Oktober 2012...
Pak Asep menghampiri Reyn ke mejanya, dan memberikan lembar jawaban ulangan tengah semester milik Reyn. Dan raut muka Pak Asep tampak sedikit kecewa.
"Rey, ini nilai yang buruk buat kamu. Bapak sedikit kecewa sama kamu. Ini tidak seperti kamu saat awal-awal masuk sekolah. Yang nilai tugas kamu selalu bagus."
Reyn menerima lembar jawaban tersebut.
"Iya, Pak. Soalnya saya ada sebagian yang kurang mengerti soal-soalnya."
"Bapak ngerti, kamu ketinggalan cukup banyak pelajaran dari Bapak gara-gara kamu gak masuk sekolah cukup lama. Tapi, Bapak harap ke depannya kamu kembali ke performa terbaik kamu."
"Siap, Pak. Saya usahakan."
Reyn berusaha tampak bersemangat di hadapan Pak Asep.
"Ya sudah, kamu kembali mencatat soal-soal yang ada di papan tulis."
Pak Asep hendak kembali ke meja Guru. Dan Reyn tampak menghembuskan nafas berat setelahnya.
Vino merangkul bahu Reyn, berusaha menyemangatinya.
"Udah, lo pasti bisa. Lo, kan, anak terpintar di kelas ini. Hampir semua pelajaran, nilai lo selalu bagus."
Saly mendengar perkataan Vino, dan mencoba membantahnya.
"Belum tentu, tau."
Vino dan Reyn dengan seketika melihat ke arah Saly. Vino memasang muka kesal, sedangkan Reyn tampak penasaran.
"Maksud lo apaan?"
"Ya lo tau sendiri selama Rey gak sekolah, kan, ada yang nilainya selalu bagus."
Vino tampak memperhatikan ke arah Elena yang tengah sibuk mencatat.
"Maksud lo si Elena? Itu, kan, saat Rey gak sekolah. Jadi, keliatannya dia yang paling pinter."
Reyn tampak penasaran mendengar penuturan Vino.
"Ya, tapi, kan, udah kebukti nilainya gak kalah bagus sama Rey."
"Itu sama aja belum tentu juga Elena yang paling pinter di kelas ini."
Vino terdengar sewot.
"Kok, lo jadi sewot gitu, sih?"
"Sewot apanya? Gue gak sewot, kok."
Nada suara Saly mulai meninggi.
"Itu, tadi. Apa namanya kalo bukan sewot?"
Pak Asep segera menghentikan perdebatan mereka, karena cukup membuat gaduh suasana kelas.
"Sudah, sudah. Jangan pada ribut!"
"Ini, Pak. Vino gak terima kalo saya bilang Rey belum tentu siswa paling pintar di kelas ini."
"Emang iya, Rey paling pinter di kelas ini."
Vino kembali terdengar sewot. Hingga Reyn tampak terusik dengan suaranya.
Elena jadi berhenti mencatat, karena suara Vino yang cukup berisik.
Pak Asep kembali menghentikan perdebatan mereka berdua.
"Sudah, sudah!"
Keduanya tampak berhenti dan kembali tenang. Namun, dari sorot mata mereka berdua masih tersirat tidak ingin kalah.
"Mau siapa pun yang paling pintar di kelas ini itu tidak penting. Yang terpenting itu dia pintarnya hasil kerja kerasnya sendiri atau bukan. Dan kalian boleh bersaing, tapi dengan cara membuktikan hasil dari pembelajaran kalian. Bukan berdebat seperti ini."
Kondisi kelas kembali kondusif setelah Pak Asep melerainya. Mereka kembali fokus mencatat. Namun, Reyn tampak masih penasaran dengan ucapan Saly tentang Elena. Begitu juga Elena, ia kepikiran dengan pendapat Vino tentang Reyn.
Tidak lama terdengar bel tanda waktunya pulang, dan sebagian banyak siswa langsung membereskan alat tulis dan buku mereka.
"Untuk yang belum selesai mencatat dimohon selesaikan dahulu sebelum pulang."
Sebagian besar siswa mengeluh.
"Yaahh..."
"Bapak pamit, Assalamualaikum..."
"Wa'alaikum salam..." Jawab semua siswa.
Pak Asep hendak keluar ruangan disusul beberapa siswa yang sudah selesai mencatat. Kecuali Reyn, Vino, Evan, Saly dan Elena. Mereka masih tampak mencatat.
Vino mengajak Reyn untuk berbicara.
"Rey, gue punya ide bagus buat lo, nih."
"Ide apaan?"
Vino tampak membisikkan sesuatu di telinga kiri Reyn.
"Boleh aja, sih. Tapi, dianya mau gak?"
"Biar gue yang tanya."
Vino berdiri dan memandang ke arah Elena.
"Elena, gue sama Rey punya tantangan buat lo."
Elena cukup terkejut mendengar pernyataan dari Vino. Sedangkan Saly, ia malah sangat antusias.
"Buat nentuin siapa yang paling pinter di kelas ini."
Vino tampak berlaga sombong.
Elena agak ragu, namun Saly membujuknya untuk menerima tantangan tersebut.
"Udah, El, lo terima aja. Biar mereka tau siapa lo sebenernya. Dan kalo lo sampe nolak, lo bisa diejek terus-terusan sama mereka."
Elena pun meyakinkan dirinya untuk menerima tantangan tersebut.
"Ya udah, gue terima," ujar Elena cukup percaya diri.
Reyn tersenyum antusias mendengar jawaban dari Elena. Dengan ini Reyn jadi punya semangat lagi untuk belajar.
Saly bertanya.
"Terus, apa bentuk tantangannya?"
"Siapa yang nilai ulangan matematikanya paling tinggi di ulangan semester nanti, dia pemenangnya."
"Ok, siapa takut."
Evan yang memperhatikan mereka dari tadi jadi ikut antusias.
"Wih! Pasti seru, nih."
"So pasti."
***
Reyn mengangkat tangan, begitu juga Elena saat Pak Asep meminta satu orang untuk maju ke depan. Namun, yang dipilih Pak Asep adalah Reyn. Reyn meledek Elena seraya maju ke depan. Seketika Elena memasang muka kesal.
***
Elena baru saja selesai mengerjakan tugas. Beranjak dari tempat duduk, menggeprak meja Reyn hingga Reyn dan Vino tersentak. Elena mencoba mengintimidasi Reyn sembari berjalan ke meja guru. Menyisakan Reyn yang menatap tajam ke arah Elena.
***
Evan berbicara kepada Elena agar tidak melanjutkan tantangan ini.
"Sebab, kalo nantinya lo yang menang. Si Vino sama si Rey bakal ngeganggu lo terus-terusan. Gue gak mau itu sampe kejadian. Gue kasian sama lo."
Saly datang dan menyuruh Evan untuk pergi dari meja mereka.
"Awas lo, gak usah bujuk-bujuk Elena."
Evan pergi sambil mengomel.
"His, yang dikasih tau siapa yang sewot siapa."
Saly menahan kesalnya sesaat, lalu duduk dan mencoba membantah omongan Evan kepada Elena.
"Jangan dianggap omongan Evan tadi, dia Cuma mau ngejatuhin mental lo doang."
***
November 2012...
Elena jenuh dan stres mengerjakan PR-nya tersebut. Ia pun membaringkan tubuhnya di atas kasur.
Mama Lina masuk ke dalam kamar putrinya, dan mendapati putrinya tengah terbaring dan tampak pusing.
"Kamu kenapa sayang?"
"Aku pusing, Mah."
"Kok, tumben-tumbenan. Ada apa?"
Elena bangkit dari posisi tidurnya.
"Di sekolah ada yang nantangin aku. Tantangannya siapa yang nilai ulangan matematikanya paling tinggi di ulangan semester nanti, dia dianggap paling pinter di kelas."
Ibu Lina tampak menyimak dengan antusias.
"Makanya aku lagi belajar dengan keras akhir-akhir ini. Tapi, malah bikin aku pusing dan stres."
Elena mengeluh.
Mama Lina duduk di samping Elena dan mencoba menasihatinya.
"Belajar giat, boleh-boleh aja. Tapi, harus tau waktu, sayang. Ini udah mau subuh, ya pantes kamu stres."
Elena terkejut mendengar penuturan Mamanya.
"Ya ampun, kok aku bisa kebablasan, sih?"
Elena kembali mengeluh.
"Aaahh... Aku gak tidur dong malam ini."
Mama Lina mencoba menenangkan putrinya.
"Udah, hey, kamu bisa tidur sesudah subuh. Kan, ini hari minggu."
"Oh, iya aku lupa."
Elena menyeringai dan Ibunya tampak menggelengkan kepala.
***
Vino dan Reyn sedang bermain PS di sebuah Rental PS.
"Rey, lo kenapa malah ngajak gue maen, sih? Bukannya lo harusnya belajar?"
"Gue udah belajar sebelum ke sini. Dan ini biar otak gue gak stres dijejali pelajaran terus."
"Oh."
***
Desember 2012...
Tiba saatnya Ulangan Semester. Elena tampak sangat serius mengerjakan soal-soal ulangan tersebut. Dan kesulitan saat harus mencatat rumus-rumus yang panjang di kertas coretan.
Di ruangan lain, Reyn tampak santai. Kertas coretan miliknya pun tidak tampak penuh dengan rumus-rumus matematika. Hanya tulisan angka-angka saja, yang hanya dipahami oleh dirinya sendiri. Pengawas yang berjalan melewatinya pun tampak heran.
***
Semua siswa keluar dari dalam kelas dan disusul oleh pengawas ujian yang membawa hasil ujian hari ini.
Elena tampak cukup stres setelah keluar dari dalam kelas. Tiba-tiba Saly mengejutkannya dari belakang.
"Hey! Gimana, ulangan matematikanya?"
Elena sedikit mengeluh.
"Ya, gitu, deh. Bikin stres."
"Lah, bukannya matematika pelajaran yang lo sukain?"
"Iya, tapi kalo lagi ulangan gitu. Tetep aja bikin stres, tau."
"Gue kira lo yang suka matematika gak bakal kesulitan saat ulangan."
Elena dan saly terus berjalan. Di belakang mereka ada Reyn dan Vino yang tengah mengobrol juga.
"Eh, Rey. Ternyata ampuh juga tips dari lo. Gue biasanya mumet kalo ulangan matematika. Kali ini gue bisa ngerjain semuanya tanpa harus nyontek atau ngitung kancing buat milih jawabannya.
"Udah gue bilang, matematika itu gampang. Gak usah terpaku sama rumus. Apalagi saat ulangan. Soalnya, kadang gue ngerjain satu soal rumusnya panjang banget. Eh, pas selesai jawabannya gak ada di pilihan ganda."
"Dan ternyata SKS (*Sistem Kebut Semalam) itu menyiksa, buktinya waktu gue SMP suka make sistem itu. Besoknya malah blank otak gue. Cape-cape belajar semalaman, paginya malah ilang tuh materi."
"Nah kan? Yang jadi kunci lo bisa ulangan dengan lancar, bukan seberapa keras lo belajar. Tapi, seberapa rileks otak lo sebelum ulangan itu dilaksanain. Makanya, beberapa hari ini gue ajak lo maen PS."
"Bener-bener gue rasain, tuh. Otak seger ulangan lancar."
***
Pak Asep tengah membagikan hasil ulangan semua siswa.
"Evan Dimas."
Evan maju ke depan dan mengambil hasil ulangan miliknya.
Pak Asep kembali memanggil nama siswa yang selanjutnya.
"Dani."
Siswa yang bernama Dani maju ke depan.
"Vino Bagaskara."
Vino tampak antusias saat maju ke depan, namun saat melihat nilai hasil ulangan tersebut. Muka Vino langsung lesu.
"Itu udah kemajuan buat kamu. Bapak salut sama kamu."
"Tapi, Pak, masa cuma lebih sedikit dari KKM, sih, Pak. Saya sudah susah payah loh ngerjainnya."
"Syukuri aja, kali ini kamu gak remedial seperti UTS kemarin. Selanjutnya, Elena Putri Anjela."
Vino kembali ke tempat duduknya. Dan Elena maju ke depan.
"Reyn Dwi Arjuna."
Reyn maju ke depan dan saling menatap tajam dengan Elena yang hendak kembali ke tempak duduknya.
"Terakhir, Ana Maryam dan Saly Aprilian."
Saly Dan Ana maju ke depan berbarengan. Lalu, kembali duduk di bangku masing-masing.
"Kalian sudah tau, bagi siswa yang gak dipanggil berarti kalian remedial. Temui Bapak di ruang guru saat istirahat, buat minta tugasnya. Mengerti?
Seluruh siswa yang remedial menjawab, "mengerti, Pak."
"Ya sudah, Bapak tinggal. Jangan ribut dan jangan ada yang keluar sebelum bel istirahat bunyi."
Pak Asep berjalan keluar dari kelas.
Saly cemberut, karena nilai ulangannya turun dibanding ulangan yang sebelumnya.
"Lo kenapa, Sal?"
"Nilai gue turun, El."
Tiba-tiba Saly jadi antusias.
"Eh, iya. Nilai lo berapa?"
"Sekarang waktunya pembuktian sama anak baru itu. Siapa yang paling pinter di kelas ini."
Reyn tampak percaya diri dengan nilai yang di dapatkannya itu.
"Ya gue, lah, pasti."
Reyn menunjukkan nilai ulangannya kepada Vino.
"Coba gue liat?"
Evan mengambil alih lembar jawaban milik Reyn.
"Wih, lo emang hebat, Rey."
"Sehebat apa, sih, Rey yang sekarang? Coba tunjuk in nilainya."
Evan memperlihatkan nilai ulangan Reyn kepada Saly dan Elena. Nilai Reyn adalah 95.
Saly tertawa cekikikan setelah melihatnya.
"Maaf ya Rey, tahta lo kesingkir, deh, sama Elena."
Saly berbicara dengan nada sombong sambil menunjukkan kertas ulangan milik Elena. Nilai ulangan Elena adalah 97,5.
Sontak Evan dan Vino melongo melihat nilai ulangan Elena.
"Wadaw, cuma salah satu doang. Ah, gila lo."
Evan tampak tidak bisa berkata apa-apa.
Sedangkan Reyn tampak cukup kagum, ternyata ada yang bisa mengalahkannya dalam pelajaran matematika di kelas ini. Dan itu seorang perempuan.
"Temen-temen dengerin!"
Saly sedikit berteriak.
"Sekarang siswa paling pinter di kelas ini bukan lagi Rey, tapi Elena."
"Ah, yang bener, Sal? Itu gak mungkin."
"Liat aja sendiri ke sini nilai ulangan Elena berapa."
Beberapa Siswa maju menghampiri bangku Saly dan Elena untuk melihat nilai ulangan Elena dan bertanya beberapa hal kepada Elena. Elena cukup terganggu dengan hal tersebut, namun tetap berusaha bersikap tenang kepada mereka.
Vino masih tidak menyangka, Reyn bisa dikalahkan oleh Siswa yang baru saja bergabung ke kelas mereka.
"Wah, gue masih gak habis pikir. Ternyata dia pinter juga. Kirain, siswa pindahan kayak dia kemampuannya biasa-biasa aja."
"Lo gak pa-pa, kan?"
Evan memegang pundak Reyn.
"Emangnya gue kenapa? Gue gini-gini aja, perasaan."
"Ya, lo gak ngerasa kecewa gitu dikalahin sama tuh anak."
Reyn dengan santai menanggapinya.
"Ya, enggak lah. Gue malah salut ada yang bisa ngalahin gue."
"Bagus, sih. Tapi, gue itu dukung lo. Dan gue ngerasa kecewa, lo kalah sama dia."
"Udah lah, cuman soal pelajaran doang. Gak usah jadi masalah."
Reyn melihat ke arah Elena yang masih dikerubungi oleh beberapa orang. Elena menyadari kalau Reyn memperhatikannya. Reyn memberi selamat dengan isyarat jempol. Dan Elena menanggapinya dengan tersenyum seraya mengangguk perlahan.