"Baiklah, akan kuakhiri sampai di sini."
Tiba-tiba Elena terdiam dan mereka saling menatap satu sama lain. Setelah beberapa saat Elena mendorong Reyn hingga jatuh dan ia berdiri.
"Apa maksud kamu?"
Elena terlihat sangat marah.
Reyn sudah menduga ini akan terjadi.
"Biar aku jelasin dulu."
Reyn berdiri mencoba menenangkan Elena. Elena menepis tangan Reyn.
"Jangan sentuh aku!"
Kini ia terlihat menahan tangisan.
"Baiklah."
Reyn menghela nafas terlebih dahulu.
"Aku gak bermaksud buat mengakhiri hubungan kita, tapi lebih baik kita saling menjauh buat sementara waktu. Agar orang-orang gak terus-terusan berprasangka buruk sama kita."
"Itu sama aja kita putus, Rein. Aku gak mau putus sama kamu!"
Elena mulai terisak.
"Enggak, El. Kita gak putus."
"Tetap saja aku gak mau. Aku gak mau jauh-jauh dari kamu."
"Ini cuman di sekolah aja kita berjauhan, di luar sekolah kita tetap kayak biasanya."
"Bukankah kamu yang bilang kita akan hadapi ini sama-sama? Kenapa kamu berpikiran seperti ini?"
"Aku… aku ingin masalah ini cepat selesai! Aku gak mau ngeliat kamu terus-terusan menderita! Dan… cuma ini jalan keluarnya."
Elena tidak menyangka Reyn berpikiran pendek seperti itu.
"Pokoknya aku gak mau, aku gak setuju sama pemikiran kamu itu!"
Elena bergegas masuk ke dalam kamarnya, dan menutup pintu kamarnya dengan keras. Menyisakan Reyn yang terdiam.
***
"Aku pulang!"
"Kakak! Kakak ke mana aja, kok, baru pulang?"
Naila menghampiri kakaknya dengan perasaan cemas.
"Rey, kenapa kamu baru pulang, sayang?"
Ibu Rena juga tampak khawatir.
"Aku habis dari rumah Elena, Bu."
"Terus kenapa gak bales pesan dari Ibu, nak?"
"Hapeku habis batre, bu."
Reyn sedikit berbohong, sebenarnya ia tidak sempat memeriksa ponselnya. Karena ingin fokus menenangkan Elena.
"Ya sudah, kamu mandi dan habis itu baru makan."
"Iya, Bu."
"Kak, Kakak habis ngapain di rumah Kak Elena?"
Reyn sedikit membungkukkan badannya dan mengusap kepala adiknya.
"Kakak habis belajar sayang."
"Belajar? Bukannya ujiannya udah selesai? Kok masih belajar?"
"Belajar gak harus buat ujian aja, Nay. Belajar itu bisa kapan aja."
"Ya udah, kakak mandi sana. Kakak bau."
Naila berlari pergi meninggalkan kakaknya.
***
"Lo kenapa, sih, El? Tiba-tiba minta gue buat nginep di rumah lo."
Tanya Saly setelah menutup pintu kamar Elena.
"Gue mau curhat."
"Soal apa?"
"Rein, mutusin gue."
"Apa?!"
Saly tampak sangat terkejut.
"Kenapa bisa dia mutusin lo?"
"Gak secara langsung, sih. Dia cuman minta gue sama dia saling menjauh aja. Tap, kan, itu sama aja kita putus."
"Tenang, El. Pasti ada alasannya dia minta kayak gitu."
"Dia bilang, agar orang-orang gak lagi berprasangka buruk lagi sama kita berdua."
"Oh, gitu. Tapi…"
Saly tampak sedang berpikir.
"Gue pikir-pikir gak masuk akal, sih."
"Itu juga yang gue pikirin. Kenapa Rein bisa kepikiran hal kayak gitu?"
Elena memeluk erat bantal dan merenung.
"Ya udah, omongin lagi semuanya sama Rey. Siapa tau dia bisa merubah pemikirannya itu."
Saly memeluk Elena dari samping. Dan Elena juga balik memeluknya. Lalu, mulai menangis.
"Udah, udah, gak usah nangis."
***
Mama Lina sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Lalu, sedikit terkejut melihat Saly turun dari tangga.
"Eh, Saly. Tante kira Elena. Elena udah bangun belum?"
"Elena gak ada di kamar, Tante. Aku kira udah turun duluan."
"Eh, kok, tante gak liat dia turun. Ke mana dia?"
"Kalo gitu aku mau cari dia, Tante."
"Ya sudah, tolong ya, Sal."
"Iya, Tante."
***
Saly keluar rumah dan memperhatikan sekeliling halaman depan rumah. Lalu, ia melihat Elena sedang duduk di pinggir danau yang ada di seberang rumah. Saly menghampirinya dan duduk di sebelah Elena.
"Lo udah dari kapan di sini?"
"Dari habis subuh."
"Pantes Mama lo gak tau lo udah turun."
"Entah kenapa pas udah sholat gue pengen ke sini. Mandangin ikan-ikan di danau. Rasanya bikin adem hati gue."
Ikan-ikan di danau tampak bermunculan di permukaan air. Dan terlihat cukup banyak.
"Berarti lo udah merasa baikan?"
"Belum."
Kemudian suasana jadi hening. Mereka berdua tampak terpaku memandangi ikan-ikan di danau.
"Elena! Saly!
Terdengar Mama Lina memanggil dari arah teras rumah.
"Ayo sarapan! Makanannya udah siap. Papa udah nunggu kalian."
Mereka berdua menengok ke belakang.
"Iya, Ma!"
"Iya, Tante."
Saly menepuk pundak Elena.
"Ya udah, kita makan dulu. Mikirin masalah lo juga butuh tenaga, tau."
Saly beranjak disusul oleh Elena.
***
Ibu Rena memperhatikan tingkah Reyn yang dari tadi hanya memainkan makanannya tanpa menyantapnya.
"Rey, kamu kenapa, Nak?"
"Eh, enggak, Bu."
"Kakak, makanan itu dimakan bukan dimainin."
Ibu Rena sedikit tertawa mendengar celotehan anak perempuannya tersebut.
"Iya, Nak. Makan makanannya, nanti dingin dan gak enak."
"Iya, Bu."
Reyn menyantap makanannya dengan perlahan.
***
Pintu kamar Reyn terbuka dan tampaklah Evan masuk ke dalam kamar.
"Hey, kawan! Gimana kabar lo hari ini?"
"Hey!"
Reyn menyambut Evan tanpa semangat sedikit pun.
"Lo kenapa, hah? Kayak gak ada semangatnya gitu?"
"Gue gak kenapa-napa."
"Ayolah, Rey! Gue udah sahabatan sama lo dari SMP. Gue udah hafal banget sifal lo. Lo kayak gini pasti ada apa-apanya. Lo cerita napa."
Reyn tampak menghela nafas.
"Gue lagi mikirin masalah gue sama Elena."
"Soal pembullyan itu? Udahlah, nanti juga mereka berenti kalo udah bosen."
"Bukan soal itu. Tapi…"
Reyn menceritakan semua yang terjadi kemarin kepada Evan.
"Gue gak heran, sih, sama reaksi Elena yang kayak gitu. Gue sebenernya agak kurang yakin sama idenya si Vino."
"Kalo udah begini, apa gue harus tarik lagi keputusan gue itu?"
***
"Kalo menurut gue, lo harus bisa bujuk Rey buat narik keputusannya itu. Kalo gak berhasil, ya lo harus lakuin apa yang gue saranin tadi."
"Tapi, gue masih cinta sama dia, Sal."
"Buat apa lo mertahanin cinta lo, kalo dia gak bisa jaga komitmennya kayak gitu."
Elena tampak merenung.
***
"Tapi, itu terserah lo, sih. Gue cuman nyaranin aja. Cuman lo akan dicap gak konsisten sama dia. Dan menurut gue itu buruk bagi seorang laki-laki."
Reyn terdiam memikirkan cara terbaik untuk menyelasaikan masalahnya dengan Elena.
"Ya udah, gue cabut. Mau ada tanding futsal sama anak-anak."
"Gue ikut."
"Lo yakin? Tadinya gue juga mau ngajakin lo, tapi liat lo lagi gini…"
"Gue udah gak pa-pa. Yah, biar otak gue gak terus-terusan kepikiran masalah ini."
"Ya udah, deh, ayo! Gak seru juga kalo gak ada lo."
Mereka berdua beranjak keluar kamar.
***
"Sebenernya gue males, tau, masih harus ke sekolah. Padahal udah gak ada lagi kegiatan belajar."
"Lo males ke sekolah gara-gara takut remedial, kan?"
"Bukan begitu."
"Halah alesan aja, lo."
Vino melihat Saly dan Elena masuk ke dalam kelas.
"Tapi, kalo bisa ketemu sama dia mah, gak masalah, sih."
Evan dan Reyn melihat ke arah mereka berdua.
"Dasar, lo. Udah ditolak berkali-kali masih aja ngincer dia. Kayak gak ada cewek lain aja."
"Kan, udah gue bilang, gue bakal terus ngejar dia sampai dapet. Apa pun yang terjadi. Karena, gue cinta mati sama dia."
"Yang ada lo keburu mati sebelum dapetin dia."
"Eh, punya mulut tuh dijaga! Jangan asal ceplas-ceplos kayak gitu."
"Ya, maaf gue cuman becanda."
"Becanda lo keterlaluan, tau."
Vino mencoba menyapa Saly.
"Hey, Sal!"
Saly memalingkan wajahnya ke arah lain saat melewati mereka. Sedangkan, Elena menatap tajam ke arah Reyn. Reyn jadi semakin merasa bersalah kepada Elena.
Reyn terus memperhatikan Elena dengan tatapan bersalah sampai mereka duduk di bangku mereka.
Tidak lama Ibu Ida masuk ke dalam kelas.
"Good morning, students!"
"Morning, Mis!"
Semua siswa serentak menjawab.
"Baiklah, Ibu akan membagikan hasil ujian bahasa inggris kalian. Dan Ibu sedikit kecewa, karena masih banyak yang remedial."
"Siapa aja, Bu?"
"Salah satunya kamu, Vino."
"Hah?"
Vino langsung tampak lesu mendengar jawaban dari Ibu Ida.
***
"El, aku mau ngomong sama kamu."
Reyn berdiri di depan meja Elena seraya memasang raut wajah yang serius. Elena tampak menatap tajam ke arahnya. Sedangkan, Saly terlihat sedikit cemas dengan mereka berdua.