BAB 70: Hampa

Apa yang terjadi? Apa yang sedang Bastian fikirkan? Adelia berdiam bagai patung sementara membiarkan Bastian memuaskan pelukannya. Lengan kekar itu melingkari pundak dan kepala Adelia, dimana salah satu tangan Bastian mengelus lembut kepalanya. Adelia dapat merasakan deru nafas Bastian, seakan sesak karena hal tak terucap. Setelah semenit berlalu, Bastian melepaskan pelukan itu, dan begitu saja membuka pintu apartemen dan meninggalkan Adelia!

Nah sekarang apa yang terjadi? Adelia benar-benar tidak habis fikir dengan jalan pikir sang suami. Ia mengumpat berata anehnya Bastian, dan ia bertanya-tanya apa yang terjadi pada mahkluk itu setelah mereka lulus SD. Mungkin ia pernah tertabrak truk tronton dan kehilangan akal sehatnya. Sejak pagi, entah sudah berapa kali Bastian bersikap super impulsif.

Adelia mengikuti langkah besar Bastian, dan melihat sang suami sudah bersiap-siap memasuki lift yang terbuka. Adelia berlari kencang agar tidak tertinggal memasuki lift yang sudah setengah penuh oleh penghuni lainnya. Kali ini Bastian tidak ada inisiatif untuk membentengi atau setidaknya menarik tangan Adelia untuk berdiri disampingnya, melindunginya. Adelia tidak keberatan, sehingga ia mulai mencari posisi aman dan nyaman di lift yang berukuran sedang itu.

Ketika mereka keluar dari lift, Bastian segera berjalan ke arah meja resepsionis, yang sepertinya ingin mengembalikan kunci kepada pihak penyelia. Adelia tidak repot-repot menunggu sang suami di lobby, karena sepertinya toh Bastian tidak memintanya. Ia segera keluar dari gedung untuk melihat taman-taman yang ada di sekitar apartemen. Setidaknya Adelia bisa mencari hiburannya sendiri.

Beberapa kursi taman tampak berjejer mengelilingi satu set tempat bermain kecil. Adelia dapat melihat beberapa anak keturunan Asia sedang bermain, sementara sang ibu duduk di salah satu kursi taman dan sibuk memotretnya. Adelia tersenyum melihat mereka. Akankah suatu hari nanti...

"Del!", seru Bastian yang ternyata sudah berdiri di samping mobilnya. Adelia menatap Bastian dengan datar. Ia berjalan perlahan menuju sang suami dengan fikiran yang bercabang-cabang. Ada gejolak aneh yang sedang ia rasakan, tapi ia tidak tahu persis itu apa dan bagaimana cara menenangkannya. Ia hanya tahu, gejolak aneh ini lebih kepada rasa hampa...

Ya itu dia... hampa....

Melihat-lihat rumah yang akan ia tempati dengan Bastian hari ini, entah kenapa membuat harinya terasa hampa. Dalam waktu satu bulan, ia akan tinggal bersama seseorang yang secara sah adalah miliknya, namun rumah itu akan terasa hampa. Saat ini, hati Adelia merasa ia masih mengharapkan Justin, sementara Adelia yakin, Bastian belum bisa melupakan Maretha. Adelia merasa saat itu datang (tinggal bersama), ia mungkin akan terus melihat bagaimana Bastian tersiksa karena berpisah dari Maretha, dan bagaimana Adelia tersiksa karena ia terus diingatkan pada saat ini, tidak ada yang mencintainya dengan sepenuh hati.

Tinggal bersama dengan seseorang yang mencintainya dengan sepenuh hati, apakah itu permintaan yang terlalu sulit?

Hatinya terasa hampa karena ia akan pulang kerumah tanpa cinta yang utuh, tanpa cinta yang penuh. Ia akan tahu, rumah hangat itu lama kelamaan akan mulai dingin membeku. Tapi kemudian Adelia menampiknya, bukankah ini bagian dari kesepakatan mereka? Bukankah permintaan Adelia sendiri agar pernikahan mereka tidak mempengaruhi "pengalaman tinggal di luar negeri" yang selama ini ia inginkan? Bukankah ia hanya ingin merasa ia dan Bastian hanyalah dua pelajar Indonesia yang sedang kuliah S2, bukanlah sepasang suami istri yang telah menikah sah. Ya, inilah keinginan Adelia. Ia harus mentaati konsekuensi dari pilihannya.

Ketika Adelia sudah sampai di samping Bastian, ia melihat sesosok yang sangat akrab keluar dari Lobby! Adelia melotot dan seluruh badannya tegang. Ia melongok ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari tempat persembunyian. Bastian yang menyadari kepanikan sang istri, berusaha untuk melihat sumber ketakutannya.

Justin...

Cowok itu tampak begitu tampan siang ini! Ia mengenakan sebuah hoodie bertuliskan "Curtin University" berwarna biru tua dengan paduan celana selutut berwarna putih gading. Ia mengenakan sepatu tenis berwarna senada dengan celana pendeknya, dan terkesan sangat santai. Rambutnya yang tidak disisir secara serius, membuat poninya acak-acakan di dahinya, persis seperti rambut Bastian. Kloningan suaminya itu tetap tampak lebih indah dimata Adelia, entah kenapa.

Segera Bastian memeluk Adelia, seakan berusaha menyembunyikan wajah istrinya dan wajah dirinya sendiri. Bastian tidak begitu yakin alasan kenapa mereka harus bersembunyi seperti itu, tapi sepertinya ini yang Adelia inginkan. Justin berlalu begitu saja tanpa menyadari kehadiran Bastian dan Adelia. Ia bersiul-siul berjalan ke arah luar kompleks apartemen, yang sepertinya akan berjalan membeli sesuatu di wilayah sekitar itu.

Hati Adelia berdetak sangat kencang, nafasnya tersengal-sengal. Ingin rasanya ia mengkerut dan bersembunyi di dekapan Bastian lebih lama lagi. Entah kenapa ia takut sekali berpapasan dengan Justin saat ini. Apakah karena ia sedang bersama Bastian, dan ia tidak ingin Justin salah paham? Bagaimana tidak salah paham? Bagaimana pun Adelia kan sudah menjadi istri orang lain!

"Justin, Del... dia ternyata tinggal di apartemen ini juga...It's ok...dia udah pergi kok", bisik Bastian lembut ke telinga Adelia. Istrinya itu ternyata refleks ikut memeluk sang suami dengan kencang. Bastian baru tersadar karena ia memeluk Adelia. Ia celingak-celinguk ke kiri dan kekanan dan berharap tidak ada orang yang ia kenal melihatnya seperti ini.

"Del... it's ok, dia udah pergi....", bujuk Bastian sambil mencoba merenggangkan pelukan mereka.

"Ssstt..Tian, begini sebentar ya. Sebentarrr aja", kata Adelia memohon. Ia masih ingin menenangkan hatinya, dan entah kenapa ia menemukan kenyamanan yang tentram di pelukan suaminya. Bastian dengan kikuk mendaratkan kembali dengan pelan kedua tangannya di pundak Adelia. Tadinya, tangan-tangan itu sudah sempat menolak pelan Adelia, tapi ternyata sang istri masih memerlukannya.

Adelia menghirup dalam-dalam wangi tubuh Bastian dan mempererat pelukannya. Entah kenapa, ada air mata yang siap tumpah tanpa alasan yang jelas. Sedihkah ia, senangkah ia, lega kah ia, takutkah ia? Bila iya, pada siapa? Adelia terus berusaha mencerna rasa aneh yang bergejolak di dadanya. Beberapa detik yang lalu, dia dihadapkan pada dua laki-laki yang nyaris identik. Ia sayang, suka dan rindu, tapi ia tidak bisa memutuskan pada siapa perasaan-perasaan itu ia tujukan. Semua terasa samar.

"Tian...", bisik Adelia.

"Ya Del...", jawab Bastian sambil berbisik juga. Sebenarnya suaminya itu sedikit kesal. Ia tidak menyangka Adelia akan melompat seperti kelinci ketakutan ketika melihat Justin. Adelia sungguh tidak bisa menyembunyikan perasaanya yang terdalam, kalau ia masih sangat mencintai Justin. Hipotesa itu membuat Bastian geram dan merasa pelukan Adelia terasa panas di tubuhnya, namun ia tidak dapat melepaskan kungkungan sang istri.

"Bagaimana kalo kita cari apartemen..." belum sempat Adelia meneruskan kalimatnya, HP Bastian bergetar. Karena kaget, Bastian refleks mengangkat HP itu.

"Halo, ya... aku masih....ehhhmmmm....", Bastian menjawab panggilan telfon itu dengan kikuk. Ia mendorong pelan Adelia agar menjauh dari dirinya. Adelia yang sadar diri, mengetahui pasti bila panggilan itu pastilah dari Maretha. Ia memoles kembali harga dirinya, dan secepat kilat melepaskan pelukannya dari Bastian. Ia merapikan rambutnya, meluruskan longcoatnya dan merapikan letak tas tangan di pundaknya. Bastian mencoba berjalan mundur dan masih terus berbicara pelan dengan sang penelfon.

"Sebentar lagi selesai kok, kamu udah sampe di asrama kan?", tanya Bastian lagi setengah berbisik. Ia membalikkan badannya agar Adelia tidak dapat melihatnya berbicara dengan sang penelfon.

Sebuah bara kembali meledak di hati Adelia. Bara ini lebih dasyat dibandingkan yang terpercik di apartemen tengah kota. Ia tidak bisa membayangkan keadaan seperti ini akan terus berulang bila mereka akan tinggal bersama nanti. Walalupun rumah itu tanpa cinta, namun ia tidak ingin selalu diingatkan oleh Bastian dan Maretha kalau ia hanyalah nyamuk malang yang berada di antara cinta mereka. Ini memuakkan!

Adelia tidak tahan lagi, ia berjalan mundur dan kemudian berbalik badan untuk berjalan keluar kompleks apartemen itu. Bukankah cuma butuh waktu 10 menit berjalan untuk sampai di rumah Malik? Bagaimana dengan berlari, mungkin lebih cepat! Adelia berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. Ia ingin tahu, di langkah keberapa Bastian akan menyusulnya? Di langkah keberapa bahkan Bastian akan menyadari bahwa ia pergi dan berlalu?

Adelia benar, butuh waktu beberapa saat untuk Bastian menyadari bahwa Adelia sudah pergi. Ketika ia berbalik, ia melihat Adelia sudah berada puluhan meter darinya. Ingin Bastian berteriak memanggil namanya, namun Maretha masih saja terus berbicara di telfon. Tangannya melayang seolah ingin menggapai punggung Adelia, namun ia hanya menangkap hampa karena kakinya tak melangkah. Ketika kemudian ia merasa itu sia-sia, ia hanya mampu mencengkeram tangannya membentuk kepalan. Posisinya serba salah, antara mengejar wanita yang saat ini sudah menjadi miliknya, atau tetap menjaga perasaan wanita yang selama ini masih ingin memilikinya...

Bastian, untuk seseorang yang hampir selama hidupnya tidak ingin berurusan dengan perempuan, sekarang merasa begitu sesak.

Ketika akhirnya Adelia benar-benar keluar kompleks apartemen itu, ia akhirnya paham bila Bastian tidak akan memperjuangkannya. Hatinya kembali lagi menjadi hampa. Baru beberapa belas menit ia berharap apartemen itu bisa menjadi sarang cinta mereka. Baru beberapa menit yang lalu hatinya berdegup untuk lelaki yang pernah sangat ia cintai dan dambakan, Justin. Dan sekarang hatinya perih karena ia merasa dicampakkan oleh Bastian. Ia seharusnya sudah bisa menduga kalau Bastian belum bisa melupakan Maretha dan memprioritaskan dirinya, sepenting apapun status pernikahan mereka. Jadi kenapa hatinya terpotek beribu-ribu?

Adelia berjalan secepat mungkin, berharap ia bisa mencopot sepatu boot dengan hak tinggi yang sedang ia gunakan. Jalanan terlalu dingin, ide yang buruk untuk berjalan tanpa alas kaki siang ini. Walau ia tau Bastian toh tidak akan mengerjarnya, ia hanya ingin menyelamatkan harga dirinya sekali lagi.

Sialan kamu Bastian! Adelia berjalan dengan pandangan yang kabur, karena ternyata air matanya sudah merembes turun tak tertahankan.

------------

"Ting nong", sebuah bel berbunyi di rumah Malik. Lisa yang sudah menganggap rumah Malik seperti rumahnya sendiri, segera berlari untuk membuka pintu.

"Eh Del! Kok bisa kau sampe disini? Naek apa kau?", tanya Lisa dengan kaget. Tapi ia lebih kaget lagi karena mata Adelia masih penuh dengan cucuran air mata.

"Delllll napa kauuu?!", pekik Lisa lagi. Sikap overprotektif sang sahabat semakin membuat Adelia terharu. Ia akhirnya tidak bisa menahan deru sedih dalam hatinya.

"Huuuaaaa gue keseeeelllll!!!", katanya sambil menghambur memeluk Lisa. Akhirnya Lisa menyambut pelukan Adelia yang masih terus terisak. Ia hapal benar tabiat Adelia. Berbeda dengan Lisa yang akan mengeluarkan sumpah serapah dan curhatan seperti kereta api dengan gerbong tak terbatas, Adelia harus seperti bawang merah. Biarkan ia mengupas dirinya selapis demi selapis, dengan cucuran air mata. Mereka harus membiarkan Adelia mendapatkan mood yang tepat untuk bercerita.

"Wooiii apaan sih nangis kayak sinetron kejar tayang!", seru Malik yang datang dengan kaos oblong kucel dan celana pendek. Ia sedang memegang remot TV kabel dan sebuah permen lollipop di tangan yang lain. Kontan Lisa melotot sehingga matanya akan keluar menatap Malik yang sangat tidak sensitif.

"Eh eh eh maap. Sini Malik peluk juga…", kata sang cowok sambil menyodorkan pelukannya kepada dua sahabatnya itu. Kontan Lisa melayangkan tendangan tanpa bayangannya ke perut "one pack" Malik.

------------------------

Disinilah 3 sahabat, selonjoran di depan TV ruang tengah Malik. Setelah sebuah sandwich, semangkuk es krim dan segelas teh, Adelia menceritakan kronologis Maretha yang mengganggu momen-momen intimnya bersama Bastian hari ini. Tentu saja ia menyembunyikan fakta bahwa ia bertemu Justin hari ini.

"Jadi Del sebetulnya, kau udah suka loh sama si Bastian" hipotesa Lisa sambil menggulingkan wajahnya ke arah Adelia. Adelia menggulingkan wajahnya sehingga dapat menatap sahabatnya balik. Ingin ia berkata tidak, namun ia teringat pada Justin. Bukankah lebih aman bila Lisa meyakini bahwa Adelia menyukai suaminya sendiri alih-alih masih mencintai Justin?

"Gue gak tau perasaan apa yang gue punya ama Bastian. Tapi ga tau ya, kok gue terganggu ya sama Maretha? Gue salah gak sih? Kan Tian suami gueeee. Suka-suka gue donk ya, mau tinggal bareng, mau gue cium, bener gak? Apa guenya aja yang egois?", tanya Adelia serius.

"Ya udah betol kau itu! Milikmu itu, jangan sampe di ambil pelakor. Hajar! Kalo perlu viralkan di akun gossip instagram!", usul Lisa. Malik yang ikut selonjoran bersama para cewek-cewek, menggoyangkan kakinya kekiri dan kekanan. Ingin ia memberikan opini dari perspektif seorang laki-laki, tapi ia terlalu dekat dengan Adelia. Tentu saja ia akan berpihak.

"Situasi kalian emang rumit sih ya, secara Bastian itu kan masih pacaran ama Maretha pas kalian menikah. Sementara kalian udah bertunangan secara gak resmi pas mereka belon jadian. Sementaraaaaaa… Bastian ama Maretha pasti udah ada something lah. Ya gak bisa secepat itu merubah something jadi nothing. Perlu proses lah buat Tian, sabar aja dulu Del", usul Malik.

"Mo sabar kek mana wak! Nanti kalo orang ni dah tinggal sama, cocok kau rasa si Maretha itu ganggu-ganggu macam si Adelia ini paok-paok?", tanya Lisa emosi.

"Lah kok elu yang emosi inang? Sabar wak, ada masanya. Sekarang, kita fokus aja supaya Adelia tenang dan berfikir strategis. Inilah bedanya perempuan sama laki-laki. Kalo ada masalah, cepet banget pake hatiiiii. Dipikir donkkk bebbb,di pikiirrrr", kata Malik dengan senyum jahil menatap Adelia dan Lisa. Situasi tidak tepat, ingin rasanya Lisa memasukkan kepala Malik ke keteknya.

"Nah cobalah kau dulu kasih tau kami yang bodoh-bodoh ini, acamana strategimu wak!", tantang Lisa. Malik mendengus, dan berusaha berfikir cepat.

"Kalo menurut gue, Bastian itu bukan tipe orang yang cinta pada pandangan pertama. Kalo gue denger dari cerita elo, Tian itu modelnya lambat-lambat asal selakon. Bener gak?", tanya Malik sok serius. Lisa dan Adelia pernah sih mendengar istilah itu, tapi kayaknya ada kata-kata yang salah. Tapi ya sudahlah, intinya mereka paham.

"Jadi si Bastian ini kayaknya jatuh cinta karena asa dan biasa. Jadi Maretha itu selalu ada untuk Bastian. Kuliah, makan siang, makan malam, kerja kelompok, belanja bareng, ya wajarlah lama-lama Bastian jatuh cintrong. Kenapa? Karena ia merasa ada yang selalu mendukungnya, bersamanya, menemaninya, mengisi relung hatinya! Bener gak?", tanya Malik kepada Lisa dan Adelia. Ia mengangguk-angguk. Ia jadi ingat momen ketika Bastian dan Maretha mencuci baju bersama. Memuakkan.

"Nah dalam waktu sebulan kan kalian tinggal bareng. Nah sekarang ini, kasih lah Bastian injury time. Biarin dia say goodbye sama Maretha. Toh setelah kalian tinggal bersama, lu pelan-pelan donk jadi Maretha", ujar Malik.

"Ogah jadi nenek sihir!", pekik Adelia.

"Bukaann! Maksudnya, elo gantiin peran Maretha. Lu kasi makan, lu cuciin bajunya, lu temenin dia belajar, lu temenin dia tidur wakakakakak", usul Malik lagi sambil menatap Adelia nakal. Adelia memonyongkan bibirnya miring, tanda ia kesal.

"Ih betol kalo kubilang apa kata Malik wak. Lama-lama, cinta akan tumbuh. Nah sekarang kau lah, cukup cinta gak kau sama dia sehingga mau kau berusaha mendapatkan hatinya?", tanya Lisa. Adelia berfikir keras.

"Cinta gak cinta kami udah nikah. Apa bedanya?", tanya Adelia santai. Ia bangkit dan mengambil cangkir tehnya dan duduk di sofa. Cukup sudah goler-coleran di lantai.

"Gampang mah jaman sekarang kalo gak cocok bisa cerai. Lu sanggup gak hidup tanpa Bastian?", tanya Malik.

"Sekarang aja gue gay akin bisa hidup sama dia, apalagi kalo gue hidup tanpa dia wakakaakak, lucu juga ya…Ya udah yang penting gue udah lega cerita ama lu pada. Sekarang gue hepi tapi ngantuk. Malikkk pinjem kamar lo bentar ya. Gue mau tidur bentarrr aja", pinta Adelia.

"Huh dasar gadis plin plan. Pergi sono!", ujar Malik.

"Udah gak gadis lagi dia. Ada suaminya!", canda Lisa.

"Taruhan kita, dia masih gadis! Kalo ngeliat dari cara mereka maju mundur begitu, gue yakin pas wisuda masih perawan doi ahhahahahaha", seru Malik yang disambut gelak tawa Lisa. Adelia hanya bisa menatap mereka dengan penuh emosi dan bibir mendesis. Ia memberikan gesture seakan-akan ia akan mencakar dua sahabatnya itu dari jauh. Malik dan Lisa lanjut bersantai sambil menatap layar TV raksasa, sementara Adelia lanjut memasuki kamar Malik untuk tidur.

"Ting nong!", bel rumah Malik berbunyi.

"Hadeeh siapa lagi sih, tamu gue kayaknya aneh-aneh deh hari ini. Inang-inang minta makan, bintang sinetron nangis mulu, sekarang siapa lagi seeeehhh", pekik Malik sambil berjalan untuk membuka pintu rumahnya.

"Malikkkk kebetulan gue lewat. Makan pizza yuk", ajak Justin yang sudah berdiri tegak di depan pintu rumahnya. Di tangannya, tampak 3 loyang pizza berukurang besar yang menguar harum keju mozzarella. Malik tersenyum hampa, membayangkan betapa serunya hari ini.