Kedengarannya begitu mencurigakan.

"Maksud tanteee eh mama si sprei, panci, taplak dan lain-lain itu kan?", tanya Adelia. Mama Wien dan mama Cecilia mengangguk-angguk sambil tersenyum.

"Ya itu salah satunya sih. Pokoknya cepetan kalian cari rumah untuk berdua, jadi kamu bisa gunakan semua yang ada di koper itu. Mama udah mastiin semua warnanya matching dan sesuai dengan gaya kamu Del", seru mama Cecilia. Bastian dan Adelia kompak menggeleng-gelengkan kepalanya dengan perlahan. Heran....

"Bastian! Cepetan sana kamu check-in ini semua. Sebagai suami, kamu sekarang harus lebih bertanggung jawab dan mengurus istrimu dan perlengkapannya. Hayu sana bawa keempat koper ini", perintah papa Abraham. Bastian melirik Adelia dengan malas, mencoba meminta bantuan. Adelia pura-pura tidak melihat, dan sibuk ber-selfie ria bersama mama Wien dan mama Cecilia. Papa Adnan yang menyadari perbuatan malas anaknya, menahan senyumnya.

"Okey okey baiklaahhh", jawab Bastian. Ia akhirnya mendorong satu trolley berisi koper-koper itu ke arah check-in counter sambil membawa KTP dan paspor milik Adelia.

"Ok Adelia, di dalam koper mama juga masukin beberapa bumbu yang udah paketan. Mama yakin bisa lulus deh dari bea cukai. Mama Wien bilang Bastian kalo lagi sedih, paling suka dimasakin coto makassar. Kamu donwload aja resepnya. Bikinnya gampang kok. Bumbu intinya udah mama masukin ke situ. Paham?", tanya mama Cecilia. Adelia mengangguk-angguk patuh.

"Plus ya Del, si Bastian itu jangan dikasi minum kebanyakan kopi deh. Mama gaaaaak suka. Dulu waktu jaman kuliah, kopi terus pagi siang malam. Udah kayak zombie dia itu. Jangan bolehin dia begadang ya. Tapi kalo begadang buat ngasih kita cucu mah, gak apa-apa itu hahahahah", tutur mama Wien santai sambil memukul pelan besannya. Mereka kemudian tertawa cekikikan sampai memicingkan mata-mata mereka.

Adelia mengepalkan kedua tangannya di dalam kantong jaketnya. Ia malu luar biasa, bagaimana bila ada orang lain yang mendengar? Orangtua macam apa mereka berdua ini??? Ia menundukkan wajahnya, karena ia yakin warnanya sudah semerah tomat sekarang. Untung saja Bastian dan kedua papa mereka tidak di sekitar.

"Nah iya Del, kamu itu harus pinter ngurus suami. Kalo dia mandi, siapin pakaiannya. Trus cuci bajunya, setrika yang rapi, trus jampi-jampi deh sambil nyetrika. Hoooocus Fokusssss…. Di doain, semoga kuliahnya lancar, nilainya bagus, cepet lulus, trus sukses gitu. Mama tuh dulu gitu loh, pas jaman-jaman papamu itu merintis usahanya", tutur Mama Cecilia. Mama Wien mengangguk-angguk setuju sambil menjentikkan tangannya.

"Terus juga ya Del, laki-laki itu paling patuh kalo kebutuhan sumur, dapur, kasur terpenuhi!", kata mama Cecilia lagi dengan penuh semangat. Mama Wien mengangguk-angguk setuju kembali, sambil memainkan telunjuknya kali ini.

"Oh ohhh bener banget!", kata mama Wien.

"Ih mama apaan sihhhh. Itu mah udah kuno banget!", pekik Adelia panik. Ia kembali celingak-celinguk menatap orang-orang, berharap tidak ada yang mendengar percakapan mereka norak mereka.

"Ih itu benerrr say, pastikan rumahnya rapi, pastikan baju-baju dan perlengkapan Bastian beres, dan dukung kuliahnya. Nah itu tuh yang dimaksud dengan sumur!", kata mama Cecilia.

"Bener Del. Bastian itu ya anaknya rewellll banget. Dari dulu dia itu gak suka sih beli terlalu banyak mainan atau barang-barang. Tapi semua barang-barangnya itu mahal dan pilihan. Baik itu baju, gadget sampai alat tulis. Nah dia itu rapi, gak boleh itu barang di obrak-abrik ama orang. Aduh tante kebayang kamu sebenarnya bakal repot tuh. Jadi sabar-sabar aja yah", timpa mama Wien prihatin. Adelia mengangguk-angguk patuh. Kalo soal itu, dia tidak begitu kuatir. Ia juga orangnya gak suka berantakan.

"Nah trus ya, kamu perhatiin makanan Bastian, nah itu istilahnya dapur! Sebisa mungkin, Semua masak sendiri, biar dia bisa merasakan ciiiiiiintanya dari masakan kamu sayang. Tian itu makannya gak rewel, dan suka makan apa aja asal sehat. Kalo kamu udah bisa mengambil hatinya lewat masakan, Beuuuggghhhhh, kamu akan menjadi ratu selamanya di hatinya", tutur mama Wien kembali sambil terkekeh bak Malificent. Siapa juga yang mau jadi ratu?

Adelia mengangguk-angguk tidak begitu antusias. Setelah resepsi pernikahan mereka kemarin, ia telah membaca begitu banyak artikel-artikel tentang pernikahan. Mulai dari pernikahan akibat perjodohan, pernikahan paksa, pernikahan remaja, sampai pernikahan sambil sekolah. Ia hanya ingin mengetahui apa sih trend diluar sana. Ini merupakan pernikahan pertamanya di kehidupan pertamanya. Ia cuma ingin bersiap-siap dengan segala kemungkinan saja. Sumur, Dapur dan k..kk...kkkk...kasurrrr???

"Nah, kasur itu yang paaaaaling penting Del!", kata mama Cecilia lebih bersemangat lagi sambil mengedipkan matanya dengan genit. Adelia bersiap-siap menutup telinganya.

"Kamu harus bisa ngejagain Bastian loh Del. Mama yakin diluar sana, masih banyak pelakor-pelakor berkeliaran. Apalagi kalian masih sangat muda. Mama gak mau yah, siapa itu kemaren namanya, Retha, ngegangguin kalian lagi. Makanya kamu harus gas dia di kasur!", seru mama Wien tak kalah semangat. Kali ini Adelia benar-benar menutup telinganya rapat-rapat.

"Ih kamu dibilangin yang bener malah nolak. Kami ini serius loh nak. Kehidupan kasur yang sehat, akan menciptakan kinerja belajar dan bekerja yang optimal. Kalian akan lebih saling mencintai, dan lebih bersemangat menjalani hidup", kata mama Cecilia sambil mencoba membuka cengkeraman tangan Adelia dari telinganya sendiri.

"Arrrggggg aku gak dengerrr aku gak dengerrrr", pekik Adelia sambil terus menengkeram telinganya.

"Eh eh eh ada apa ini?", tanya papa Adnan. Kedua papa yang sedari tadi berdiri agak jauh karena membicarakan soal pekerjaan, berjalan perlahan ke arah 3 wanita itu.

"Ini loh pa, kita lagi bahas soal kasur", kata mama Cecilia santai.

"Arrrgghhhhh udaahh jangan dibahas lagiiiii", pekik Adelia lagi ketika melihat papa Adnan dan papa Abraham melotot ke arahnya. Adelia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menunduk.

"Udah donk papa, istri baruku jangan dibully terus", tiba-tiba Bastian muncul tanpa koper-koper. Sepertinya ia sudah berhasil memasukkan semua ke dalam pesawat.

"Overweight?", tanya papa Adnan. Bastian menggeleng dan memberikan jempolnya.

"Pas banget", kata Bastian sambil tersenyum. Kedua orangtua mereka tersenyum bangga.

"Oh iya Adel, papa ada sesuatu untuk kamu", kata papa Abraham. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Sebuah kartu berwarna hitam.

"Omooooo omooooo! Sebuah black card!", pekik mama Cecilia terperanjat.

"Ya donk. Kan sekarang tanggung jawab keuangan ada di tangan Bastian. Tapi karena Bastian masih kuliah, ijinkan papa membantu kalian dulu. Kamu gunakan kartu ini untuk apaaaa aja. Mau belanja untuk kebutuhan dapur kalian, mau buat makan diluar, kamu mau beli baju, sepatu, terserah! Itu untuk kamu", jelas papa Abraham dengan nada penuh kasih. Ia menyambar tangan Adelia dan meletakkan kartu itu dengan paksa.

"Astaga papaaaaa. Jangannn. Ini terlalu...terlalu mewah. Adelia disana biasa hemat dan kerja kok papa. Kami yakin kalo kami bisa memenuhi kebutuhan kami", kata Adelia sambil menggelengkan kepalanya dan berusaha mengembalikan kartu berwarna hitam itu. Tapi papa Abraham langsung mengangkat kedua tangannya ke angkasa, agar Adelia tidak bisa meraihnya.

"Dan papa juga punya sesuatu untuk kamu Bastian", kata papa Adnan yang juga memberikan sebuah kartu berwarna hitam yang sama kepada Bastian. Ia juga menyambar tangan cowok itu dan meletakkan kartu itu dengan paksa. Bastian terbengong menerimanya. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Selama ini, Adelia selalu kami manjakan dengan apapun yang ia mau. Papa yakin selama disana, banyak hal yang ia tahan karena ia berusaha berhemat. Papa gak mau kalian terlalu capek bekerja disana. Fokus aja dulu sama kuliah dan pernikahan kalian. Gunakan kartu itu untuk manjain Adelia, manjain kalian berdua. Bersenang-senanglah, buatlah banyak kenangan indah selama kalian disana. Anggap saja bulan madu yang panjang. Paham?", tanya papa Adnan ke arah Bastian. Cowok itu menggenggam kartu hitam itu dengan khidmat dan membungkuk ke arah mertuanya itu.

"Papa, Tian terima kartu ini ya. Tian akan pastikan penggunaannya dengan baik. Tian akan selalu berusaha untuk menjaga dan...membahagiakan Adelia. Tian Janji papa, mama...", kata Bastian haru sambil kembali membungkuk sedikit ke arah kedua orang tua mereka.

Mama Cecilia dan mama Wien mulai diliputi perasaan sedih luar biasa. Hampir setahun yang lalu, mereka sedih karena harus berpisah pertama kali dengan anak-anak yang mereka sayangi. Kali ini, ada perasaan sedih yang luar biasa juga, bukan hanya sekedar perpisahan. Kali ini mereka harus melihat anak-anak mereka tumbuh lebih dewasa dengan status barunya. Melihat kebahagiaan anak-anak mereka di tangan orang lain, walau Adelia dan Bastian bukanlah orang lain lagi. Tapi tetap saja...

"Mama, Adelia juga berjanji untuk patuh dan hormat sama Tian. Adel janji untuk menjadi istri yang baik, dan akan fokus sama kuliah Adel sambil ngurusin Tian. Doain kami ya", kata Adelia haru. Entah kenapa tiba-tiba moodnya menjadi begitu sedih sekarang. Apa itu perasaan takut dengan perannya mendatang sebagai seorang istri, apalagi istri yang jauh dari orangtuanya. Bagaimana bila terjadi sesuatu didalam pernikahan mereka? Kemana ia bisa berkeluh kesah dan lari pulang?

"Ok mama, papa, kami pamit dulu ya. Pesawat kami akan berangkat dalam 1 jam lagi", pamit Bastian sambil memasukkan kartu hitam itu ke dalam kantong celananya. Kedua orangtua mereka mengangguk dan memberikan gesture minta dipeluk. Adelia langsung menghambur ke dalam pelukan mama Cecilia. Sesegukan terdengar dari kedua wanita yang berpelukan itu. Adelia melepaskan pelukannya dan berganti memeluk mama Wien. Begitu juga dengan para ayah. Mereka secara bergantian saling memeluk pengantin baru itu.

"Hati-hati ya sayang... mama titip Adelia ya Tian...", kata mama Cecilia. Bastian mengangguk. Adelia dan Bastian pun akhirnya berpisah dengan orang tua mereka dan berjalan perlahan masuk ke dalam tempat menunggu. Adelia melambai untuk terakhir kali ke arah orangtua mereka berdua dan berjalan pelan mengikuti Bastian satu meter di belakangnya.

Mereka berjalan gontai ke arah tempat menunggu seperti itu. Tidak ada pembicaraan, basa-basi atau apapun. Hanya langkah-langkah pelan yang menyusuri lorong-lorong pemeriksaan, eskalator, travelator, dan kursi-kursi tunggu yang masih kosong. Hati Adelia terasa terpotek-potek di tiap langkah yang terjadi. Entah kenapa. Ketika ia berpisah pertama kali dengan orangtuanya menuju Perth, perasaannya tidak seberat ini. Apa sih yang menunggunya di depan? Kenapa rasanya begitu gundah?

Bastian mengarahkan langkah mereka ke sebuah lounge mewah di dekat tempat mereka boarding. Ia memberikan ruang dan waktu untuk istrinyaitu bersedih. Ia menyadari, kepergian mereka ke Perth kali ini penuh dilemma, polemic, dan sejenisnya. Ia harus kuat untuk Adelia. Ia mengeluarkan kartu hitam yang tadi diberikan papa Adnan.

"Keluarin kartu yang dikasih papa tadi. Lumayan kita bisa nunggu disini dengan gratis pake kartu item-item ini. Kita nunggunya disini aja. Lumayan, sarapan gratis!", tutur Bastian santai. Adelia mengangguk-angguk takjub. Cepet tanggap juga cowok ini untuk hal-hal gratis begini, pikirnya. Adelia dan Bastian menyelesaikan administrasi untuk bisa masuk ke dalam lounge itu. Masih belum begitu ramai, tapi sarapan ala prasmanan sudah tersedia. Itu yang terpenting.

Adelia mencari tempat duduk ternyaman dengan pemandangan pesawat-pesawat yang sedang di parkir. Matahari sudah naik, tapi udara masih sedikit lembab. Sungguh pemandangan yang menyegarkan mata, seperti sebuah lukisan pagi yang memanjakan mata. Adelia berusaha untuk mengatur nafasnya dan mencoba untuk lebih tenang. Air mata yang hampir tumpah di hadapan kedua orangtua mereka tadi, sudah kering semula. Saatnya menguatkan diri. Tiba-tiba, secangkir teh harum diletakkan di hadapannya.

"Mungkin bukan merek favorit kamu, tapi cobalah minum agar lebih tenang", tutur Bastian santai tanpa melihat ke arah Adelia. Ia mungkin terlalu gengsi untuk menunjukkan ia begitu peduli dengan Adelia. Istrinya itu menatap Bastian sebentar dan mencoba untuk tersenyum manis, walau tatapan mereka akhirnya tidak bertemu.

"Makasih, kamu gak minum teh?", tanya Adelia.

"Kopi", jawab Bastian singkat sambil membalikkan badan dan menuju area prasmanan.

Huffttt… Adelia mendengus. Sepertinya pertengkaran mereka tadi malam masih bersisa. Padahal tadinya Adelia benar-benar mengira Bastian sudah otomatis baikan. Dasar cowok roller coaster!