BAB 61: Pernikahan Semu

Sejak Adelia dan Bastian tiba di Perth, mereka berdua hampir tidak pernah bertemu apalagi mengobrol. Adelia mulai disibukkan dengan perkuliahan yang ketinggalan, tugas-tugas yang belum selesai ia kerjakan, begitu juga dengan kerja kelompok dengan teman-teman sekelasnya. Ia heran, hanya pergi dalam beberapa hari saja, sudah begitu banyak tugas yang menumpuk.

Syukurlah dalam 2-3 hari ini, ia tidak perlu begitu repot dengan urusan logistik. Diva dan Kotoko begitu perhatian dengan membagi makanan mereka, baik untuk sarapan atau makan siang. Adelia belum sempet ke coles untuk berbelanja kebutuhan dapur. Ia sedang tidak ingin memasak, atau bahkan sekedar duduk di meja makan. Di hati kecilnya, ia ingin menghindari Maretha.

Adelia sering mendengar Maretha yang pergi pagi-pagi sekali, dan baru kembali ke flat pada malam hari. Dengan ajaibnya, Adelia dan Maretha tidak pernah lagi bertatap muka sejak Adelia tiba di Perth beberapa hari yang lalu. Apakah nenek sihir itu menghindarinya? Kalau iya, sungguh repot-repot Adelia selama ini menghindarinya juga kan? Tapi untuk bertemu dengannya saat ini adalah sebuah penghancur suasana hati, yang sama sekali belum dibutuhkan Adelia. Masih banyak hal yang tertinggal di perkuliahannya.

Tapi ternyata Adelia salah. Lisa pernah memergoki Maretha memasuki flat Bastian pagi-pagi sekali, dan meninggalkan flat cowok itu malam-malam sekali. Jadi sebenarnya selama ini Maretha bukanlah menghindari Adelia, melainkan memonopoli suaminya! Fakta yang dengan gamblang di nyatakan Lisa benar-benar membuat hati Adelia bercampur aduk: Heran, kesal, lucu sekaligus kesal. "Cihhhh suami macam apa itu?", gumam Adelia dalam hati.

Di Sabtu pagi yang mendung seperti ini, perasaan Adelia ikut kelam bersama kelabunya awan, entah kenapa. Ia menatap nanar koper besar dan koper sedang kemasan orangtua mereka yang belum sempat mereka bongkar. Bila mereke benar-benar pasangan suami istri yang saling mencintai, proses membongkar koper itu sendiri pastilah sudah menyenangkan. Mereka akan duduk bersila berdua di rumah mungil mereka, mengomentari satu persatu benda-benda konyol yang keluar dari koper doraemon itu.

Adelia menatap layar HP miliknya. Sejak tadi malam, ia sudah berkirim-kirim pesan dengan Lisa dan Malik. Mereka berdua berjanji untuk menemaninya hari ini. Kemanaaaa saja, asal bisa menjauh dari Bastian, Maretha, dan kabar angin tentang mereka berdua. Ok, merekabertiga. Adelia sedang muak luar biasa dengan keadaannya. Tapi kenapa ia harus marah? "Karena proses catch-up (mengejar) perkuliahan. Ya, aku lelah karena belajar nonstop dan mengerjakan tugas, aku butuh liburan", begitu gumam Adelia terus-menerus. Tidak ada alasan lain!

Di layar HP Adelia, ia bisa melihat postingan instagram yang menunjukkan ia dan Bastian di sebuah Cafe Prancis, hanya beberapa hari sebelum mereka menikah. Disitu mereka tampak begitu mesra dan bercengkrama begitu intim. Padahal saat itu mereka sedang membuat "perjanjian pernikahan", sedang bernegosiasi untuk "tidak dalam pernikahan". Kalau dilihat dari konten yang mereka bicarakan, seharusnya Adelia bisa legowo. Mereka sudah berjanji untuk tetap menjalani kehidupan mereka sendiri, sampai mereka lulus kuliah toh? Jadi kenapa Adelia baper, kenapa sekarang ia uring-uringan? Masihkah ini tentang perkuliahan?

Adelia memantapkan keluar dari kamarnya hari ini. Ia sudah memastikan membawa hal yang essential: black card. Sesuai permintaan papa Abraham, ia akan menggesek kartu ini sampai panas dan lecet. Kalau perlu ia bisa membeli bulan! Biar saja, toh ini sudah menjadi haknya. Adelia melangkahkan kaki menuju dapur untuk mengambil sebuah minuman energi yang ada di kulkas. Sekilas ia melihat sampah yang sudah di bungkus-bungkus dan siap untuk dibuang ke tong sampah besar di bawah. Ia melirik jadwal yang tertempel persis di dekat tong sampah itu. Hari ini adalah hari dimana Adelia harus membereskan segala urusan persampahan. "Baiklah, mari lakukan sebuah kebaikan hari ini", gumam Adelia.

Adelia menuruni tangga flatnya dengan gontai sambil memegang seplastik sampah yang akan dia buang di tong sampah besar di lantai 1. Ia bernyanyi-nyanyi kecil dengan gaya centil dengan gaya feminine-sexy andalannya. Ia mengenakan gaun berbahan silky berwarna ungu muda selutut, sepatu boot bulu atau biasa disebut ugg booth berwarna hitam dan sebuah longcoat hitam dengan aksen bulu di bagian leher. Sebuah syal berwarna ungu tua andalannya melingkar manis di lehernya. Tidak lupa tas tangan kulit berwarna hitam di sandingkan di pundak kirinya. Perth di Bulan Agustus masih dingin, dan Adelia sudah pernuh persiapan. Ia akan ke city bersama Malik dan Lisa.

Tiba-tiba ia hampir bertubrukan dengan Bastian. Ia sepertinya baru keluar dari flatnya di lantai 1, dan akan membuat sampah juga. Benar-benar sebuah kejadian buruk untuk memulai pagi yang masih mendung ini. Ia melemparkan seplastik sampah itu ke dalam tong besar, dan berlalu sambil pura-pura tidak melihat sang suami barunya itu. Ia mengibaskan rambut super panjang dan ikalnya itu sambil membalikkan badannya membelakangi Bastian.

"Heh! Adelia! Liat sini! Kamu tuh sekarang jangan macem-macem. Mulai dari beberapa hari yang lalu, kamu tuh uda resmi jadi ISTRI ORANG! Istri aku!", hardik Bastian. Adelia lantas berhenti sejenak, membalikkan badannya dan menatap Bastian sambil melotot.

"Trus napa kalo uda jadi istri orang? Situ mau atur-atur apa? Uang belanja uda kasih belon? Jangan sok ngatur-ngatur aahhhh", jawabnya sambil kembali mengibaskan rambutnya dan kembali membalikkan badannya dan berjalan.

"Hehh! Stoppp! Dipanggil suami gak nurut! Udah nyuci bajuku blon? Sarapan pagiku mana? Kamarku tuh belon diberesin! Sana beresin! Nih kuncinya!", perintah Bastian sambil menyodorkan segerombolan kunci, yang Adelia yakin itu gabungan antara kartu akses masuk flat, kunci masuk kamar, kunci loker flat dan mungkin kunci loker kampus.

"Cihhhh, enak aja. Emang eyke pembokat apa? Disini tuh cleaner ama maid dibayar tau gaaakk! Dibayar mahal. Lu sanggup bayar guweeeh? Lu kira tugas istri itu cuma Dapur Sumur Kasur hah?? Uda yeee, guweeeh mau pergi dulu. Urusan persuami- istrian, kita bahas nanti ajah. Aku perlu waktu buat ngolah ini semua. Bhaayyyy", pamitnya sambil segera berlalu. Kepikiran sih untuk ngibasin rambut lagi, tapi Adelia kuatir rambutnya jadi super kusut dari tadi di kibas - kibis - kibas - kibis.

"Lo mau kemana emangnya? Sini gue anter", perintah Bastian. Sejenak Adelia membayangkan dirinya berada di mobil toyota second yang sudah berumur 15 tahun itu. Begitupun, pasti didalamnya lebih nyaman dan hangat dibandingkan naik bus. Tapi...

"Ogah", jawab Adelia.

"Adelia, guwe kasi tau mama ya!", ancam suaminya itu. Hal itu membuat Adelia bergidik, memutar tubuhnya dan menatap Bastian dengan tampang murka. Mulutnya mengerucut sehingga hidungnya tampak membulat. Pipinya sudah merona, antara kedinginan dan amarah mau meledak.

"Ngadu muluuuu ngadu muluuuu! Apalagi yang mau lu aduin? Ga dikasi makan? Ga diurusin? Ga di temenin tidur? Sonooo ngadu aja teroosss!", emosi Adelia memuncak. Ia melangkah mendekati Bastian dengan mata melotot.

"Guwe kasi tau ya, perjanjian kita adalah, selama guwe kuliah, lo ga bakal ngatur-ngatur idup guwe. Mau guwe punya pacar 5, mau guwe pesta ampe pagi, mau guwe pake bikini ke kampus, it's my decision. Kalopun ternyata kita uda harus kawin sekarang, guwe masih ada 1 tahun lagi untuk nikmatin hidup guwe. Plisss.... Pliss Bastian, hargai idup gue. Lo tenang ajeeee, kuliah ini kelar, guwe bakal jadi istri macam apa pun yang elooo mau. Puas???", tutur Adelia dengan nada tegas sambil mengetatkan rahangnya menahan amarah. Bila dia harus berbicara seperti itu lagi 5 menit lagi, pastilah rahangnya itu super pegal.

Bastian diam. Adelia juga terdiam. Suasana hening seketika. Ketika akhirnya tidak ada yang menanggapi lebih dari 2 menit, tanpa pamit, Adelia mulai membalikkan badannya dan mulai berjalan lagi menjauhi Bastian.

"Yaa kalo looo setaon ke depan hidupnya begitu, ya guwe maleslah nerima lo lagi. Siapa tau uda jadi barang bekas", kilah Bastian yang ia tau pasti akan menyulut emosi istri barunya itu.

Adelia berhenti sebentar, namun ia enggan membalikkan badannya. Ia tau apapun yang akan ia katakan selanjutnya, hanya akan dibalikkan oleh cowok itu. Ia paling pintar berdebat.

"Fine, cerein aja aku. Gampang kan?", jawabnya santai dan berjalan lebih cepat menuju stasiun bus bernomor 34 yang terletak 1 kilometer saja dari asrama mereka

Adelia berjalan agak cepat, walau sebenarnya pandangan matanya kabur. Air mata mulai menetes dengan sukses, tepat ketika ia baru saja keluar dari gerbang asrama menuju coles. Entah itu karena luapan emosi, atau dia memang kesel luar biasa dengan suami barunya itu. Tega-teganya Bastian menuntut ini dan itu, sedangkan ia selama berhari-hari selalu asyik masyuk dengan selingkuhannya.

Ya benar! Selinguhannya. Jujur Adelia sebenarnya merasa insecure (tidak aman) karena menganggap dirinya sebagai pelakor. Ia mengambil Bastian ketika cowok itu masih berstatus pacar Maretha. Tapi kan... pada dasarnya mereka sudah bertunangan secara tak resmi sejak mereka masih kecil. Mereka sama-sama tahu kalau mereka akan menikah, cepat atau lambat. Kalau memang pernikahan mereka terjadi sebelum waktu yang mereka sepakati berdua, jadi memangnya kenapa? Yang penting mereka sudah menikah kan? Dan siapapun yang masuk diantara mereka setelah pernikahan itu, adalah pelakor!

"Eh, dateng juga kau tuan putri. Kok lama kau, tumben!", tutur Lisa yang sudah tiba di stasiun bus 34 lebih dulu dari Adelia. Gadis itu seperti biasa memakai pakaian dengan warna-warna berani. Gaun biru elektriknya, berpadu dengan jaket bomber selutut berwarna hitam dengan akses bulu berwarna abu-abu di sekitar leher. Sepatu bootnya yang tinggi mengkilap, membuat hanya sedikit kulit yang terlihat di area pahanya. Dengan tubuhnya yang bongsor, Lisa terlihat begitu berkharisma, berisi dan seksi. Dengan make-up yang tipis-tipis saja,dan rambutnya yang ia cak coklat muda, ia sekilas terlihat seperti gadis Indo keturunan, padahal ia asli orang Batak.

"Sorry telat. Malik udah nunggu di city?", tanya Adelia dengan suara parau. Lisa kontan membelalakkan matanya. Ia baru menyadari kalau Adelia sepertinya baru saja menangis.

"Ya ampun Delllll, abis nangis kau? Kenapa waakkkk? Diapain kau sama si nenek lampir penyihir itu?", tanya Lisa yang langsung menerjang Adelia, mencengkeram lengannya dan menguak matanya dengan tangannya yang lain. Sikapnya seperti dokter yang ingin memeriksa kadar kepucatan seseorang dari sekitar bola matanya. Kan gak singron ya!

"Aduhhh jangan colok-colok mata gue Lisssss", pekik Adelia. Hilang sudah rasa haru dan gloomy dari hatinya. Lisa benar-benar perusak suasana mellow di mendung seperti ini.

"Apa kejadian hari ini hah?! Tau gitu kan kujemput aja kau di flat, wak! Biar kalo ada apa-apa bak kuhantam dia!", tutur Lisa lagi sambil berkacak pinggang.

"Ih santai butetttt. Jam berapa bus dateng?", tanya Adelia sambil mendudukkan pinggulnya di kursi halte. Sukurnya tidak banyak orang yang sedang menunggu bus itu datang. Hanya ia, Lisa dan seorang wanita berusia sekitar 50-an. Ia tersenyum ramah kepada Lisa dan Adelia. Mereka membalasnya. "Morning ladies", katanya.

"Mau kemana kita ni Del?", tanya Lisa penuh kekuatiran. Sejak tadi malam, Adelia tidak mengatakan apa-apa tentang tujuan mereka.

"Pokoknya kita pergi aja duluuuu", katanya sambil terus lurus menghadap ke depan. Padahal pemandangan mereka itu hanya kompleks pertokoan coles yang belum buka. Sudah jelas Adelia melamun parah. Untung saja beberapa belas menit kemudian, bus nomor 34 itu datang. Adelia dan Lisa menaiki bus berukuran sedang itu dan kembali tenggelam dalam keheningan.

"Malik bakal nunggu kita di London court katanya. Untuk jaga-jaga, dia bawa mobil juga. Di parkir di tempat biasa", jelas Lisa.

"Good", balas singkat Adelia. Lisa menatap lekat wajah sahabatnya itu. Ia tersenyum pelan, sambil terus menatap mata Lisa. Otak Adelia tengah memproses begitu banyak informasi, yang seketika membuat matanya membelalak.

"Let's do something wild today (Ayo lakukan sesuatu yang liar hari ini)", kata Adelia sambil tersenyum seringai ala joker. Lisa bergidik melihatnya. Tidak biasanya Adelia seperti ini. Ralat. Tidak pernah. Selama ini, ide-ide aneh selalu datang dari Lisa, Tum atau Anne. Adelia adalah pengikut yang patuh atau pemberes masalah. Ia mengalihkan pandangan ke layar HP miliknya dan mengetik pesan WA untuk Malik. Ini darurat!

"Dah gila kurasa kawan kita ni, Lik. Kau siap-siaplah kalo aneh-aneh nanti permintaan dia yaaaa", ketik Lisa.

"Beres lah", jawab Malik melalui pesan.

------------------------------

"Okeh ladies, mau kemana kita?", tanya Malik ketika akhirnya mereka bertiga sudah masuk ke dalam mobil Malik.

"Jalan Lik. Ke Margaret Rivers", jawab Adelia mantap. Lisa dan Malik saling berpandangan.

"Yang bener Del, Swan river atau Margaret river? Itu agak berbeda", tanya Malik santai.

"Margaret. Sungai Margaret", jawab Adelia lagi.

"Ya tau banget aku itu sungai, bukan empang. Lo mau ngapain ke sungai itu? Kayaknya jauh itu lohhhhhh", tanya Malik lagi. Adelia menatap tegas mata Malik. Malik balas menatanya dengan tajam. Mereka saling bertatap ganas dan menunggu siapa yang kalah.

"Pokoknya nyalain GPS, dan arahin ke Margaret River. Nanti kalo udah sampe disana, aku kasih tau kita mau kemana.", jawab Adelia sambil tetap dengan tatapan ganas.

"Udah Lik, jalan aja kauuu, jangan banyak cingcong", kata Lisa sambil menepuk kencang bahu Malik. Lisa memberikan kerlingan ke arah Malik, seakan-akan ingin berkata: lagi datang bulan kurasa teman kita ini, diam ajalah kau!

"Awww, sakit Lisaaa. Gini deh, gue paling malas bawa dua perempuan yang lagi PMS. Ya sudah hayu", kata Malik lagi sambil menjalankan mobilnya. Melihat dari alamat yang dibagikan oleh Adelia, butuh waktu 2 jam 49 menit menuju tempat tujuan.

"Lis, ini jalur luar kota nih. Ogah ahhhh! Gue belon pernah make si jago merah ini jauh-jauh", protes Malik sambil membelai-belai dashboard mobilnya.

"Berarti mobil kau ga paten lah? Percuma kau bilang ini dulu mobil balap. Ke sungai aja kau gak berani? ", tanya Lisa santai sambil membuka jaketnya. Mobil Malik sudah mulai hangat berkat pemanas.

"Enak aja lo ngejek. Ati-ati loh kalo ngomong Lis, dia bisa ngambek, nanti dia mogok. Jangankan ke Margaret river, ke Swan river aja kita gak bakal sampe cuiiii", pekik Malik tapi tetap menjalankan mobilnya.

"Ahhh banyak cakap kau Lik. Udah jalan aja terusss. Banyak waktu kita kok. Ya kan Del? Malam kita pulang pun gak apa-apanyaaaa", bela Lisa. Malik makin bergidik, gila aja pulang hari ke luar kota!

"Besok pagi…", jawab Adelia santai sambil menatap lurus ke depan.

"Hah? Apanya besok pagi?", tanya Malik ketakutan. Lisa yang duduk di belakang kontan mencondongkan badannya untuk meminta konfirmasi. Ini…pesta menginap?

"Iya, besok pagi. Besok pagi kita baru pulang dari sana", jawab Adelia santai. tapi tentu saja itu menyebabkan Lisa dan Malik gusar.

"Ah yang bener aja kau Del! Kau suruhnya kami nginap???? Eh dimana kita nginap? Adanya uang kau untuk bayar hotel?", tanya Lisa sumringah. Adelia mengeluarkan dompetnya, dan mengeluarkan kartu berwarna hitam yang mengkilap. Lisa langsung menyambarnya.

"Mati kitaaaa, kartu hitam aliasss black card! Kartu para sultan ini. Kalo dalam bola udah mati pemainnya. Tapi kalo dalam belanja, hidup kita baru dimulai hahahahaha. Tapi kok disini nama Abraham? Kartu siapa kau curi ini Del?", tanya Lisa sambil membolak-balikkan kartu hitam itu.

"Sembarangan! Kartu mertua gue itu lohhh. Dia suruh pake-pake aja untuk apaaaa aja", jawab Lisa santai sambil memeriksa kuku-kukunya yang berwarna nude-pink mengkilap. Kemudian Adelia kembali menyambar kartu sultan itu.

"Ahhh asekkkk. Udah Lik, kau jalan aja terosss, kau cari hotel bintang 6 di Margaret river!", perintah Lisa. Malik menyengir. Mana ada hotel bintang 6 di sana!