"El, aku mau ngomong sama kamu."
Reyn berdiri di depan meja Elena seraya memasang raut wajah yang serius. Elena tampak menatap tajam ke arahnya. Sedangkan, Saly terlihat sedikit cemas dengan mereka berdua.
"Kalo cuma mau ngejalasin keputusan kamu itu, aku gak mau dengerin," jawab Elena sambil membereskan barang-barangnya.
"Tapi, El, aku gak ada maksud buat mutusin kamu. Aku cuma-"
"Udah aku bilang, aku gak mau dengerin penjelasan dari kamu."
Elena beranjak dan meminta Saly untuk ikut dengannya.
"Ayo, Sal. Temenin gue."
"Ki-kita mau ke mana?"
"Ikut aja gak usah banyak tanya."
"Iya, iya."
Mereka berdua pergi dari hadapan Reyn. Namun, Reyn menarik lengan kanan Elena sehingga langkahnya terhenti.
"Lepasin, Rey!"
Elena menghempaskan tangannya seraya sedikit berteriak.
"Aku udah menderita. Ditambah kamu yang gak bisa jaga komitmen kamu sama aku. Hatiku makin sakit, Rey!"
Elena tampak menahan kesedihan. Semua orang yang masih berada di dalam kelas tampak memperhatikan mereka berdua. Dan Saly tampak semakin cemas dengan Elena.
Reyn merasa terpukul mendengar pernyataan Elena.
"(Sebegitu sakitkah kamu? Sampai-sampai gak mau lagi memanggilku dengan nama panggilan sayangmu padaku.)"
Lalu, dengan setengah berlari Elena pergi keluar kelas. Disusul oleh Saly.
***
Elena berhenti di depan sebuah kelas yang sudah sepi. Ia tak mampu menahan kesedihannya kali ini. Sehingga ketika Saly menepuk pundaknya, ia langsung memeluknya dan ia pun menangis.
"Udah, El. Jangan nangis!"
Elena malah menangis semakin keras. Karena khawatir akan ada yang mendengar tangisan Elena, Saly mengajak Elena untuk masuk ke dalam kelas.
"Kita ke dalam aja, El. Takut ada orang yang lewat."
Elena melepaskan pelukannya. Lalu, mereka masuk ke dalam kelas tersebut dan duduk di salah satu bangku dekat pintu. Saly merangkul Elena sembari mengusap bahunya, berharap Elena bisa merasa tenang.
"Sal."
"Kenapa, El?"
"Gue masih kepikiran, awalnya lo kan ngedukung gue sama Rey. Tapi, kenapa sekarang lo malah saranin gue buat putus sama dia. Bukannya lo temennya dia?"
"Dibilang temen, sih, bukan. Kita akrab Cuma karena sekelas aja. Dan lagi, karena si Vino suka sama gue. Dia terus-terusan ngejar gue meski udah gue tolak berkali-kali. Nah, si Rey sama si Evan juga ikut manas-manasin gue biar gue nerima dia. Jadi, dari sana gue bisa akrab sama mereka. Meski mereka kadang suka jailin gue, sih."
"Alasan lo ngedukung gue waktu itu, kenapa?"
"Awalnya, gue sempat tuh minta lo buat jauhin dia. Karena, gue ngira si Rey pacaran sama si Riandra. Gue merhatiin sikapnya si Rey itu manis banget sama si Riandra. Nah, pas tau mereka Cuma sahabatan dan tau sikapnya Rey ke cewek itu kayak gitu. Ya, gue gak ada salahnya ngedukung lo sama dia."
"Terus, kenapa sekarang lo malah minta gue buat mutusin dia?"
"Ya, kayak yang gue omongin kemarin. Buat apa mertahanin hubungan kalian kalo si Rey gak bisa jaga komitmennya sama lo."
Saly tampak tidak suka dengan sikap Rey akhir-akhir ini.
"Pantes aja mereka gak pacaran, si Rey ternyata begitu orangnya."
"Apa gue emang harus putusin dia?"
"Gue gak bisa maksa lo. Tapi, jika itu emang yang terbaik buat lo. Apa salahnya?"
Elena kembali merenung.
"Yang terpenting ikuti kata hati lo."
"Makasih, Sal. Buat masukannya."
"Gak masalah."
Saly memegang kedua bahu Elena dan mengusapnya sambil tersenyum. Elena juga ikut tersenyum.
***
Saly kembali ke kelas untuk mengambil tas miliknya dan juga Elena. Ia langsung disambut oleh Reyn dengan pertanyaan mengenai Elena.
"Sal, di mana dia sekarang? Dia baik-baik aja, kan?"
"Luarnya, sih, baik-baik aja. Gak tau kalo hatinya," jawab Saly sedikit ketus. "Awas, gue mau ngambil tas gue sama Elena."
Reyn bergeser dari tempatnya berdiri.
Saly sudah mengambil tas mereka berdua dan hendak keluar. Namun, ia berhenti sejenak di hadapan Reyn.
"Kalo lo berpikir masalah lo sama Elena bisa selesai dengan keputusan lo yang gak masuk akal itu, lo salah besar."
Reyn hanya terdiam.
"Gue ternyata salah menilai lo, Rey. Lo emang selalu bersikap manis sama cewek. Tapi. ternyata lo gak bisa menjaga komitmen lo terhadap pasangan."
Kemudian Saly pergi setelah berbicara seperti itu.
Reyn masih bergeming. Ia merasa kesalahannya cukup fatal. Ia harus memperbaikinya sebelum semuanya terlambat.
***
Hari ke hari Elena selalu menghindar dari Reyn. Ia tidak ingin mendengar apa pun darinya. Namun, Reyn tidak menyerah untuk membujuk Elena supaya mendengarkannya.
"Apa?!"
Elena menepis tangan Reyn yang berusaha meraih tangannya. Ia tampak marah kepada Reyn.
"Bukannya ini yang kamu mau? Aku menjauh dari kamu?"
"Tapi, El…"
"Tapi apa?"
"Aku minta maaf. Aku tarik kembali keputusanku itu. Aku juga gak mau jauh-jauh dari kamu."
Elena memang menginginkan hal tersebut. Tapi, hatinya sudah terlanjur sakit.
"Sudahlah, udah gak ada gunanya lagi kita menjalin hubungan ini. Meski kamu menarik keputusan kamu itu. Kedepannya gak akan lebih baik."
"Maksud kamu?"
"Iya. Lebih baik kita putus aja sekalian. Biar semuanya selesai sampai di sini. Semoga ini seperti harapanmu, gak ada lagi yang akan ngebully aku!"
Reyn meraih tangan kanan Elena dan memohon padanya.
"Tolong, aku gak mau kita putus! Aku gak mau pisah sama kamu, El."
Elena melepas genggaman Reyn dari tangannya. Ia tampak hendak menangis, namun berusaha ia tahan.
"Sudah terlambat, Rey. Aku udah cukup menderita sama semua yang udah terjadi sama aku selama ini."
Elena pergi meninggalkan Reyn yang terdiam. Ia tampak tak kuasa menahan tangisannya, ia pun menangis saat berjalan pergi darinya.
***
"Udah, El. Jangan nangis terus."
Elena masih saja menangis di pelukan Saly.
"Lo udah ngelakuin hal yang benar, El. Jadi gak usah ditangisi. Oke?"
"Tetep aja, hati gue sakit, Sal."
"Lebih baik sakit saat ini, daripada lo nantinya terus-terusan menderita karena Rey yang gak konsisten sama komitmennya."
Elena melepas pelukannya dan menghapus air matanya sendiri.
"Lo bener, Sal. Semoga dengan ini gue gak bakal menderita lagi."
Saly tersenyum lega melihat Elena berhenti menangis.
***
Hari pembagian raport telah tiba. Para orangtua dan wali murid tampak hadir mendampingi anak-anak mereka. Sebagian siswa berada di luar, termasuk Reyn dan teman-temannya. Karena, kursinya penuh di isi oleh orangtua mereka.
Wali kelas tengah mengumumkan siapa saja siswa-siswi yang menjadi ranking tiga teratas.
"Yang menjadi ranking pertama adalah Adit. Silakan, Adit beserta orangtuanya maju ke depan kelas."
Semua hadirin bertepuk tangan ketika Adit dan Ayahnya maju ke depan kelas untuk menerima hadiah.
"Selamat, ya!"
"Terima kasih, Bu."
Adit menerima hadiah dari Wali Kelas. Lalu, mereka berfoto untuk dokumentasi. Setelah selesai mereka kembali ke bangku mereka.
"Baiklah, selanjutnya yang menjadi ranking kedua adalah Ana Maryam."
Hadirin juga bertepuk tangan ketika Ana dan Ibunya maju ke depan Kelas. Mereka juga menerima hadiah dan difoto untuk dokumentasi.
"Dan untuk ranking ketiga adalah Reyn Dwi Arjuna. Silakan Reyn dan Ibu Rena maju ke depan."
Evan dan Vino memberi selamat kepada Reyn.
"Selamat, kawan!"
"Gue kira lo gak bakal masuk tiga besar. Soalnya, ranking satunya bukan lo."
"Thanks! Gue juga gak nyangka masih bisa masuk tiga besar. Padahal, gue…"
"Udah, sana masuk!"
Evan mendorong Reyn untuk segera masuk ke dalam kelas.
Reyn masuk ke kelas dan berdiri di samping Ibunya. Mereka menerima hadiah dan juga difoto. Setelah difoto, Reyn melihat sejenak ke arah Elena.
Elena tampak menundukkan kepalanya ketika sadar Reyn melihat ke arahnya.
"Gak pa-pa, sayang. Mama tetep bangga sama kamu, meski kamu gak masuk tiga besar."
Mama Lina mencoba menghibur anaknya.
Elena tampak tersenyum semu.
***
Elena masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintunya. Ia bersandar di pintu sambil merenung.
"(Apa aku bisa menjalani hari esok dan seterusnya tanpamu, Rein?)"