BAB 75: Sebuah Mimpi Yang Menghangatkan

Adelia merapikan syal berwarna merah yang melilit lehernya, namun hal tersebut tidak dapat menyamai hangatnya hati saat ini. Sebuah mimpi yang sangat indah, berputar bak opera romantis sepanjang malam hingga pagi. Ketika mimpi itu harus berakhir, Adelia memaksa matanya tertutup agar ia bisa merasakannya lagi, berada di dalam skenario itu lagi. Begitupun, rasa cinta dan sayang yang meluber dari hal yang semu itu, tetap membuat Adelia merasa begitu bahagia. Untuk sekali saja, walau di dalam mimpi, ia merasa begitu disayang dan dicintai.

Perjalanannya dari flat 27 menuju kampus bisnis berjarak lebih dari satu kilometer. Walau udara dingin telah menggigit hidungnya, pipinya bersemu merah seperti ABG yang malu-malu. Sepanjang jalan yang ia lihat hanya bunga-bunga lavender berjuang hidup, padang hijau yang terlihat dingin dan beberapa pohon yang tak lagi berdaun. Walau beberapa tanaman di sepanjang jalan telah melayu, semua berpadu menjadi lukisan yang seakan mendukung suasana hatinya yang penuh cinta. Adelia melirik ke kanan dan ke kiri, seolah ia dapat menemukan para pemeran dalam mimpinya...

-----------------------

"Hey, kalian, ngapain pagi-pagi udah di kampus? Tumben banget!", hardik Bastian kepada Malik dan Lisa yang sedang duduk-duduk di dekat kampus bisnis. Malik yang tampak masih mengantuk merenggangkan seluruh tubuhnya hingga berbunyi krekkk kreek dengan sadis.

"Huaaa biasaaa, mau ketemu dosen eyke. Kemaren ada salah paham ngerjain tugas euy, nilai dibawah 70. Gak terima eyke", tutur Malik dengan gaya bahasa yang sok kemayu. Tangannya melambai ke kiri dan ke kanan sampai akhirnya berakhir manis di dagunya. Lisa yang jijay mendengar dan melihat tingkah Malik, langsung menendang betis cowok itu.

"Yang tegas kau laki-lakiiiii! Eh kau sendiri ngapain sini Bas? Kok Tumben kau gak sama si nenek sihir! Hihihih", sindir Lisa sambil meringis menunjukkan semua gigi putihnya dan celingak - celinguk. Siapa tau saja Maretha ada di sekitar. Ia masih mengingat dengan jelas curhatan panjang lebar yang dikirimkan Adelia malam sebelumnya. Lisa mendidih ketika pagi hari baru membacanya. Ia bertekad hari ini ingin menghibur sahabatnya itu.

"Aku juga sama, mau ketemu Mr. Edward bentar. Mau konsultasi soal tugas juga. Adelia mana?", tanya Bastian sambil celingak – celinguk.

"Nah inilah kami mau nunggu dia juga. Rencana kami cuma mau kasi tugas kami haaa sama pak dosen. Abis itu cabut kami makan siang sama wak ini juga. Baru sore nanti, dateng lagi kami, ada kelas terakhir", jelas Lisa sambil menunjuk Malik dengan cibiran bibirnya.

"Ih sembarangan lo. Masih pagi uda mikirin makan siang. Gue gak tau sampe jam berapa ini berantem ama pak dosen. Lagian makan gak usah jauh-jauh, sore kan lo pada ada kelas!", sanggah Malik.

"Ih pelit kali kau wak, gak mau kau antar kami makan siang yang agak semangat sikit? Carousel kita wak, ada midnite sale!", pinta Lisa.

"Midnite sale kok makan siang. Ya malem lah kita pergi ke sana. Ogahhh", tegas Malik sambil berkacak pinggang dan membuang mukanya. Gayanya yang sungguh gemas, ingin rasanya di gaplok Lisa. Tubuh gempalnya bergoyang ke sana ke mari ketika ia berbicara.

"Hahahah udah, boleh yuk sama gue aja. gue juga mau makan siang yang agak enakan kok. Gue yang traktir deh", ujar Bastian menenangkan duo sahabat itu.

"Kalo gitu gue ikut!", jawab Malik dengan wajah berbinar. Beda ceritanya kalo Bastian ikut. Bosan juga Malik bila ngerumpi sama Lisa dan Adelia saja. Sontak Lisa kembali menendangnya, namun kali ini di bokong cowok itu.

"Ouuuch! Dasar lo cewek barbar!", teriak Malik. Lisa celingak-celinguk dan bertanya-tanya kenapa Adelia begitu lama. Ini kesempatan yang sungguh langka dimana mereka bisa berkumpul berempat saja tanpa nenek sihir!

"Eh Lik, plis donk WA gue alamat lu. Adelia kayaknya lupa ngasih deh. Udah jutaan kali gue minta", pinta Bastian sambil mengeluarkan HP dari kantong jaketnya.

"Oh siap!", jawab Malik sambil mengeluarkan HP miliknya dari jaket dan mulai mengetikkan alamatnya dan mengirimkannya kepada Bastian. Dengan cepat, pesan itu sampai ke HP milik Bastian.

"Kemaren pas Adelia kerumah lu, dia gak ngerepotin kan?", tanya Bastian sambil mengecek alamat Malik.

"Mayan lah, biasa mah Adel drama-drama kumbara gitu. Udah biasa kita mah, pawangggg pawaaanggg", celoteh Malik sambil memasukkan HP miliknya kembali ke jaket dan membiarkan kedua tangannya masuk ke dalam. Cukup dingin cuaca pada pagi itu.

"Tapi dia mau makan kan?", tanya Bastian kuatir.

"Makan lah, banyak banget malah! Gue terpaksa masak euy buat dieeee. Untung aja pas sorean Justin dateng bawa pizza. Mayan tuh buat cemilan kita nunggu malam, baru deh si Adel pesen chicken rice", jawab Malik santai. Lisa langsung melotot ke arah sahabatnya itu! Sepertinya Malik keceplosan! Ngapain bahas Justin woy!

"Justin? Dia dateng kerumah elo?", tanya Bastian dengan emosi bercampur. Ia kemudian melihat tangannya di dadanya, seakan siap menginterogasi! Entah kenapa fikirannya jadi melayang kemana-mana mendengar Adelia bertemu Justin ketika posisi hubungan mereka sedang goyah. Bukankah sebuah hubungan yang sedang di ambang bahaya, akan semakin kritis bila dimasuki oleh pihak yang potensial? Siapa lagi yang lebih potensial dibandingkan dengan cinta pertama Adelia?

"Eh eh iya Justin dateng. Tapi eh tapi, dia gak ketemu Adel donk. Ya kan Lis? Jadi pas banget si Adel abis makan banyaaaaakkk banget, dia ngantuk gitu, pamit bobo deh di kamar gue. Nah disitu si Justin dateng bawa pizza. Kita makan sih bertiga", jawab Malik dengan tergagap sambil melirik ke arah Lisa. Gadis itu mengangguk-angguk tanda mengkonfirmasi pernyataan Malik.

"Iya betol itu betol itu! Sumpah bang. Jadi gak ketemu orangtu. Pas bang Justin pulang, sejam kemudian baru si Adel bangun. Tapi masih ada sisa pizza, ya ku kasih la sama dia. Orang kelaparan aja dia hari itu. Ya kan Lik?", tanya Lisa mencoba untuk tidak grogi menjawab. Ia kembali melirik Malik yang juga mengangguk-angguk.

"Oh gitu", Bastian mengangguk-angguk lega.

"Iya, biasa, Justin cuma kangen aja ama rumah. Ya namanya udah beberapa tahun tinggal disitu. Baru-baru ini aja dia pindah", jelas Malik lagi. Ia seakan lega karena telah mengalihkan fokus Bastian.

"Apa?! Jadi selama ini Justin tinggal di rumah elo? Dan lu berdua pada suka kesana? Nginep juga?", tanya Bastian tak percaya sambil menunjuk Lisa. Ia tahu Adelia sangat akrab dengan Malik dan Lisa, dan acap kali menginap di rumah cowok itu. Tapi ia benar-benar tidak menyangka bila Justin tinggal disitu!

"Eh ya gak sering lah abang. Paling ya sebulan ada lah cuma 1 kali. Itupun kami selalu rame-rame bang. Ama temen bridging dulu. Suer bang. Gak ada kami macam-macam. Aku tidur berdua sama Adel di kamar wak ini", kata Lisa sambil menendang kembali betis Malik dan memberikan tanda jari dua, seakan ingin mengatakan suer. Ia tidak menyangka kharisma Bastian bisa mengintimidasi mereka juga. Kalau salah bicara, hancurlah perkawinan sang sahabat.

Bastian mengambil nafas dengan berat dan mencoba mencerna semuanya. Ia entah kenapa cemburu akan masa lalu seseorang. Walau yang lalu telah lah berlalu, yang kini harus diyakini, Bastian merasa dadanya di hantam cemburu. Ini bukan sebuah perasaan yang harus ia pelihara, karena ia bukanlah orang suci yang tidak memiliki kisah yang sama. Lagi pula, kenapa ia bisa punya memiliki rasa kesal ini terlalu dini? Kesal dan curigakah ia pada Justin? Kenapa?

"Eh tapi bang, jadi kan kita makan siang bersama? Berempat aja kita bang...", pinta Lisa dengan wajah penuh harap. Bastian menatap sahabat Adelia itu dengan iba. Ia mengangguk. Namun tiba-tiba HP miliknya bergetar, dan ia segera mengeluarkannya dari jaket. Ketika Bastian melihat nama Maretha yang terdapat di layar monitor itu, ia segera memberikan gesture "permisi" kepada Malik dan Lisa. Ia beringsut empat meter untuk menjawab panggilan itu.

"Taruhan wak, pasti nenek sihir itu!", spekulasi Lisa melihat dari tingkah Bastian yang mencurigakan.

"Ih sebel banget gue! Awas aja kalo bener!", tutur Malik. Bak spionase tingkat tinggi, Malik dan Lisa terus saja menatap Bastian dengan tajam, seakan-akan mata mereka memiliki kekuatan super dalam mendengar pembicaraan Bastian. Hal tersebut membuat Bastian tidak nyaman, apalagi ditambah dengan rengekan Maretha yang bertubi-tubi. Sepertinya ia harus membatalkan makan siang bersama trio kwek-kwek itu. Ia memasukkan kembali HP miliknya dan berjalan ragu kearah Malik dan Lisa yang masih saja memelototinya.

"Guys, anu, pas makan siang, gue ternyata ada jadwal kerja kelompok lagi nih. Kita mau submit tugas terakhir. Sorry ya. Kita jadwalin lagi ya makan siang, makan malam, what ever, atur aja ya Lisa. Lik, sorry ya. Gue pamit ya, udah mau jadwal ama dosen...", pamit Bastian sambil menepuk pelan pundak Lisa. Kekecewaan terlukis dari wajah gadis itu, begitu juga dengan Malik. Mereka melihat Bastian pergi begitu saja, masuk ke dalam gedung bisnis.

"Hey guysssss. Pagi yang cerah yaaaaa", tiba-tiba Adelia datang dengan senyum secerah mentari. Rambutnya yang berwarna coklat tua coklat muda berkibar-kibar indah, sungguh kontras dengan syal merahnya. Ia mengenakan long coat hitam dan celana jeans berwana biru muda. Sebatu boot hitamnya membuat Adelia begitu menawan. Wajahnya mengeluarkan aura kekanak-kanakan yang menggemaskan. Berbanding terbalik dengan suasana hatinya tadi malam, pikir Lisa.

Lisa dan Malik tidak dapat menjawab ironi yang baru saja terjadi. Andaikan saja Bastian tidak menjawab panggilan terkutuk itu. Andaikan saja Adelia tiba 5 menit lebih awal. Andaikan saja kedua insan yang sudah bersatu dalam ikatan suci itu, dapat mulai saling mencintai. Hati Lisa terluka melihat kepolosan Adelia yang muncul tanpa beban, padahal ia paham sahabatnya ini korban perasaan.

Tiba-tiba wajah Justin menyeruak di kepala Malik. Andaikan Bastian tau apa yang terjadi hari itu...mungkin ia akan berfikir berulang kali membiarkan Adelia galau. Malik dan Lisa refleks memejamkan kedua mata mereka seakan menahan geram.

"Yuk ah ketemu dosen. Ngapain juga kalian berdua bengong disini!", hardik Adelia sambil mengapit lengan Lisa dan Malik sehingga mereka bisa bergandengan jalan bertiga memasuki gedung bisnis. Malik dan Lisa saling berpadangan, seakan kompak untuk tidak menceritakan apapun yang terjadi 10 menit terakhir. Mereka pun memasuki gedung bisnis.

--------------------------------

"Tadi malam gue mimpi yang indah banget Lis, sangkin indahnya, gue gak mau bangun. Andaikan nanti malam gue bisa dapet mimpi part 2, gue mau coba tidur dari jam 8 deh. Siapa tau mimpinya jadi lebih lama dan lebih indah hihihi", tutur Adelia kepada Lisa. Saat ini mereka sedang makan di salah satu restoran dekat coles. Malik sedang pamit ke toilet.

"Apa rupanya mimpi kau, kok macam senang kali kau hari ini. Tadi malam kirim pesan marah-marah gara-gara suami", tanya Lisa. Ia mencocol kentang goreng ke saus sambal yang ia bawa dari rumah.

"Padahal mimpinya simpel aja Lis. Jadi gue tuh mau jalan ke kampus, kayak pagi ini loh. Pake jaket item, jeans biru, syal merah, makanya gue sengaja begini. Terus tiba-tiba ada cowok yang datengin gue, trus narik tangan gue. Di pandangan gue sih nariknya kayak posesif gitu, tapi rasanya lembut aja. Ada nuansa-nuansa blur ala-ala mimpi gitu dehhhh", tutur Adelia dengan wajah sumringah. Lisa memiringkan bibirnya. Absurd sekali mimpi kawin ini, pikirnya.

"Teross terosss?", Lisa meminta agar cerita tentang mimpi itu dilanjutkan.

"Nah jadi dia deketin gue, trus bisikin sesuatu. Tapi gue gak tau dia ngomong apa, cuma kayak lirik lagu gitu, lagu yang gue tau, tapi gue gak bisa inget itu lagu apa! Gila gak tuh? Nah trus gue ama dia duduk di tembok yang dideket kampus tehnik situ. Kita ngobrol banyak sambil ketawa, dia pegang tangan gue, dia peluk pundak gue, dia elus kepala gue, pokoknya ya mirip kayak orang pacaran gitu sih", Adelia dengan wajah bersemu merah mencoba mengingat detil dari mimpinya. Semakin ia berusaha mengingatnya, bayangan mimpi itu pudar dan semakin kabur. Rasa hangat itu masih membelai dadanya. Biarlah, biarlah ia miliki rasa itu walau untuk sejenak saja.

"Kayak apa mukanya?", tanya Lisa penasaran. Plis plis plis mirip abang Bastian, pinta Lisa dalam hatinya. Adelia menatap hati-hati wajah sahabatnya itu.

"Itu dia, gue ga tau itu siapa Lis....dodol banget gak sih?", ujar Adelia ragu. Ia memang tidak mengetahui siapa yang ada di dalam mimpi itu, tapi Adelia merasa dia adalah Justin. Mungkin kah karena beberapa saat sebelum ia tertidur, ia mendapat pesan dari Justin?

"Cemana rupanya badannya? Tinggi, gemuk, pendek atau apa?", tanya Lisa. Semoga tinggi dan tegap macam Bastian, gumam Lisa dalam hati. Oh iya, Bang Justin pun badannya mirip ya sama Bastian. Lisa menatap wajah Adelia dengan penuh harap.

"Ya gak setinggi Malik sih, ya setinggi elo gitu deh", bohong Adelia. Ya, tentu saja setinggi Justin. Ya, itu postur tubuh Justin!

"Suaranya kek mana? Nge-bass, tenor, ringan atau apa?", tanya Lisa. Semoga berat dan tegas kayak Bastian, pliss jangan kayak Justin.

"Eh gimana ya, kayak serak-serak basah gitu deh. Tapi entah kenapa di mimpi gue itu, suaranya menyenangkan aja", bohong Adelia lagi. Ya, semakin ia ingat, suara itu seperti suara-suara yang mengantarnya tidur pada liburan musim panas. Percakapan-percakapan hangat mereka tiap malam di telfon, candaan yang mereka bagi setiap kali mereka duduk bersantai di city ketika Adelia selesai bekerja, ataupun ciuman-ciuman yang mereka bagi di parkiran mobil setiap Justin mengantarnya pulang dari Maya Masala.

" Ada begitu banyak alasan untuk menjadi bahagia", begitu kira-kira bisikan cowok itu di telinga Adelia! Ya! Itu katanya! Itu liriknya! Siapa lagi yang bisa berkata seperti itu, selain halusinasi Adelia terhadap Justin!

"Kalian kissing?", tanya Lisa sambil menatap wajah Adelia yang sedang melamun.

"Ya, hampir setiap malam", tutur Adelia lembut dengan wajah bersemu merah sambil menatap pemandangan di luar jendela. Ya, hampir setiap malam mereka membagi ciuman-ciuman lembut dibawah bintang-bintang musim panas.

"Kau bilang mimpi jalan-jalan di kampus pagi, jadi kok bisa kalian kissing tiap malam?", tanya Lisa bingung. Adelia gelagapan. Ia mungkin terlalu halu, sampai ia tertukar antara cerita mimpinya dengan kenyataan yang terjadi berbulan-bulan yang lalu.

"Eh maksud gueeee maksud gueeee, kalo aja hampir tiap malam gue bisa... mimpi kayak gini...", tuturnya malu. Tepat pada saat itu, Malik muncul dari toilet.

"Ngomongin paan?" , tanyanya Asal sambil menyeruput ice lemon tea sampai habis. Adelia menggeleng keras sambil memegang tangan Lisa, memohon agar sahabatnya itu tak menceritakan tentang mimpi halunya.

"Ya ngomongin kau la wak, gondut kali kau sekarang wak, udah bisa kau pake bra ku tengok", canda Lisa sambil kembali mencocol kentang goreng ke dalam saus sambal. Malik berang dengan nyinyiran sahabatnya itu. Ia pun mencolek saus sambal itu dan mencocolnya kebibir Lisa.

"Sialan loh, nah rasakan perempuan! Mulut nyinyir amattttt", balas Malik sambil siap-siap digebuk habis oleh Lisa.

---------------------------

Lisa keluar dari kamar Adelia, ia sudah meminta agar sahabatnya itu tak perlu mengantarkannya sampai ke pintu keluar. Setelah kelas terakhir mereka, Adelia mengundang Lisa untuk makan malam bersama dan kembali membahas mimpi indah itu di kamarnya. Lisa berjalan ke lorong dan mengetuk pintu terujung dari flat 27 itu, setelah ia yakin tidak ada siapa-siapa di lorong dan bahkan common room. Ketika pintu itu terbuka, ia menerjang masuk dengan paksa.

"Hey nenek sihir, apa kabar?", tanya Lisa sambil memaku Maretha ke dinding kamarnya sendiri. Dengan sekali hentak, Lisa mencengkeram kedua tangan Maretha dan menghempaskannya ke dinding, sehingga gadis itu terkejut dan tidak mampu bereaksi.

"Hey gila! Ngapain lo di kamar gue?!", pekik Maretha.