BAB 76: Melabrak Pelakor

Dengan langkah gontai, pikiran Lisa berkecamuk dalam kurun waktu 1 menit sebelum akhirnya ia berdiri tepat di depan pintu kamar Maretha. Sebuah perasaan muak membuncah dari dada gadis itu, setelah berminggu-minggu berkutat dengan kisah percintaan segitiga antara Adelia, Bastian dan Maretha. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Dalam hatinya yang paling dalam, ia tidak ingin kisah itu berkembang menjadi cinta segi lima yang menyeret ia dan Justin ke dalamnya.

Ya, Justin...

Sebuah nama yang membangkitkan emosi, rindu dan harapan ke dalam diri Lisa setelah pertemuan terakhir mereka di rumah Malik. Sumpah, sesungguhnya ia berusaha melupakan lelaki munafik itu entah bagaimana caranya! Apa daya jiwanya terlalu lemah dengan sebuah ulasan senyum dari cowok itu. Justin tidak hanya mempesonanya, tapi kelembutan hati dan kedewasaan lelaki itu membuat diri Lisa seakan tak sempurna. Ya, sekali lagi Lisa merasa ia membutuhkan seorang Justin untuk melengkapinya. Walau sakit karena sebuah penghianatan di masa lalu, secepat itu juga Lisa telah memaafkannya. Rasa rindu dan hasrat memiliki telah membutakannya.

Sebuah tekad baru ia lafalkan, Ia membutuhkan Justin kembali di sisinya. Entah kenapa, ada sebuah kelegaan ketika Adelia menikah dan meninggalkan Justin begitu saja. Bukankah Tuhan seperti memberikannya sebuah kesempatan? Tadinya ia yakin Justin akan melupakan Adelia, seiring dengan berjalannya pernikahan mereka. Namun gangguan Maretha seakan membuat Adelia meragukan Bastian, dan mungkin akan membuat dirinya goyah lagi kepada Justin. Siapa tau kan?

Dan disinilah ia, sedang memaku Maretha di dinding kamarnya sendiri...

"Mau apa lo? Gue teriak nih ya! Gue teriak, biar mamp*s loh di tangkap satpam!", ancam Maretha dengan wajah penuh kengerian. Ia yang mengancam, namun sesungguhnya ia yang lebih ketakutan. Baru kali ini ia melihat wujud asli dari Lisa, sahabat Adelia.

"Kau pikir takut aku sama satpam? Sama intel pun gak takut aku! Kau pikir bodoh kali aku, dah ku cek ya, tak ada cctv dekat sini. Mau kau laporin pun, tak ada bukti. Kau lah yang mam*s!", gertak Lisa dengan wajah bak pembunuh bayaran sambil mencoba meremas mulut Maretha.

Maretha selama ini tidak pernah terintimidasi oleh Adelia, bahkan justru sebaliknya. Dengan tinggi 160 dan berperawakan seperti anak SMP, Adelia tampak begitu imut dibandingkan dengan Maretha dengan tinggi 167 dengan tubuh yang lebih berisi. Dengan pembawaannya yang cukup tegas, terlihat pintar dan cenderung judes, siapapun dapat merasa inferior di hadapannya. Selama ini pun Adelia cenderung menghindari pertikaian dengannya. Sungguh bukan lawan yang seimbang.

Beda ceritanya dengan Lisa. Dengan tinggi 170 centimeter lebih dan tubuh yang terlihat sering berolahraga, tentu saja gadis itu terlihat lebih menakutkan. Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, berani dan gesit, ia terlihat seperti seorang srikandi perang. Dan sekarang srikandi perang gila ini terlihat begitu marah, yang membuat efek menakutkan menjadi berlipat-lipat. Yang tidak Maretha antisipasi adalah, ternyata kekuatan gadis itu luar biasa! Ia sudah dapat merasakan punggungnya sakit di hentak oleh Lisa.

Lisa membalikkan tubuh Maretha, sehingga gadis itu sehingga wajah, dada dan pahanya menempel erat di dinding seperti seekor ubur-ubur. Maretha bisa merasakan pipinya perih menyentuh dinding yang dingin dengan tekstur popcorn tersebut. Ia tidak bisa bergerak, secara kedua lengannya masih di cengkerang oleh Lisa, yang mendorong tubuhnya sekuat tenaga ke dinding. Ia ngeri membayangkan bila ia bergeser sedikit saja, dinding dengan tekstur kasar itu pastilah akan melukai pipi halusnya.

"Ouccchhh sakiittt! Dasar sinting! Lepasin guee!", teriak Maretha. Lisa menghentakkan tubuh Maretha ke dinding sehingga gadis itu terbanting secara horizontal guna membungkamnya. Sekarang tidak saja pipinya yang perih, ia juga bisa merasakan pundak dan lehernya menjadi kaku bahkan mungkin terkilir!

"Gua gue gua gue! Teriak sekali lagi, kuhempaskan muka burukmu sampe rata hidung kau ini sama tembok!", ancam Lisa, yang sukses membuat Maretha terdiam. Ia bertahan sekuat tenaga agar tidak terisak dan menangis, ia setidaknya harus menjaga egonya di depan sahabat saingannya ini. Disaat seperti ini Maretha tidak mau terlihat lemah, walau ia sesungguhnya ketakutan setengah mati!

"Sekarang dengar aku ya lampir! Ku kasih tau kau, jangan coba-coba kau jadi pelakor! Udah kau tengok kan dah kawen si Bastian tu, dah ada bininya! Masih kau ganggu juga?! Dimana otak kau, lampirrrr!", teriak Lisa tertahan sambil menusuk kepala Maretha dengan jarinya.Maretha tercekat begitu nama Bastian dan Adelia disebutkan. Apa urusannya hal ini dengan Lisa?

"Hahahahaha urusan gue lah mau Bastian udah kawin, mau dia masih sama gue, apa urusan lo! Lagian dari awal juga gueeeee! Gueeee yang pacarnya Bastian! Adelia gak punya hak buat ngambil Bastian dari gue!", Maretha dengan acuhnya tertawa miris melihat Lisa yang sok ikut campur. Lisa kembali menghempaskan tubuh Maretha ke dinding.

"Heh lampir asal kau tau ya, sebelum kau lahir pun orang tu uda tunangan! Sial aja kau cuma jadi pelabuhan sekejap! Kuingatkan sama kau ya lampir, sekali lagi kau dekati si Bastian, mamp*s kau. Dengar kau lampirrrr?!", ancam Lisa. Maretha menoleh ke belakang menatap tajam ke arah Lisa.

"Lo kira gue takut? Lo kira Bastian gak bakal belain gue? Lo kira Bastian bakal betah ama istri model kayak gitu? HAH! Adelia itu cuma istri di atas kertas! Bastian itu cuma cinta ama gueeeee! Cumaaa gue! Hahahaha", balas Maretha dengan tatapan sinis ke arah Lisa. Tapi hal itu justu membuat Lisa merenggangkan ikatan tangannya dari Maretha. Senyum Lisa tak kalah psiko dari Maretha.

"Kau coba aja lampir dekatin Bastian lagi. Kau coba aja hahahaha", jawab Lisa dengan senyum terkekeh namun tangan terkepal. Maretha sekali lagi ngeri melihat apa yang bisa dilakukan oleh sekepal tangan itu. Lisa berjalan selangkah sambil memegang gagang pintu, mengambil aba-aba untuk membukanya. Maretha tidak mengerti, sampai disini saja ancamannya? Dimana letak serunya?

"Kalau masih berani kau dekati suami orang, terpampang wajah kau di semua akun gosip instagram, fesbuk, madding kampus, kau sebut ajalah. Caption paling mantap, Perth pelakor story, pelakor tak tahu diri mencuri suami di depan hidung sang istri. Hahahaha, kau pikir gak ada bukti aku? Dah ku foto kalian berdua dimana-mana. Jogging lah, belanja di coles lah, kau masuk ke flat Bastian lah, peluk-peluk dia gak tau diri lah, pokoknya mamp*s lah kauuuuu! Sampe kapanpun, tak bisa kau pulang ke Indonesia!", ancam Lisa sambil berkacak pinggang.

Maretha yang sudah lepas dari cengkeraman Lisa, mengurut-urut pergelangan tangannya yang hampir bisa dipastikan terkilir. Ancaman Lisa sebenarnya tidak terlalu bombastis, namun ia percaya ini barulah awalan saja. Lagian siapa juga yang ingin kembali ke Indonesia. Namun Ia terdiam, mencoba mencari sepi untuk menyusun strategi. Ia paham, menghadapi seorang psiko seperti Lisa, haruslah memiliki tehnik tingkat tinggi, haruslah bermain cantik. Sebagai orang waras, ia harus mundur dulu atau minimal diam.

"Kuingatkan lampir, jaga kelakuan kauuu! Kalo masihlah kau jogal, ku Paaaanngggg!!!", ancam Lisa lagi sambil berpura-pura hendak menampar pipi Maretha dengan keras. Maretha refleks menghindar dan melompat mundur sehingga tubuhnya membentur lemari. Lisa menahan tawa dengan punggung tangannya. Ia tidak menyangka mengancam sang nenek lampir bisa seseru ini. Ia bergegas keluar dari kamar Maretha dan berjalan menuju pintu keluar.

Hati Maretha berkecamuk, antara sakit, panik, kesal, marah namun waspada. Bastian… sebuah nama yang ia timbang-timbang untuk dipertahankan atau di lepaskan. Sudah hampir satu tahun ia berjuang berada di sisi laki-laki yang nyaris sempurna di matanya. Tampan, kaya, pintar dan luar biasa baik. Orang akan melihatnya sebagai sesosok cowok cool yang tidak pengertian. Namun bila mampu mengupasnya dengan benar, ia sungguhlah buah yang sangat manis, karena Maretha telah mengecapnya.

Begitu manis dan indah sehingga Maretha buta bila saat ini pujaan hatinya itu telah keluar dari rencana hidup masa depannya. Ya, masa depan yang telah ia susun sendiri dimana Bastian adalah bagian darinya. Setelah berpuluh tahun Maretha harus hidup pas-pasan, berjuang untuk mendapatkan beasiswa ini itu, bahkan untuk sekedar makan dan tinggal. Menyembunyikan indentitas aslinya yang tinggal di pemukiman kumuh, membanting tulang bekerja sebagai guru les sampai pegawai minimarket demi sebuah kesempatan. Ia sudah siap meninggalkan masa lalunya dan menyongsong masa depannya dengan lelaki yang akhirnya sesuai dengan imajinasinya, di sebuah benua penuh harapan.

Maretha mematut tubuhnya di cermina seukuran lemari. Walau wajahnya masih terlihat takut, lelah dan sedih, namun ia tidak terlihat lebih jelek dari Adelia. Istri di atas kertas itu tampak seperti lalat pengganggu diantara dirinya dan Bastian. Sungguh bukan sesuatu yang diperhitungkan, sampai keluarga mereka ikut campur. Maretha tidak menyangka mereka telah menikah begitu cepat. Bastian telah membohonginya selama ini. Padahal sebelum ini, Marethalah yang selalu berbohong, selalu menghindar dan selalu melarikan diri pada mantan-mantan pacarnya yang tidak potensial. Ketika ia merasa lelaki sudah tidak berguna, ia akan kabur dan mencari mangsa baru. Mangsa yang dapat memuluskan dan mewujudkan cita-citanya. Ia tidak menyangka akan berada di posisi dicampakkan juga suatu hari.

Namun sebuah harapan membuncah ketika Maretha melihat Bastian masih begitu perhatian dan pengertian terhadap dirinya. Bastian dan Adelia bahkan tampak seperti orang asing dan saling membenci setelah mereka menikah, dan mereka bahkan tidak berencana untuk tinggal bersama! Hemm bagus sekali! Mungkinkah ini sebuah jalan yang diberikan Tuhan kepadanya? Sebuah jawaban agar ia tidak berkecil hati dan harus terus berusaha untuk memenangkan hati Bastian, menaklukkan kemiskinan. Yang ia perlukan hanyalah sebuah strategi. Ya, strategi untuk memisahkan Bastian dan Adelia untuk selamanya.

"Tunggu aja Adelia, Bastian pasti akan menjadi milikku seutuhnya sebelum wisuda kelulusan kita. Tunggu ajaa…", gumam Maretha.

----------------

Sementara di luar flat 27, Justin baru saja keluar dari mobilnya setelah memarkirnya di halaman asrama KV. Entah setan dari mana yang membuat ia berakhir disini, setelah ia berencana untuk pulang ketika pratikumnya selesai. Fikirannya yang kosong ternyata menuntunnya ke tempat tinggal Adelia. Justin berjalan perlahan-lahan menuju gedung flat Adelia, tapi pikirannya berkecamuk antara haruskah ia menemuinya malam ini?

Langkahnya berhenti ketika mendapat sesosok mata yang sedang menatapnya tajam. Bagai melihat cermin, ia mendapati Bastian yang sedang berjalan ke arah yang sama. Di tangannya terdapat kantong belanja coles, sementara tangan yang satu tersimpan di kantong celananya. Wajah Bastian mengeras sambil terus mengawasi Justin, seakan ada banyak kata-kata mengancam bisa keluar dari bibirnya kapan saja. Untuk apa dia ada di sekitar sini?

Langkah Justin tidak memelan dan menyusut. Ia terus berjalan santai, seakan menantang Bastian untuk menghentikannya. Bila ia memang harus berhenti mengharapkan Adelia, biarkan lah malam ini ia melihat kekasihnya itu untuk terakhir kalinya. Biarkan Tuhan memberikan ia pertanda, apa yang harus ia lakukan, perasaan apa yang harus dan tidak boleh ia miliki, apa yang harus ia katakana kepada Adelia bila mereka akan bertemu nanti.

Sebaliknya, Langkah Bastian lebih tegas dan cepat, seakan ia ingin sampai di gedung flat agar bisa menghalau Justin untuk sampai lebih dulu di situ. Ya, ia berasumsi Justin akan menemui istrinya, dan hal itu membuatnya gelisah. Apalagi ketika ia mendengar dari Malik kalau Justin dan Adelia sempat berada di rumah yang sama, walau mereka tidak sempat bertemu. Tetap saja, hal itu membuat Bastian kuatir. Terlebih hubungannya dengan Adelia pasca pencarian apartemen, belum membaik sama sekali.

Ketika akhirnya kedua cowok itu sama-sama berjarak 3 meter saja dari gedung flat 26-27, mereka saling menatap penuh ancaman. Walau tatapan mereka dapat menjeritkan banyak hal, namun mereka saling menunggu siapa yang akan menyalak duluan. Bastian telah memutuskan, ia membenci Justin! Ada suatu hal yang membuat Bastian begitu tidak nyaman dengan Justin, selain bahwa cowok itu pernah bertengger begitu erat di hati istrinya. Ia memiliki alasan lain kenapa begitu membencinya sekarang…

"Woi bang Justin! Ngapain disini?!", Tiba-tiba Lisa muncul menuruni tangga flat 27. Ia bergegas menuruninya dan menerjang Justin dengan begitu posesif. Tubuh Justin berguncang mundur ketika Lisa dengan sok akrab menabrakkan tubuhnya ke lengan kanannya. Ia tersenyum ramah ke arah gadis itu. Gadis itu dan Bastian muncul di saat yang sangat tidak tepat. Perasaan Justin menjadi begitu kelam. Inikah pertanda dari Tuhan…

"Baru nganter temen tadi ke Don Watts", bohongnya kepada Lisa. Gadis itu dengan begitu manja dan posesif memeluk lengan Justin. Bastian menatap keduanya dengan begitu seksama, seakan-akan ia tengah merekamnya dan ingin menyiarkannya agar Adelia dapat menonton.

"Minum kopi yuk bang dirumahku. Yuk yuk yuk!", ajak Lisa sambil berusaha menyeret Justin ke arah Japan House. Justin tergagap namun ia belum mau melangkah dulu, karena bukan ini tujuan utama ia ada di situ. Ia tertawa kecil.

"Ayok laaahhhhh", pujuk Lisa lagi sambil menggoyang-goyangkan lengan Justin dengan manja. Bastian menatap keduanya dengan senyum terkembang, dan mulai melangkah pelan, seakan tidak ingin mengganggu momen intim mereka.

"Adel di atas, Lis?", Tanya Bastian kepada Lisa. Gadis itu langsung mengangguk dengan senyum sumringah.

"He ehhh, lagi nungguin pak suami katanya hihihi", canda Lisa sambil menggoda Bastian. Bastian terkejut, karena ia tidak pernah ada rencana mau ke flat Adelia mala mini, tapi siapa perduli? Secepat kilat Bastian menaiki tangga dan meninggalkan Justin dan Lisa. Entah kenapa ia merasa ada sebuah benteng yang harus ia pertahankan, dan ia sungguh beruntung berada di tempat yang benar di waktu yang benar. Sebaliknya, Justin menatap nanar saingannya itu menaiki tangga, menuju pujaan hatinya.

Setelah ia tiba di lantai flat 27, pas sekali Diva sedang berada di lorong flat mereka dan melihat Bastian. Gadis Singapur itu langsung membuka pintu tanpa Bastian harus memencet bel. Senyum di bibir Diva mengisyaratkan Bastian agar segera menuju kamar sang istri, dan tanpa perlu heboh menarik perhatian Maretha keluar kamar. Bastian menatap Diva seakan-akan ingin berkata, makasih udah bukain pintu, aku masuk ke kamar Adelia dulu ya. Ya, sedikit suara Bastian saja, pasti akan membuat Maretha keluar, dan membuat suasana kacau!

"She's in her room. No dinner yet (dia dikamarnya, belum makan malam)", bisik Diva. Bastian tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia berjalan pelan ke arah kamar Adelia.

"Tok tok tok", Bastian mengetuk kamar Adelia. Sang istri membuka pintu tanpa ada prasangka yang aneh-aneh. Ia terkejut mendapati Bastian tengah berada di pintunya. Dengan sebuah sweater tipis, jaket dan jeans hitam, Bastian terlihat ganteng seperti biasanya. Rambut depannya berantakan, seakan-akan ia tidak menggunakan gel untuk merapikan rambutnya. Tapi tetap saja, ia terlihat gagah dan mempesona.

"Tian?", tanyanya bingung. Cowok itu merengsek masuk ke dalam kamar Adelia, seakan takut kedatangannya akan membuat heboh. Ia segerak menutup pintu kamar Adelia dan mendorong pelan istrinya itu agar menjauhi pintu.