BAB 69: Apartemen Sarang Cinta

Lagu Sunrise yang dinyanyikan oleh Norah Jones sedang diputar oleh stasiun radio kesukaan Bastian. Mobil Bastian tiba-tiba berubah menjadi lounge santai. Adelia yang baru pertama kali mendengar lagu itu, langsung menyukainya dan mencoba bersenandung dengan nada-nadanya yang ringan dan santai. Kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan, seiring dengan kakinya yang seakan ikut berdansa bersama sang lagu. Suasana hatinya yang bagus, membuat Bastian tersenyum lega. Kira-kira apa yang membuat Adelia begitu bahagia di siang hari ini? Rumah tadi kah? Ayunannya? Atau cuaca yang cerah namun sejuk?

"Kemana kita sekarang, Tian?", tanya Adelia setelah lagu itu selesai, dan beralih ke salah satu lagu hits yang di bawakan oleh salah satu band lokal Australia.

"Apartemen, deket rumah Malik. Harga sewanya sama dengan rumah yang tadi, walau uang gak masalah sih kata papa. Kita harus cek apartemen yang ini, aku rasa lebih aman dan nyaman dibanding rumah yang tadi. Kalau nyaman mungkin lebih enak apartemen di city tadi sih, cuma ya gitu, jauh dari mana-mana ya. Menurut kamu gimana?", tanya Bastian sambil menoleh sebentar ke arah Adelia. Adelia hanya mengangkat bahunya. Terlalu awal untuk mengatakan sesuatu.

Bastian berbelok ke arah sebuah apartemen yang tidak setinggi apartemen di tengah kota. Begitupun, disain dan suasananya sepertinya lebih asri dan nyaman. Mobil Bastian di parkir di tempat para tamu parkir, dimana parkir bawah tanah hanya di peruntukkan untuk penghuni.

"Yuk! Turun, aku kesana bentar ya mau ambil kunci. Si pemilik udah nitipin kuncinya di resepsionis", jelas Bastian sambil meninggalkan Adelia yang masih terduduk di mobil. Ia pelan-pelan keluar dan menutup mobil Bastian dan berjalan ke arah pintu masuk apartemen. Bastian keluar dan mencari Adelia yang tidak kunjung muncul di lobby.

"Hey, sini! Cepetan!", seru Bastian sambil memamerkan sederet kunci dan kartu pas menuju apartemen. Adelia mengekori Bastian dari belakang. Kini mereka sedang menunggu pintu lift terbuka. Adelia melihat sekeliling lobby apartemen itu. Tidak semewah dan seminimalis apartemen tengah kota, tapi suasananya agak berbeda. Terlihat lebih banyak keluarga kecil yang berlalu lalang, mahasiswa ataupun pasangan yang lanjut usia. Ya, terlihat lebih nyaman untuk Adelia dan Bastian, karena rata-rata mereka dari Asia.

"Tingg", pintu lift terbuka. Adelia dan Bastian berusaha memasuki lift yang langsung penuh sesak. Adelia panik ketika para penghuni menerjang masuk, membuat Adelia sedikit terlempar karena kalah gerak cepat. Bastian menarik tangan Adelia agar istrinya itu bisa segera masuk ke dalam lift dan aman dalam pengawasannya. Adelia diletakkan Bastian di sudut dalam lift, dimana tubuh kekar suaminya itu membentenginya dengan aman. Adelia dapat menghirup wangi pelembuat pakaian dari kaos yang dikenakan Bastian, yang tepat berada di depan hidung Adelia. Mengingat momen ciuman mereka di apartemen tengah kota, entah kenapa fikiran liar Adelia menyarankannya untuk memeluk dada dan pinggang ramping itu.

Kontan Adelia menepuk pipinya agar otak mesumnya sadar. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha agar semua bagian-bagian otaknya seimbang dan tidak berfikir yang aneh-aneh lagi. Bastian memperhatikan tingkah aneh Adelia, dan memaksakan diri untuk melihat kebawah.

"Kenapa?", bisik Bastian. Melihat gelagat Adelia yang mencurigakan, Bastian menjadi agak kurang percaya diri sebenarnya. Ia sangat yakin telah memakai deodoran yang selalu ada di tas olahraganya. Apakah Adelia merasa pengap dengan bau badannya? Atau apa? Adelia mendongak ke atas, menatap wajah Bastian. Ia menggeleng pelan dengan wajah polos ala anak SD.

"Kita di lantai 9, sebentar lagi kok. Ok?", bisik Bastian lagi seakan ingin menenangkan seorang bocah. Adelia yang masih mendongak menatap Bastian, mengangguk pelan. Dari perspektif atas, Bastian dapat melihat betapa lentik dan panjangnya bulu mata Adelia, betapa mungil hidungnya, dan betapa mengkilaunya rambut istrinya. Selain itu, Adelia terlihat seperti anak SMP yang mungil. Anak SMP mungil dengan pakaian yang super modis walau tanpa polesan make-up namun tetap terlihat cantik. Bastian merenggangkan kedua tangannya, seperti benar-benar mengurung Adelia dengan posesif. Mereka saling menatap tanpa alasan, seakan Cuma mereka berdua di dalam lift itu.

"Ting!", lift menunjukkan kalau mereka telah sampai di lantai 9. Pandangan mereka teralih dan fikiran mereka tersadar. Bastian langsung membuat brigade agar Adelia dapat keluar dari lift tanpa halangan. Ia menyambar tangan istrinya dan menuntunnya ke lorong lantai 9 itu. Adelia cukup terkesima, karena Bastian biasanya sosok yang sangat cuek.

"Kamar 905...hemmm ini dia!", tunjuk Bastian pada sebuah pintu. Ia segera menempelkan kartu keamanan di pintu dan membuka apartemen itu lebar-lebar.

Sebuah cahaya yang terang langsung menerjang Bastian dan Adelia. Seperti halnya dengan apartemen di tengah kota, ruang tengah apartemen ini memiliki jendela super luas dengan dengan fram terbuat dari logam. Sebuah gorden vitrase putih tak mampu menahan cahaya matahari untuk masuk dan menerangi apartemen bergaya minimalis itu. Bastian membuka gorden itu, dan tampak sebuah pintu menuju balkon mini. Cukup untuk sebuah meja, dua buah kursi dan beberapa pot tanaman.

"Dua kamar dan 1 kamar mandi di luar. Mirip apartemen di city, cuma gak ada balkon di kamar. Balkonnya cuma yang ini", kata Bastian sambil menunjuk balkon itu. Adelia mengangguk. Ia segera menuju dapur, wilayahnya. Dapur bergaya minimalis itu sudah memiliki fasilitas penting seperti kompor 4 tungku, oven, dua wastafel dan bahkan microwave. Sebuah kulkas besar dua pintu berwarna abu-abu mudah berada persis disamping kitchen set bernuansa abu-abu muda juga. Walau peralatannya tidak semewah dan secanggih apartemen di city, Namun jauh lebih moderen daripada milik asrama mereka.

Sewa sudah termasuk internet, kabel tivi, sama uang keamanan. Menurutku sih lebih aman kalau tinggal di sini ya Del?", tanya Bastian. Adelia masih belum bersuara. Ia berjalan menuju kamar-kamar yang terlihat sama besarnya. Masing-masing kamar memiliki sebuah tempat tidur ukuran single, sebuah lemari dan meja belajar.

"Kayaknya penyewa sebelumnya 2 mahasiswa kali ya? Bukan keluarga deh. Soalnya tempat tidurnya single dan masing-masing ada area belajarnya gitu", tutur Adelia. Bastian yang tadinya hendak duduk di sofa dan mencoba menghidupkan TV, langsung beranjak menuju Adelia. Ia ikut melongok ke dalam dua kamar itu dan mengangguk-angguk.

"Wow bagus donk, kita bisa hemat nih gak usah beli meja belajar lagi. Kalo apartemen di city ama rumah yang tadi belum ada, jadi mungkin kita harus belajar di meja makan yah...", pikir Bastian.

"He eh, males banget yak. Dapurnya juga ok nih, kulkasnya besar. Kulkas di rumah tadi umurnya kayaknya udah lebih dari 25 taon ya. Kayak kulkas kita pas jaman SD", komentar Adelia.

"He eh, rumah tadi kayak kapsul waktu ya, tapi versi bule. Kayak nonton film-film jadul", ejek Bastian yang disambut dengan ketawa ngikik Adelia.

Mereka sama-sama membuka pintu kamar mandi. Adelia sedikit kecewa karena tidak ada bak mandi disitu, walau area kamar mandi cukup luas. Setidaknya lebih luas dari kamar mandi di asrama mereka. Begitupun, kamar mandi dengan nuansa serba putih itu sangat bersih dengan penataan yang apik. Wastafel yang terbuat dari granit abu-abu membuatnya terlihat seperti kamar mandi hotel mini. Adelia mengangguk-angguk.

"Ok lah, boleh juga", katanya santai. Ia berjalan ke ruang tengah dan akhirnya memutuskan untuk duduk di sofa empuk berwarna abu-abu muda itu.

"Gimana Del? Mana yang paling kamu suka?" Tanya Bastian. Adelia menggoyang-goyangkan kepalanya dengan pelan, tampaknya ia sedang berfikir keras.

"Kalo interiornya sih suka yang di cityyy", seru Adelia jahil. Siapa yang tidak suka tinggal di tengah kota di apartemen yang mayan mewah. Bastian memicingkan matanya menatap Adelia. Istrinya itu tertawa ngikik dan kemudian duduk bersandar dan melipat kakinya yang masih mengenakan sepatu boot. Gaun yang sudah ia kenakan lebih dari 24 berkibar di pahanya.

"Tapi, jauh dari mana-mana ya Tian. Kalo aku mau ketemuan ama Lisa, Malik, ama temen-temen sekampus, PR banget yak? Belum kalau harus ke kampus. Tau sendiri kuliah kita sore. Mau jam berapa aku siap-siap? Pulangnya dari sana aja udah jam 8 malam, mau sampe jam berapa di rumah ya?", pikir Adelia sambil melipat tangannya dan berandai-andai.

"Kan pulang pergi kuliah bisa sama aku...", tutur Bastian. Adelia mengangguk-angguk. Ya kalo gak di ganggu sama Maretha, gumamnya.

"Tapi kan jadwal kuliah kita belum tentu bareng. Belon kalo aku ada tugas, harus ke perpus dari pagi, atau abis kuliah meeting bentar ama temen-temen kantor. Aduh kayaknya ribet. Suka sihhhh sama city, tapi kalo harus bolak-balik tiap hari ke city kayak gitu, aku masih belum nyaman.

"Gimana kamu sama Maya masala? Bukannya masih mau kerja?", tanya Bastian. Karena awalnya ia mempertimbangkan apartemen itu, ya karena aksesnya yang dekat ke Northbridge.

"Hemmm siapa yang butuh kerjaan kalo uda ada black card dari papa Abraham haahahhaha", kata Adelia terbahak-bahak. Bastian kontan menjatuhkan dahinya ke salah satu telunjuk tangannya, seakan-akan kepalanya membutuhkan tompangan serius saat ini. Benar juga sih. Setelah menikah, kedua orangtua mereka seakan-akan sedikit melonggarkan budget mereka. Yang penting Bastian dan Adelia bahagia dan cepat-cepat menyelesaikan perkuliahan mereka. Uang tidak masalah.

"Eh tapi enggak sih, aku masih pengen kerja, tapi mungkin seminggu dua kali aja deh, biar sekalian jalan-jalan ke city", tutur Adelia lagi.

"Nah ok kita coret apartemen city. Rumah yang tadi? Gimana?", tanya Bastian. Adelia tersenyum joker sambil memperlihatkan sederet gigi-gigi putihnya. Ia menggeleng-gelengkan wajahnya dengan cepat.

"Pemiliknya anehhh", kata Adelia sambil menyerngitkan dahinya.

"Kan kita gak tinggal ama pemiliknyaaaaa", balas Bastian. Walau Bastian geli bila membayangkan sang pemilik akan sering datang berkunjung.

"Iya sih, walau rumahnya lama, tapi luas ya. Udah kebayang bakal undang temen-temen, nonton bareng, main bareng, belajar bareng. Halaman luas gitu, enak juga kita barbekyu yah, boleh juga sih", tutur Adelia sambil menerawang melihat langit-langit apartemen.

"Hey, mau main atau mau belajar sih disini?", tanya Bastian mengejek. Ia melemparkan bantal sofa ke perut Adelia.

"Waddooowww hahahah iyaaa iyaaa kan buat selingan aja. Tapi kok serem juga sih ya, takut gak aman. Malik pernah cerita sih bahkan rumahnya aja pernah hampir kemalingan. Untung aja dirumahnya yang tinggal 7 cowok, dan memang pintu, jendela rumah dia aman banget. Semua pake sistem alarm gitu", jelas Adelia. Bastian mengangguk-angguk.

"Kalau ini?", tanya Bastian. Adelia mengangguk-angguk pelan sambil melihat ke sekeliling apartemen itu.'

"Aku suka sih apartemennya, mirip-mirip aja dengan apartemen di city. Mayan lengkap, dan lebih nyaman sih ya. Lebih deket juga ke kampus, dan yang paling penting, deket banget ke rumah Malik! Hihihi", gelak Adelia.

"Penting banget kayaknya deket ama si Arab itu?", tanya Bastian santai. Ia menghidupkan televisi dan mengecek saluran-salurannya.

"Hemmm iya lah, dimana ada Malik, di situ ada Lisa. Tadi pas kita mau kesini, kayaknya ngelewatin rumah dia. Jalan kaki mungkin gak sampe 10 menit kayaknya", tutur Adelia lagi.

"Hemmm kayaknya aku belon pernah tuh kerumah dia. Boleh juga nanti kita mampir. Lisa lagi disana kan?", tanya Bastian santai. Adelia tercekat. Itu sebuah ide yang buruk. Bagaimana bila Bastian tahu kalau Justin juga tinggal disana?

"Ah kesorean gak?", tanya Adelia. Ia ingin menghindari kunjungan kerumah Malik.

"Setelah dipikir-pikir, kenapa kita gak tinggal di rumah Malik aja? Kata dia semester depan beberapa temen serumahnya balik ke Indonesia. Sekalian ajak aja Lisa tinggal disitu. Gampang kan?", tanya Bastian serius. Ia menatap Adelia meminta persetujuan.

"Errmmm errrmm gimana ya... kayaknya dia gak terima mahasiswa perempuan...", balas Adelia.

"Kata Malik pernah kok ade cewek. Gak masalah...",

"Errrmmm kayaknya dia gak punya deh kamar yang untuk suami istri gitu, jadi kita gak bisa tinggal disana", jawab Adelia lagi. Bastian terdiam sesaat dan menatap Adelia bingung.

"Yang bilang mau sekamar ama kamu disana siapa Del? Ya kalo kita tinggal di sana, ya kita masing-masing punya kamar sendiri lahhhh", Bastian tidak dapat menyembunyikan senyumnya ketika mengatakannya. Dapat ide dari mana Adelia kalau mereka akan tinggal di kamar yang sama, di sebuah rumah yang dihuni mahasiswa-mahasiswa tanpa pasangan? Adelia kontan menepok jidatnya. Benar juga, kesannya seperti Adelia yang pengen banget sekamar dengan sang suami.

"Ehhhh gimana kalo tiba-tiba orangtua kita dateng? Dimana mereka tinggal? Apa mereka gak protes tuh kalo kita tinggal rame-rame kayak gitu? Apalagi disana tuh pasti kamar mandinya di luar kamar kan? Hayoooo pasti protes lah itu emak-emak kitaaa", kilah Adelia. Bastian mengangguk-angguk. Benar...benar. Saat ini bukan saat yang tepat untuk membuat kedua orang tua mereka kuatir atau marah. Bisa gawat, black card bisa di cabut.

"Jadi kamu ok dengan apartemen ini?", tanya Bastian. Adelia mengangguk-angguk pelan. Adelia kemudian berdiri karena sepertinya kunjungan mereka di apartemen itu akan segera berakhir. Ia berjalan pelan ke arah meja makan mungkin dengan 4 kursi. Entah kenapa ia sudah bisa membayangkan menghidangkan makanan untuk ia dan Bastian, meminum teh hangat berdua dan masing-masing membuka laptop sambil mengerjakan tugas. Perasaan apa ini? Membayangkannya saja sudah membuat hati Adelia begitu hangat, yang menjalar ke pipi dan kepalanya. Indah.

Ketika Bastian menatap Adelia yang sedang berdiri di samping meja makan, entah kenapa fikirannya melayang kepada Maretha. Berbulan-bulan gadis itu merecokinya tentang hidup bersama seperti ini. Mereka akan memasak sarapan bersama, menyeduh kopi bersama, dan mulai membahas perkembangan ekonomi makro dan mikro Indonesia dengan antusias. Maretha selalu berkata mereka adalah tim yang hebat. Suatu hari mereka berdua bahkan dapat membangun perusahaan akunting publik mereka sendiri, disini, di Australia. Yang mereka perlukan hanyalah tinggal bersama. Impian Maretha.

Bastian merapatkan bibirnya, seiring dengan gigi-gigi gerahamnya menyatu. Ia memejamkan matanya, seakan ingin berkata agar fikirannya lurus dan fokus, karena wanita di hadapannya bukanlah Maretha. Untuk seseorang yang belum pernah merasakan jatuh cinta seutuhnya, Bastian serasa berada di persimpangan antara memilih diantara dua wanita, sedangkan posisinya sendiri sudah nyata. Sudah fix. Ia hanya perlu menata hatinya dengan baik, dan harus mulai belajar mencintai wanita dihadapannya ini.

"Apartemen ini akan jadi rumah kita Del...", seru Bastian penuh arti. Adelia mengangguk. Adelia dan Bastian harus merelakan kenyamanan tinggal di Asrama yang mereka sukai selama ini. Dahulu, Bastian dan Adelia saling menghindari satu sama lain. Sekarang, mereka justru harus tinggal bersama.

"Iya, rumah kita untuk dua semester...", jawab Adelia. Dalam waktu satu bulan, mereka harus hengkang dari asrama mereka karena semester sudah berakhir. Adelia menatap apartemen yang akan menjadi tempat mereka pulang, dalam keadaan senang atau susah. Dalam dua semester, mereka akan mencoba untuk saling berbagi, saling mendukung, saling menghormati dan saling menjaga untuk tidak saling bunuh-bunuhan. Entah apa yang akan terjadi setelah 2 semester itu. Adelia memiliki harapan ambigu...

Akankah ia dan Bastian...

Adelia teringat akan rumah indah mereka di Jakarta. Dahulu, ketika ia dan Bastian masih kecil, kedua orangtua mereka adalah pasangan ambisius mengejar karir mereka. Walau sama-sama terlahir dari keluarga yang berkecukupan, kedua orangtua mereka sangat serius bekerja dari pagi hingga malam. Mama Wien saat itu bahkan harus berjuang dalam menyelesaikan spesialisasi bedahnya dan hampir selalu tidak dirumah. Mama Cecilia yang memulai bisnisnya sebagai penyelenggara pesta ulang tahun dan perkawinan, hampir tidak pernah ada di rumah selama akhir pekan. Rumah-rumah mereka yang semakin hari semakin besar dan mewah, membesarkan jarak antara mereka dan orangtuanya. Begitu juga Bastian.

Tapi setidaknya orang tua mereka saling mencintai. Walau pertemuan-pertemuan singkat mereka hanya terjadi di meja sarapan dan acara-acara penting, rumah mereka tetap terisi oleh cinta dan kehangatan. Sejauh-jauhnya mereka melangkah, seberat-beratnya kerja mereka di luar sana, mereka tidak sabar untuk pulang kerumah.

Adelia memberanikan diri menatap Bastian, sang suami. Tatapan lembutnya itu diterpa cahaya matahari dari jendela, sehingga Bastian dapat melihat wajah Adelia yang seakan di cium matahari. Putih kekuningan, dengan bibir mengkilap dan bola mata berwarna coklat yang terlihat sedikit trasnparan. Seperti sebuah filter instagram. Ia berjalan pelan tapi mantap ke arah Adelia, dan langsung memeluk istrinya itu dengan erat. Sangat erat sampai Adelia tercekat dan menahan nafasnya.