BAB 68: Rumah Kita

Adelia akhirnya memalingkan wajahnya menatap Bastian yang tengah memesan sesuatu...

"I would like two Rodeo Cheeseburgers and four hashbrowns (Saya mau memesan dua Rodeo Cheeseburger dan empat hashbrown)", tutur Bastian kepada sebuah speaker. Adelia mendengus, Bastian bahkan tidak bertanya burger apa yang Adelia sukai!

"No drinks? (Tidak ada minuman?)", tanya sang speaker.

"No thanks (tidak, terima kasih)", jawab Bastian. Adelia kembali memalingkan wajahnya ke arah jendela. Ia kesal, mungkin saja ia ingin memesan minuman fanta kesukaannya. Kenapa Bastian begitu acuh untuk tidak bertanya?

Bastian mengarahkan mobilnya ke jendela tempat pengambilan makanan. Ia menyodorkan burger dan dua hashbrown ke arah Adelia.

"Aku lebih suka onion ring", tutur Adelia dingin.

"Hashbrown mereka enak", jawab Bastian dingin.

"Tapi aku biasanya makan orion ring", rengek Adelia tidak kalah dingin.

"Kan kamu udah biasa makan onion ring. Makanya cobain hashbrown mereka donk", perintah Bastian lagi. Ia membelokkan mobilnya menuju parkiran.

"Rodeo burger apaan sih? Aku gak pernah pesen", Adelia berusah untuk menyulut pertikaian lagi.

"Makanya cobain dulu, baru protes. Di dalamnya ada onion ring loh", jelas Bastian. Adelia mendengus. Burger apa yang di dalamnya make onion ring coba? Dasar pemaksa!

Adelia membuka bungkus sang burger dan mengeluarkan hashbrown dari bungkusannya. Entah apapun yang dipesan Bastian, yang jelas aroma makanan itu benar-benar membuat Adelia lapar. Ia mencomot Hashbrown dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Wow! Tidak disangka. Ia bukan penggemar berat hashbrown, tapi yang ini rasanya enak sekali, gumamnya. Ia melirik lemah ke arah Bastian, tidak ingin terlihat seperti kaget karena lezatnya sang makanan.

Bastian meliriknya jahil, karena ia tahu pasti Adelia pasti menyukainya.

"Pake ini lebih enak", tutur Bastian sambil mengeluarkan sebotol kecil saos sambal buatan Indonesia. Mata Adelia tidak tahan untuk tidak berdelik. Saos sambal di saat-saat seperti ini sensasinya seperti menemukan emas! Tidak banyak restoran cepat saji di Australia menyiapkan saos sambal. Bila pun ada, itu tidak gratis dan harganya bisa sama dengan salah satu menu makanan!

"Ya ampun kamu niat banget sampe nyimpan saos sambal di mobil! Yesss Thank you Tian!", pekik Adelia sambil menuangkan sambal itu ke kertas pembungkus burger. Bastian memarkirkan mobilnya di area restoran. Ia merogoh sesuatu dari kursi belakang dan memberikannya kepada Adelia. Sebuah nampan!

"Tian, kamu terniat. Tapi kamu hebat!", pekik Adelia lagi sambil memberikan jempolnya. Adelia meletakkan seluruh pesanan makanan mereka di nampan itu, memastikan semua tidak tumpah berceceran di mobil. Ia benar-benar kagum dengan kesiapan Bastian dalam menyajikan makanan dari drive thru. Seakan-akan ia sudah sering...

"Ya begitulah...", tutur lemah Bastian. Andaikan Adelia tahu kalau nampan dan saos sambal itu sebenarnya milik Maretha. Tapi tentu saja Adelia akhirnya menyadarinya. Mahasiswa laki-laki mana yang sesiap dan seniat itu dalam mempersiapkan nampan dan saos sambal di dalam mobilnya? Pastilah itu kerjaan sang pacar.

"Hemmm apalagi yang ada di mobil ini Tian? Coba aku tebak, handuk, tisu basah, sisir, cermin dan bantal?", tanya Adelia bercanda dengan tampang nakal. Namun Bastian tidak menjawab, ia menuangkan saos sambal ke dalam burgernya dan mulai makan dengan lahap.

"Makan Deellllll….", tuturnya di sela-sela gigitan burger dan hashbrown.

"Kamu punya itu semua di mobil ini?", tanya Adelia penasaran. Bastian akhirnya mengangguk pelan. Adelia akhirnya terdiam. Ia sudah malas meneruskan diskusi tentang itu. Lebih baik membahas makanannya saja. Ia ikut menuangkan saos sambal ke dalam burger dan mulai menggigitnya. Ia terpukau!

"Wow! Aku gak pernah pesan ini, dan ternyata enak banget! Kok kamu bisa kepikiran pesen ini? Padahal kayaknya biasa aja, ternyata enak ya!", pekik Adelia lagi. Badannya melonjak-lonjak sampai bisa menggoyangkan sedikit mobil Bastian. Ia kembali mencomot hashbrown miliknya dan memasukkan ke dalam mulut, sebagai selingan sang burger. Bastian mengangguk-angguk pelan sambil terus makan dengan lahap.

"Makan jangan buru-buru, nanti tersedak.", Bastian mengingatkan Adelia. Adelia menghentikan sejenak kunyahannya, menatap Bastian, kemudian mengangguk-angguk setuju. Ia melambatkan tempo makannya. Bastian tersenyum menatapnya. Adelia terlihat seperti seekor anjing pudel lucu yang sedang melahap makanan favoritnya. Ia pasti sudah sangat lapar.

"Tehnya masih ada kan? Kalau minumnya kurang, aku ada air mineral di belakang", tutur Bastian. Adelia mendelik.

"Wowww kamu bahkan ada air mineral. Ada bawang goreng juga gak?", tanya Adelia bercanda sambil menatap Bastian sambil melotot. Bastian terkekeh dan gemas melihat Adelia.

"Underwear juga ada. Mau liat?", tanyanya jahil. Adelia menjauhkan wajahnya dari Bastian dan kembali mencomot hashbrown miliknya.

"Ogah!"

Setelah akhirnya mereka menghabiskan makanan mereka, Bastian melajukan mobilnya ke arah perumahan di dearah Victoria Park. Mobil di parkir di depan sebuah rumah mungil yang sangat cantik, dengan taman depan mungil. Sebuah kursi terbuat dari besi ukir menghiasi sang taman, lengkap dengan beberapa pohon yang tahan akan 4 musim. Atapnya berwarna merah bata, dengan dinding bercat krem. Kusennya terbuat dari kayu berwarna senada dengan atap, dengan pintu mungil berwarna senada. Rumah yang jauh dari nuansa minimalis, tapi sangat imut. Adelia belum pernah melihat gaya rumah seperti ini di Indonesia.

Bastian tidak repot-repot membukakan pintu untuk Adelia. Ia langsung saja keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah mungil itu.

"Hey, ayo turun!", perintahnya kepada Adelia. Ia tercekat. Adelia masih berusaha mencerna makanan di perutnya, begitu juga dengan fitur rumah itu. Ia menghela nafas. Ternyata menghabiskan waktu lebih dari 6 jam dengan Bastian benar-benar mengesalkan ya. Adelia melangkahkan sepatu bootnya turun dan mengikuti Bastian. Inikah yang akan menjadi rumah mereka?

Pintu terbuka, dan muncullah seorang pria kulit putih dengan rambut berwarna merah bata. Ia sepertinya berumur pertengahan 50, dengan perawakan tidak begitu tinggi dan perut yang agak buncit. Ia tersenyum sumringah.

"Welcome mate! How are you? (Selamat datang teman! Apa kabar?)", tanyanya ramah. Ia menjabat tangan Bastian dan Adelia dengan erat. Adelia sampai agak terguncang-guncang.

"Hello sir (Halo pak)", tutur Bastian dan Adelian secara bersamaan. Mereka tersenyum seramah mungkin.

"My lady, please come in (Nona, silahkan masuk)", katanya sambil mempersilahkan Adelia masuk ke dalam rumah cantik itu.

Walau dari fisik luar rumah itu mirip dengan rumah Malik, namun bagian dalamnya sepertinya masih sangat orisinil. Bila rumah malik telah di renovasi menjadi tempat yang sangat minimalis, futuristik dan diperuntukkan sebagai kost-kostan mahasiswa dan karyawan, rumah ini memanglah sebuah hunian untuk keluarga kecil yang hangat. Dari penataan furnitur, sebuah perapian mini yang kuno, kitchen set yang berwarna merah bata, begitu juga dengan perabotan area makan. Sunguh pemandangan rumah tersebut, mengingatkan Adelia pada film-film inggris puluhan tahun silam.

"I know this house is a bit old fashion, but I guarantee it's cozy as hell! (Aku tau kalau rumah ini sedikit kuno, tapi aku jamin kalau rumah ini nyaman banget!)', tuturnya semangat. Penggunaan kata hell yang artinya neraka, sedikit menggelitik Adelia. Cozy as hell berarti kan senyaman neraka ya? Adelia menutup sunggingan senyumnya dengan jari-jarinya, seakan tidak ingin sang bule melihat ia terkikik.

"This house is suitable for small family. Wait, are you... married? (Rumah ini cocok sekali untuk keluarga kecil. Tunggu, apakah kalian...sudah menikah?)", tanyanya dengan alis berkerut ke arah Adelia dan Bastian sambil menggerakkan jari telunjukknya ke arah Bastian dan Adelia secara bergantian, seakan mencari fakta. Entah kenapa mereka panik dengan pertanyaan itu. Apa yang harus mereka jawab? Bastian dan Adelia saling berpandangan, dan mencoba untuk mengangguk pada saat yang bersamaan.

"Ah yes yes yes married. Look, wedding ring. We just got married last month in Indonesia (Ah ya ya ya telah menikah. Lihat, cincin pernikahan. Kami baru saja menikah bulan lalu di Indonesia)", jawab Adelia sambil menunjukkan jari manisnya. Bastian yang kikuk juga akhirnya menunjukkan jari manisnya, namun ia lupa kalau ia tidak mengenakan cincin pernikahannya. Ketika Adelia menyadarinya, ia melotot ke arah Bastian.

"I mean, I have no problem if you guys living together without marriage, I mean, lot's of people do it anyway. I just think it's cute to have newlywed in this house. So how many children are you planning to have? (Maksudku, aku tidak punya masalah sih kalau kalian ingin tinggal bersama tanpa perkawinan, maksudku, banyak yang melakukannya kok. Aku hanya berfikir, pasti manis sekali bila memiliki pasangan yang baru menikah di rumah ini. Jadi, berapa anak yang rencana ingin kalian miliki?)", tanyanya lagi dengan antusias. Adelia dan Bastian sama-sama melotot menatap sang pemilik rumah.

Aku ingin tiga, dua laki-laki dan satu perempuan sebagai anak bungsu, gumam Bastian.

Aku ingin 2, satu laki-laki dan satu perempuan. Kembar, gumam Adelia.

"Ehhhmmm I don't know (Ehhmm aku tidak tahu)"

"We havent decided yet (kami belum memutuskan)", kata Bastian dan Adelia secara bersamaan.

Jawaban mereka yang tidak kompak membuat suasana menjadi sedikit canggung. Sang pemilik rumah akhirnya menepuk tangannya dan mulai tersenyum garing.

"Well, let me explain about the house. There are 3 bedrooms, and 2 baths. One bath in the master bedroom, and one bath outside (Jadi, mari saya jelaskan tentang rumah. Ada 3 kamar tidur, dan 2 kamar mandi. Satu kamar mandi ada di kamar utama, dan 1 kamar mandi ada di luar", kata sang pemilik sambil menunjuk kamar mandi yang terletak di samping ruang tengah.

"I'll take the master bedroom (aku akan ambil kamar utama)", tutur Adelia penuh kemenangan sambil menantang Bastian. Pernyataannya justru membuat wajah sang pemilik rumah berkerut.

"You both can take the master bedroom, right? You kids later on can take the other room. Don't worry, the distance between this house and the neighbour is a bit far. You can say, it's kinda soundproof. So don't worry if you guys are doing your... eheemm... business, it will not bother the neighbour. Make as many kids as possible hehehehe (Kalian kan bisa sama-sama memakai kamar utama, kan? Anak-anak kalian nanti bisa memakai kamar yang lain. Jangan kuatir, jarak antara rumah ini dan tetangga cukup jauh. Jadi bisa dibilang, hampir kedap suara. Jadi kalian jangan kuatir bila kalian sedang melakukan... ehem...urusan kalian, itu tidak akan mengganggu para tetangga. Buatlah sebanyak mungkin anak ya hehehehe)", jelas sang pemilik rumah.

Bastian dapat melihat rona malu di wajah Adelia. Membicarakan soal kebersamaan mereka saja sudah cukup canggung, membahasnya dengan orang asing sungguh sangat meresahkan. Baru kali ini Bastian bertemu dengan orang lokal yang sangat kepo dengan urusan orang lain. Umumnya mereka cukup sopan untuk tidak membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi.

"Hehehe we will leaver the country after 2 semesters. We're finishing our degree in a year (Hehehe kami akan meninggalkan negara ini dalam 2 semester. Kami akan menyelesaikan gelar kami dalam setahun)", jelas Bastian. Ia tidak ingin membahas lagi soal anak-anak dan proses pembuatannya.

"But why? If you give birth here, in Australia, you will be given money. Not only that, your kids will have double citienship. They will have many benefit. Live here, give birth here! (Tapi kenapa? Kalau kamu melahirkan disini, di Australia, kalian akan di beri uang. Tidak hanya itu, anak kalian akan memiliki 2 kewarganegaraan. Mereka akan memiliki banyak kemudahan. Tinggal disini, melahirkanlah disini!)", ajak sang pemilik rumah. Bastian tertawa canggung sementara Adelia tersenyum garing dan melepaskan diri dari 2 pria itu dan menuju dapur. Mungkin bila sekali lagi mereka membahas soal anak, ia mungkin mimisan.

"The kitchen is a bit old (dapurnya sepertinya agak kuno)", tutur Adelia mengalihkan pembicaraan. Sang pemilik mendekati Adelia.

"Ah yesss, but functioning. There are 4 stoves, a working oven and non-clogged sink. Hey let's look at the bathroom in side the master bedroom. It is beautiful. It's like a bathroom in a movie, equipped with beautiful bath tub (Ah benar, tapi berfungsi. Ada 4 kompor, oven yang berfungsi dan wastafel yang tidak tersumbat. Hey, ayo kita lihat kamar mandi yang berada di dalam kamar utama. Sangat indah. Ia seperti kamar mandi yang sering dilihat di film, dilengkapi dengan bak mandi yang indah)", ajaknya sambil merangkul Adelia untuk memasuki kamar utama.

Ketika mereka melongok ke dalam kamar mandi utama, ia tidak bohong. Kamar mandi itu terlihat seperti kamar mandi hotel mewah pada tahun 1970-an. Aksesoris serba emas, granit putih, tegel putih, serta cermin yang luas. Sebuah bak mandi yang cukup besar, berdiri terpisah dari dinding-dinding kamar mandi. Persis seperti di film-film. Indah tapi benar-benar kuno, walau bak mandi itu sendiri terlihat begitu kokoh dan antik.

"This bath tub can be occupied by couple, hehehe, if you know what I mean... (bak mandi ini dapat menampung pasangan, heheheh, bila kalian tau apa maksudku", jelasnya dengan senyum jahil sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya. Adelia dan Bastian sekali lagi tersenyum dengan ramah, walau dalam hati, mereka merasa tidak nyaman. Bayangan mereka sedang berciuman di apartemen tengah kota kembali menghantui Adelia, yang membuatnya vertigo sesaat.

"I wan't to see the backyard (aku mau melihat halaman belakang)", pinta Bastian. Ia ingin segera keluar dari rumah itu. Ia sudah melihat cukup banyak untuk dapat membandingkan rumah itu dengan apartemen tengah kota.

"Ah yesss, come here (oh iya, mari sini)", sang pemiliki menggiring Adelia dan Bastian menuju pintu yang menuju halaman belakang. Alangkah indahnya bila pintu berwarna merah bata itu bisa digantikan dengan pintu geser yang terbuat dari kaca, sehingga sepanjang hari mereka bisa memandang halaman belakang mereka. Adelia teringat kembali kepada jendela besar di apartemen tengah kota yang indah.

"It's not very safe in this area, many bad people crash big windows just to get your valuables items (tidak begitu aman di daerah sini, banyak orang jahat memecahkan jendela-jendela besar hanya untuk mengambil barang-barang berhargamu)", kata sang pemilik sambil menggerak-gerakkan telunjuknya.

Tiba-tiba Adelia merinding mendengar kabar tak sedap itu. Ia memang pernah mendengar bahwa beberapa daerah di kota Perth cukup rawan maling. Walau umumnya mereka tidak menyakiti pemilik rumah, tapi kita tidak pernah tahu kan? Adelia melirik ke arah Bastian dengan kuatir. Bastian tiba-tiba merangkul pundak Adelia dengan lembut, seakan ingin menenangkan hatinya. Sebenarnya, Bastian juga kuatir. Ia berfikir, bagaimana bila ia dan Adelia memiliki jadwal kuliah atau yang berbeda, sehingga sang istri harus sendirian berada di rumah?

Sang pemilik rumah membuka pintu belakang itu, dan hawa dingin menerpa wajah Adelia dan Bastian. Halaman mungil yang besarnya tiga kali lipat dari halaman depan rumah itu terlihat begitu imut. Tidak banyak yang bisa dilihat, hanya hamparan rumput yang kedinginan, beberapa pohon 4 musim di sisi-sisinya dan pagar putih yang rapi. Sebuah ayunan dengan 2 dudukan berdiri kokoh, yang sepertinya cukup kuat untuk mengayun 2 orang dewasa. Adelia melangkah menuju ayunan tersebut dan mulai menaiki salah satunya.

"The fence is new, and the swing is a gift. Isn't she beautiful? (Pagar itu baru, dan ayunan itu adalah sebuah hadiah/berkat. Bukankah ayunan itu cantik?)", tanya sang pemilik rumah. Bastian memperhatian Adelia yang sibuk berayun-ayun. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar, seakan berlomba dengan angin yang menderu. Tawanya renyah, seakan ia anak SMP yang baru saja menemukan cinta pertamanya.

"Tiiaaannn! Siniii!!", teriak Adelia memanggil suaminya. Bastian masih berdiri kokoh disamping sang pemilik rumah. Ia tersenyum.

"Ya, she is beautiful (ya, dia memang cantik)", jawab Bastian. Ia tidak sedang membicarakan ayunan itu.

"So, can you picture this as, your house? (Jadi, apakah kau bisa melihat rumah ini sebagai rumahmu?)", tanyanya lagi.

"As long as she's there, it's my house (asalkan ia ada disitu, itulah rumahku)", tutur Bastian setengah berbisik kepada sang pemilik. Kemudian Bastian berjalan pelan ke arah Adelia yang masih saja terus berayun-ayun dengan sumringah.

Ia duduk di ayunan yang kosong, dan berayun pelan. Tatapannya tidak lepas dari Adelia yang masih berayun kencang. Wajah Adelia terlihat begitu santai, lepas dan cantik. Hati Bastian membuncah, entah kenapa ia merasa super bangga hari ini, Ia tidak menyangka sebuah ayunan bisa membuat istrinya itu Bahagia.

"Tian ini seru banget! Kenapa ya kita gak pernah punya ayunan dirumah kita? Padahal ini seruuu bangettt!", pekik Adelia di sela-sela ayunannya. Bastian menatap wajah Adelia dengan serius.

"Ya Del, aku akan pasang ayunan, dimanapun kita tinggal. Berapapun ayunan yang kamu mau, asalkan kita tinggal bersama, dan kamu bisa selalu tersenyum seperti sekarang ini…", gumam Bastian tanpa komando. Entah dari mana ia tiba-tiba punya keinginan seperti itu.

Next: Apartemen Sarang Cinta