Riandra tengah merenung di dalam kamarnya. Menatap foto ia bersama dengan Reyn waktu SMP. Saat Reyn menerima penghargaan sebagai ranking pertama di kelas.
Lalu, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Yang menyadarkan lamunan Riandra.
"Ri, ini gue. Buka pintunya."
Ternyata itu Anita.
Riandra turun dari tempat tidur seraya meletakan bingkai foto tersebut di atas meja nakas. Ketika pintu sudah terbuka, ternyata Anita tidak sendiri. Ia datang bersama Evan. Riandra sempat ingin menutup kembali pintu kamarnya, karena melihat sosok laki-laki. Ia urungkan karena itu bukan Reyn.
Riandra kembali naik ke atas kasur. Anita dan Evan masuk ke dalam. Anita duduk di sebelah Riandra, sedangkan Evan duduk di kursi dekat meja belajar.
"Gue udah peringatin Rey sebelumnya. Tapi, ternyata Rey gak mengindahkan peringatan gue itu."
Riandra tidak bereaksi apa-apa.
"Lo gak usah khawatir, kita bakal peringatin tuh cewek biar dia gak deket-deket lagi sama Rey."
"Nggak. Jangan. Itu bakal ngerenggut keceriaan Rey."
Evan tidak senang dengan tanggapan Riandra.
"Terus, lo mau biarin dia jadian sama Rey? Dan hati lo terluka kayak gini?"
"Gue tau, Van. Tapi, gue gak mau Rey kehilangan keceriaannya lagi. Itu lebih menyiksa bagi gue."
Evan mengusap rambutnya. Merasa kesal dan tidak mengerti dengan isi pikiran Riandra.
Anita memegang kedua bahu Riandra.
"Lo kenapa, sih? Gak kayak Riandra yang gue kenal. Yang percaya diri dan, maaf ya, egois kalo udah ngebicarain Rey."
"Kali ini gue terlalu pede, jadinya gue kayak gini."
"Ri?"
Riandra menoleh ke arah Evan.
"Gue gak suka lo kayak gini. Gue ngedukung banget lo sama Rey. Dari awal gue tau kalo kalian berdua udah deket dari kecil."
"Iya, Ri, bukan gue sama Evan doang yang ngedukung lo. Temen-temen SMP kita juga. Kakak kelas kita pun ngedukung lo berdua. Jadi, lo jangan nyerah kayak gini."
Riandra mencoba mengulas senyuman meski hanya semu.
"Please, Ri. Lo harus pertahanin Rey. Ya, walau lo berdua belum resmi pacaran. Tapi, kedeketan kalian udah lebih dari cukup buat dijadiin alasan buat lo mertahanin dia."
"Tapi, yang gue liat dari Rey, dari sorot matanya saat bersama Elena. Gue bisa mastiin, kalo Rey suka sama dia."
Evan berinisiatif untuk memberi Reyn peringatan.
"Kalo gitu, biar gue yang urus Rey. Gue bakal kasih dia pelajaran, biar dia sadar."
Evan berdiri dan hendak keluar kamar. Namun, Elena menghentikannya.
"Jangan, Van. Gue gak mau Rey kenapa-napa."
Anita juga ikut bicara.
"Iya, Van, jangan bikin keruh suasana, deh. Lo, kan, temennya dia. Kenapa lo malah mau ngasih dia pelajaran?"
Evan menjelaskan alasannya.
"Justru karena gue temennya dia, gue harus bisa nyadarin dia. Biar dia gak nyakitin hati lo, Ri. Gue kasian sama lo."
"Ya, tapi, bukan dengan cara kekerasan. Lo tenangin diri lo. Liat gue, gue gak kenapa-napa. Gue Cuma shock aja ngeliat Rey sama Elena. Gak sampai sakit hati."
Evan mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Makasih, buat dukungan kalian berdua. Gue hargain itu. Sekarang, gue udah ngerasa baikan."
Anita tersenyum, lalu memeluk Riandra dengan hangat. Begitu juga sebaliknya.
Evan terdiam dan tatapannya tajam. Ia tetap ingin memberi pelajaran kepada Reyn. Jika Reyn benar-benar menyakiti hati Riandra.
***
Evan mengajak Reyn ke suatu tempat. Tempat yang sepi dan jarang dilewati oleh orang-orang. Evan ingin memperingati Reyn tentang perasaannya kepada Elena.
Evan dan Reyn saling berhadapan. Tatapan Evan terlihat tajam. Sedangkan, Reyn tengah menduga-duga apa yang akan dibicarakan oleh Evan.
"Bukannya lo mau ngejaga perasaannya Riandra? Kenapa lo malah deket-deket sama tuh cewek?"
Reyn sedikit menundukkan kepalanya. Merasa bersalah.
"Gue tau. Tapi, gue gak bisa bohongin diri gue sendiri. Kalo gue suka sama Elena."
"Lo jahat, Rey. Bukannya lo dulu pernah cerita, kalo lo mau nembak Riandra? Kenapa lo malah jatuh cinta sama cewek lain?"
Reyn sedikit terpancing emosi.
"Lo gak ada di posisi gue. Jadi, lo gak tau gimana perasaan gue saat ini."
Evan masih bisa menahan amarahnya.
"Gue emang gak tau. Gak ngerti malahan. Gimana cara pikir lo."
Reyn kembali tenang.
"Dari kecil gue udah temenan sama Riandra, sampai saat ini. Gue juga pernah punya perasaan sama dia. Tapi, entah kenapa, perasaan itu hilang saat gue kehilangan Ayah gue. Dan kini perasaan itu gak pernah kembali."
Reyn sedikit meneteskan air mata.
"Elena, seakan dia memberi gue semangat baru. Dan perasaan baru pula. Gue emang mau ngejaga perasaan Riandra. Tapi, bukan dengan jadi pacarnya."
"Terus, maksud lo, mau jadiin dia simpanan lo. Gitu?"
Evan tidak habis pikir dengan pemikiran Reyn yang seperti itu.
"Lo emang jahat, Rey."
"Bukan. Bukan dengan jadiin dia simpanan gue. Gue lagi nyari cara buat nolak dia tanpa harus ngelukai hatinya."
Evan mengangkat kerah baju Reyn seakan siap untuk menghajarnya. Namun, Reyn tidak bereaksi yang berlebihan.
"Gak ada, Rey. Gak ada cara yang kayak gitu. Jika lo nolak dia, dia pasti terluka."
"Tapi, jika gue tetep sama Riandra. Gue yang tersiksa dan Riandra gak bakal dapet kebahagiaan dari gue."
Evan melepaskan genggamannya seraya mendorong tubuh Reyn. Evan mengusap wajah dan rambutnya, cukup frustrasi.
"Ternyata lo bukan hanya jahat, tapi lo juga egois. Lo Cuma mikirin diri lo sendiri."
Reyn kembali terpancing emosinya.
"Kalo gue egois, gue gak bakalan pusing-pusing mikirin cara biar Riandra gak sakit hati."
Reyn mendekatkan wajahnya ke wajah Evan dan menatapnya tajam. Reyn tampak menahan emosinya.
"Riandra itu sahabat kecil gue. Gue gak mungkin gak mikirin dia. Hanya saja, gue gak bisa ngebalas cintanya itu."
Evan kembali mendorong tubuh Reyn agar menjauh darinya.
"Bullshit."
Reyn semakin kesal dengan sikap Evan.
"Lo kenapa, sih? Setiap yang gue omongin gak masuk di pikiran lo."
Evan menjelaskan kenapa ia seperti ini.
"Lo mau tau?"
Evan diam sejenak.
"Gue kayak gini karena gue cinta sama Riandra."
Reyn seketika terkejut dan tak bisa berkata-kata.
"Tapi gue sadar diri, Riandra udah punya lo. Itu makanya gue gak mau Riandra sampe sakit hati gara-gara lo berpaling dari dia."
Itu sangat masuk akal, menurut Reyn, kenapa Evan selalu mendukungnya dengan Riandra. Evan menginginkan Riandra bahagia, meski bukan dengan dirinya.
"Bukannya kalo gue nolak Riandra, lo jadi punya kesempatan sama dia?"
"Karena, gue sadar cintanya itu cuma buat lo aja. Pasti dia gak mudah buat buka hatinya buat orang lain. Termasuk gue."
"Gimana lo bisa tau, kalo belum dicoba?"
Evan menghembuskan nafas, lalu termenung.
***
Elena dan Saly tengah jajan di kantin. Namun, Elena terlihat hanya memain-mainkan sedotan di minumannya. Raut wajahnya tampak sedikit cemas. Saly pun menegurnya.
"Oy, lo kenapa?"
"Eh, enggak. Gue gak kenapa-napa."
"Lo lagi mikirin apa, sih?"
Elena mencoba mencari tahu informasi tentang hubungan Reyn dan Riandra kepada Saly.
"Sal, menurut lo hubungan Rey sama Riandra itu kayak gimana, sih?"
Saly berpikir sejenak.
"Gue bukan temen SMP mereka, jadi gue gak tau awalnya mereka bisa deket itu kenapa. Yang gue tau, mereka itu deket banget kayak orang pacaran."
Elena terheran-heran mendengar penuturan dari Saly.
"Kayak orang pacaran?"
"Iya. Tapi, ada juga yang bilang kalo mereka udah dijodohin dari kecil, sih. Gak tau, deh, yang mana yang bener."
Elena berpikir. Pantas saja, sikap Reyn cukup terbuka padanya. Karena, Reyn tidak memiliki hubungan resmi dengan Riandra. Namun, tetap saja ia tidak boleh mengganggu hubungan mereka.
Saly kembali menegur Elena.
"Oy, malah ngelamun lagi."
"Sorry-sorry."
Elena menyeringai. Saly pun mendelik kesal.
***
Reyn berjalan menuju kelas Riandra. Begitu tahu Riandra sekolah hari ini, ia langsung bergegas menemuinya.
Reyn menghampiri Riandra ke mejanya. Anita segera berpindah tempat lain ketika Reyn hendak duduk di hadapan Riandra. Riandra tampak tidak senang dengan kehadiran Reyn. Riandra sedikit memalingkan wajahnya dari Reyn.
"Ri aku mau ngomong..."
"Ngomong aja," sela Riandra jutek.
Reyn baru kali ini lagi mendapat perlakuan seperti ini dari Riandra. Ia harus tenang dan terus berusaha agar Riandra mau mendengarkannya dengan baik.
"Aku tau, kamu cemburu."
"Cemburu? Kata siapa aku cemburu?"
Reyn sejenak menghela nafas. Lalu, kembali berbicara.
"Aku minta maaf."
"Buat apa kamu minta maaf. Kamu gak ngelakuin kesalahan apa-apa, kok."
"Ya udah, kamu maunya apa?"
"Aku gak mau apa-apa."
Dalam hati, Reyn terus berucap 'sabar, sabar, sabar.' Seraya menghembuskan nafas berat.
Reyn memutuskan untuk pergi. Ia berdiri dan hendak berlalu.
Riandra kembali ketus pada Reyn.
"Udah, gitu aja?"
Reyn menengok ke arah Riandra yang masih terlihat jutek. Lalu, kembali duduk.
"Oke, oke, aku salah udah deket sama dia. Terserah, deh, kamu mau apain aku. Asal kamu jangan jutek lagi kayak gini."
Reyn tampak frustrasi. Dan Riandra sedikit tertawa melihat tingkah Reyn.
"Iya, iya, aku gak jutek lagi. Aku Cuma lagi ngetes kamu. Apa kamu masih sabar kayak dulu ngadepin aku yang lagi ngambek atau nggak. Ternyata, masih aja ujung-ujungnya kamu uring-uringan sendiri."
Reyn memasang muka kesal dan geregetan, membuat Riandra semakin tertawa terbahak-bahak.
Riandra berhenti tertawa dan memasang wajah serius.
"Rey, kamu jahat."
Reyn terdiam.
"Ternyata usahaku sia-sia, buat bikin kamu jatuh cinta sama aku."
Reyn menatap mata Riandra dengan intens. Begitu juga Riandra.