Keluar

September 2012...

Di atas meja terdapat Jam Weker yang menunjukkan waktu 06:45. Reyn tengah memasukkan buku dan alat tulis lainnya ke dalam tas sekolahnya. Raut mukanya tampak muram. Ia baru saja melewati masa-masa sulit setelah kematian Ayahnya. Ingatan tersebut masih melekat di kepalanya.

***

Reyn mengunci pintu kamarnya dari dalam, lalu terduduk dan bersandar ke tempat tidur sembari menangis. Dari luar Ibunya terus mengetuk pintu kamar Reyn dengan keras, sembari terisak tangis.

***

Hari berikutnya Reyn tetap mengurung diri di dalam kamar. Ia hanya keluar ketika akan ke kamar mandi dan berusaha tidak melakukan kontak mata dengan Ibunya. Saat waktunya makan pun hanya adiknya, Naila, yang boleh membawa makanan itu ke dalam kamarnya.

***

Hari ke hari Reyn terus bersikap datar. Kepada siapa pun yang mengajaknya mengobrol. Termasuk teman masa kecilnya, Riandra, yang tengah membujuknya untuk bersekolah lagi.

Sekeras apa pun Riandra berusaha, Reyn selalu menolaknya. Dan ketika Riandra mulai memaksa, Reyn memilih pergi. Menyisakan  Riandra yang cukup frustrasi karenanya. Reyn masuk ke dalam kamar dan kembali menangisi kepergian Ayahnya tersebut.

***

Ibu Rena mengintip Reyn dari lubang kunci, tampak Reyn tengah menangis sedu. Ia terkejut melihat Reyn memegang sebuah silet di tangan kanannya. Seketika Ibu Rena mendobrak pintu dan langsung mengambil silet dari tangan Reyn serta membuangnya ke sudut ruangan.

Ibu Rena memeluk Reyn cukup erat dan mulai menangis. Begitu juga dengan Reyn, ia menangis menyesal sudah hampir melakukan hal bodoh.

"Apa yang sebenarnya kamu pikirkan Rey? Apa?"

Ibu Rena bertanya dengan nada marah bercampur sedih.

"Maafkan aku, Bu. Aku sudah gak tahan harus seperti ini terus."

Reyn mulai memaki-maki dirinya sendiri.

"Hidupku hanya untuk Ayah, tapi ayah malah pergi di saat aku belum bisa menjadi apa-apa. Aku benci diriku sendiri, aku benci. Aku hanya kesia-siaan belaka."

"Tapi itu bukan berarti kamu harus ikut pergi juga, nak."

Ibu Rena melepaskan pelukannya dan memegang wajah Reyn.

"Kamu masih punya ibu dan adikmu. Yang bisa kau jadikan alasan untuk kamu melanjutkan hidupmu. Jangan lagi berpikiran seperti itu! Itu hanya akan memberimu siksaan abadi di akhirat sana."

Mereka berdua saling berpelukan erat.

***

Reyn tengah mendengar perkataan dari Raka, Ayahnya.

"Rey, Ayah akan terus bekerja keras, supaya kamu bisa terus sekolah. Jadilah anak pintar dan kebanggaan Ayah. Apa pun kesulitannya, Ayah yakin kamu pasti bisa melewatinya."

***

Reyn tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam, menahan isak tangis dan menghembuskan nafasnya dengan cepat. Lalu, Reyn menyilangkan tas sekolah itu ke tubuhnya. Dan bergegas keluar kamar.

Reyn tampak terkejut melihat Rena dan Riandra yang berdiri di depan kamarnya. Raut muka mereka berdua tampak tersenyum lega, cenderung senang.

"Akhirnya, kamu mau juga sekolah lagi."

Riandra segera menggandeng tangan Reyn tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu.

"Kalo gitu, kami berangkat, ya, Tante. Assalamualaikum..."

"Wa'alaiku salam. Hati-hati!"

Reyn tampak terkesiap namun pasrah dengan perlakuan Riandra yang setengah menyeretnya untuk segera pergi. Sedangkan, Ibu Rena tampak tertawa melihat tingkah Riandra ke anaknya tersebut.

***

Reyn dan Riandra berjalan berbarengan melewati gerbang. Tiba-tiba dari belakang ada yang menyerobot melewati tengah-tengah mereka. Mereka berdua jadi memisah, hingga membuat mereka berdua kesal. Ternyata itu Martin, dan ia terus berlari sambil meminta maaf.

"Sorry, sorry. Gue lagi buru-buru."

Karena Martin berlari sambil melihat ke arah Reyn dan Riandra, ia  kembali menabrak salah seorang siswi yang sedang berjalan menunduk hingga keduanya terjatuh.

"Awh."

Elena meringis kesakitan saat mengetahui siku kirinya tampak lecet dan sedikit berdarah.

Martin dengan cepat bangkit dan menghampiri Elena.

"Sorry, gue gak liat. Lo gak pa-pa, kan?"

Riandra dan Reyn datang seraya berlari, lalu menolong Elena untuk berdiri. Lalu, Riandra marah-marah ke Martin.

"Lo, sih, pake lari-larian segala. Belum waktunya masuk, juga."

"Ya, sorry."

Martin tampak menyesal.

"Udah-udah, kita bawa dia ke UKS aja."

"Saya, gak pa-pa, Kak. Cuma lecet aja, kok."

Elena memegangi tangannya yang sakit.

Riandra dan Martin tampak sedikit terkejut mendengar ucapan Elena. Sedangkan Reyn tampak bingung.

"Eh, jangan panggil Kakak. Kita seangkatan, tau."

"Oh, lo anak pindahan itu, ya? Pantes, gue agak asing."

"Ayo, gue anterin lo ke UKS."

Elena berjalan sambil didampingi oleh Riandra. Reyn dan Martin berjalan di belakang mereka.

***

Evan dan Vino tampak senang melihat kedatangan Reyn dan juga Riandra.

"Wih! Akhirnya, lo sekolah juga, Mas Bro."

Evan menyalami Reyn.

"Sorry, gue sempet gak mau sekolah lagi."

Vino juga menyalami Reyn.

"Gue kangen sama lo. Gak ada anak pinter lagi di kelas selain lo. Jadi, gue gak punya temen yang bisa gue contek."

Reyn terkekeh mendengarnya.

"Dasar tukang nyontek, lo," celetuk Riandra.

Lalu, Riandra menegaskan kepada Reyn bahwa teman-temannya sangat membutuhkan dirinya.

"Tuh, kan, Rey. Banyak temen-temen kamu yang butuhin kamu. Jadi, gak ada alasan buat kamu untuk menyerah. Kamu harus tetep semangat. Oke?"

Reyn tersenyum lebar ke arah Riandra. Begitu juga dengan Riandra.

"Gue demen, nih, kalo udah liat lo berdua kayak gini."

Seketika Reyn menggaruk kepala seraya menyeringai setelah mendengar penuturan dari Evan. Sedangkan, Riandra berusaha menyembunyikan rasa malunya dengan memalingkan wajahnya. Lalu, pergi begitu saja meninggalkan mereka bertiga.

"Yeh, main melengos aja kayak ayam," celetuk Vino.

***

Reyn menaruh tasnya di atas meja, dan ia segera duduk di kursi. Begitu juga dengan Vino yang duduk di sebelahnya. Sedangkan, Evan duduk di bangku belakang.

"Pasti gue ketinggalan banyak pelajaran."

"Tenang, gue punya catetan semua pelajaran yang lo butuhin."

Vino membuka tasnya dan mencari buku yang dimaksud.

"Tunggu, lengkap gak, tuh? Lo, kan, paling males kalo nyatet banyak-banyak."

"Itu catetan gue, Rey. Bukan punya dia."

Vino berbalik ke belakang.

"Ah, elo. Gak usah pake buka kartu napa?"

"Udah, mana catetannya? Biar gue bisa belajar dulu sebelum gurunya datang."

Vino mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas. Dan menaruhnya di atas meja di hadapan Reyn. Reyn mengambil salah satu buku tersebut dan mulai membacanya.

Dari arah pintu, Saly dan Elena masuk ke dalam kelas. Luka di siku kiri Elena sudah tampak diplester.

"Siapa, sih, yang nabrak lo itu?"

"Kata salah satu orang yang nolong gue, sih, dia itu Martin. Anak IPS 2."

"Oh, si Martin. Dia emang ceroboh orangnya. Untung luka lo gak parah."

Elena dan Saly berjalan melewati Vino dan Reyn. Reyn menurunkan buku yang sedang ia baca, lalu terkejut melihat ke arah mereka berdua.

Elena dan Saly duduk di bangku sebelah kanan, satu baris dengan bangku Reyn dan Vino. Di barisan paling depan.

Vino sedikit terkejut melihat siku kiri Elena tampak diplester.

"Eh, itu anak baru kenapa? Sikunya sampe diplester kayak gitu?"

Evan melihat ke arah Elena dan Saly.

"Sal, dia kenapa?"

"Ditabrak sama si Martin sampe jatuh. Biasalah si Martin suka lari-larian kalo masuk ke area sekolah. Dan sering ceroboh."

"Oh. Tapi, syukurlah lo gak kenapa-napa."

Elena tersenyum dan mengangguk. Lalu, sedikit terkejut melihat ke arah Reyn yang tengah menatapnya juga.

Reyn memalingkan wajahnya ketika tahu tingkahnya diperhatikan oleh Elena. Dan kembali membaca buku.

"Oh, iya. Gue belum cerita soal anak baru itu."

"Gue udah kenal."

Vino terheran-heran mendengar pernyataan Reyn.

"Kapan?"

"Tadi, gue sama Riandra yang ngebawa dia ke UKS. Gue kenalan, deh, sama dia. Tapi, gue baru tahu kalo dia sekelas sama gue."

***

Riandra sedang menyiapkan plester luka untuk memplester luka di siku kiri Elena. Elena memegangi tangan kirinya itu sambil memperhatikan Riandra. Sedangkan, Martin pamit kepada Reyn.

"Rey, gue ke kelas duluan. Soalnya, dia udah gak pa-pa ini."

"Ya udah, sana."

Martin melihat ke arah Elena dan kembali minta maaf padanya.

"Sekali lagi, gue minta maaf, ya."

Elena hanya mengangguk. Lalu, Martin berlalu dari ruang UKS.

Reyn memperhatikan wajah Elena. Elena tampak sedikit meringis saat Riandra menempelkan plester tersebut ke daerah sikunya yang luka.

Setelah selesai, Elena menyadari kalau Reyn tengah memperhatikannya. Lalu, tersenyum ramah ke arah Reyn. Reyn langsung mengulurkan tangan kanannya ke arah Elena. Dan mengenalkan dirinya.

"Hey, Gue Rey."

"Elena."

Elena mengenalkan dirinya tanpa menyambut tangan Reyn untuk bersalaman.

"Kamu apa-apaan, sih? Orang lagi sakit diajak kenalan."

Riandra mengoceh seraya membereskan kotak P3K. Tapi, Reyn tidak memedulikannya. Lalu, Riandra meletakan kotak P3K tersebut kembali ke dalam lemari.

"Makasih, ya, Kak!"

"Kakak, lagi. Udah gue bilang kita seangkatan. Riandra aja, atau Riri biar gak pusing."

"Rian juga boleh," celetuk Reyn.

Seketika Elena sedikit tergelak tawa mendengar penuturan Reyn. Sedangkan, Riandra tampak kesal.

"Iihh, Rey. Kamu apa-apaan, sih?"

Riandra pamitan kepada Elena seraya menarik tangan Reyn.

"Ya udah, kita pamit, ya!"

Reyn tampak masih ingin berbicara dengan Elena, namun tidak bisa menahan tarikan dari Riandra.

Elena hanya membalas dengan senyuman dan anggukan saja.

***

Bel tanda masuk pelajaran pertama berbunyi. Siswa-siswi yang masih di luar tampak masuk ke dalam kelas. Disusul oleh salah seorang Guru. Reyn dan yang lainnya segera mempersiapkan alat tulis dan buku yang mereka butuhkan.

***

Di waktu istirahat Reyn tengah berbicara dengan Pak Asep di depan kelas.

"Bapak kasih kamu tenggat waktu sampai akhir semester ini buat ngumpulin tugas kamu yang tertinggal itu. Karena, Bapak tau tugas kamu pasti cukup banyak yang harus dikerjakan. Itu baru dari Bapak, belum dari Guru-guru yang lain."

"Baik, Pak."

"Ya sudah, Bapak pergi. Kamu boleh lanjutin istirahatnya."

Reyn Salim ke Pak Asep, lalu beliau pergi. Reyn menghembuskan nafas berat dan tampak cukup pusing.

***

Reyn langsung duduk di sebelah teman-temannya. Vino bertanya sambil memakan gorengan beserta cabai.

"Gimana? Pak Asep ngomong apa aja sama lo?"

"Ya, dia cuma ngomong soal tugas yang harus gue kerjain. Lumayan Banyak. Padahal, gue gak sekolah cuma tiga minggu."

Evan menanggapi penuturan Reyn sembari mengambil salah satu gorengan yang ada di piring.

"Ya, lo tau lah, Matematika. Hampir tiap hari ada tugas."

"Untungnya, Pak Asep ngasih gue tenggat waktunya sampai akhir semester ini buat ngumpulin tugasnya. Lumayan cukup lama buat gue."

"Baguslah, kepala lo jadi gak bakal ngebul harus ngerjain tugasnya cepet-cepet. Nih, makan buat tenaga lo ngerjain tugas."

Vino menyodorkan piring yang berisi sejumlah gorengan ke hadapan Reyn. Reyn mengambil salah satu gorengan tersebut dan menyantapnya dengan lahap.

Reyn melihat ke sekeliling kantin dan menemukan Elena tengah duduk bersama Saly. Kemudian, Reyn beranjak dari tempat duduk dan berjalan hendak menghampiri mereka.

"Lo mau ke mana?"

Reyn tidak menjawab pertanyaan Vino. Lalu, Vino melihat ke arah Elena dan Saly.

"Oh, nyamperin mereka."

Elena dan Saly tengah tertawa, lalu mereka berhenti tertawa ketika Reyn duduk di sebelah Elena. Elena tampak sedikit bergeser.

"Gimana? Masih sakit?"

"Udah gak pa-pa, kok."

"Eh, kalo lo duduk di sini gue malah jadi obat nyamuk, tau."

"Ya, Baguslah. Biar gak ada nyamuk yang gangguin kita berdua."

"Dasar, lo."

Saly berdiri dan menarik tangan Elena agar ikut bersamanya.

"Udah, kita pindah aja, El."

Elena tampak tak siap ditarik oleh Saly.

"Pelan-pelan, dong, Sal."

Saly melepaskan genggaman tangannya dari tangan Elena. Mereka berdua terus berjalan menjauhi Reyn.

Reyn hanya tertawa geli melihat ke arah mereka. Saat memalingkan wajahnya, Reyn melihat Riandra tampak menghampirinya. Lalu, Riandra duduk di hadapan Reyn.

"Kamu belum pesen apa-apa?"

"Belum."

"Ya udah, aku pesenin, ya? Kamu mau pesen apa?"

"Samain aja sama kamu."

"Ok."

Riandra kembali berdiri dan hendak menuju salah satu warung.

***

Saly dan Elena berpisah ketika melewati persimpangan jalan. Saly melambaikan tangan ke arah Elena seraya berjalan pergi menjauhinya, begitu juga Elena.

"Dah!"

"Dah!"

Di belakang Elena, ada Reyn tengah berjalan berbarengan dengan Vino dan Evan. Ia memperhatikan Elena dan raut wajahnya tampak menerka-nerka sesuatu.

"Bro, gue pamit."

Evan mengangkat tangan kanan seraya mengajak Reyn untuk tos. Reyn menyambut ajakan dari Evan. Reyn juga adu tos dengan Vino.

"Kalian berdua hati-hati di belokan yang lurus."

Vino tampak terkekeh mendengar celetukan dari Reyn.

"Basi banget, lo. Itu mulu yang diomongin kalo kita pamitan."

Reyn hanya tertawa menanggapi omongan Vino. Reyn kembali berjalan dan memperhatikan Elena. Jalannya dipercepat, namun terdengar suara Riandra memanggilnya dari belakang.

"Rey, tunggu!"

Reyn berhenti dan menengok ke belakang.

"Eh, Ri."

Reyn menunjuk ke arah Elena.

"Dia searah, ya, sama kita?"

"Oh, dia sama keluarganya yang nempatin rumah vila itu."

Reyn mengangguk-ngangguk. Dan Mereka berdua berjalan berbarengan.

***

Reyn membuka pintu lalu mengucap salam.

"Assalamualaikum... Aku pulang."

Terdengar suara Naila yang menjawab salamnya dari arah ruang tengah.

"Wa'alaikum salam..."

Reyn tampak sedikit terkejut mendengarnya.

Reyn melihat ke arah sofa, tampak hanya Naila yang ada di sana sedang menonton TV. Lalu, Reyn menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

"Ibu mana, Nay?"

Naila menjawab pertanyaan kakaknya dengan lugu.

"Ibu, kan, kerja, Kak. Kakak lupa, ya?"

Reyn termenung setelah mendengar jawaban dari adiknya. Lalu, ia melepas sepatu dan kaus kakinya. Sedangkan, Naila kembali fokus menonton TV. Reyn meletakan sepatunya di samping sofa kemudian beranjak dari sofa.

"Kamu udah makan belum?"

"Belum, Kak. Tapi, Ibu tadi pagi udah nyiapin makanan di dapur. Katanya, kalo lapar minta sama kakak buat hangatin makanannya."

"Kalo gitu kakak mau hangatin makanannya dulu, kamu tunggu di sini, ya."

"Iya, Kak. Jangan lama-lama, aku udah laper banget."

"Siap."

Reyn berlalu menuju dapur.

***

Reyn tengah mengerjakan tugas yang diberikan oleh Pak Asep. Tampak sangat serius dan fokus.

Ibu Rena membuka pintu kamar Reyn secara perlahan.

"Belum tidur, nak?"

"Eh, Ibu. Belum, Bu. Aku lagi ngerjain tugas yang ketinggalan dulu, baru aku tidur."

"Jangan terlalu larut, nak!"

Reyn melihat ke arah jam weker yang ada di sampingnya. Jarum jam menunjukkan waktu pukul 09:21 malam.

"Iya, Bu. Sebentar lagi aku tidur."

"Ya udah, Ibu tinggal ya."

Ibu Rena kembali keluar kamar, dan menutup pintu kamar tersebut.