Lepaskan

Saly tengah membersihkan permen karet bekas yang menempel di roknya Elena, di dalam toilet.

"Ini, mah, susah buat dibersihin kalo Cuma pake sabun doang, El. Kalo bersih juga bakal tetep keliatan basah."

"Terus gimana, dong? Gue malu harus pake jaket terus buat ngalanginnya."

"Gak pa-pa. Cuman satu pelajarin lagi ujiannya."

"Ya udah, deh."

Elena menghela nafas pasrah.

Tiba-tiba dari luar terdengar ada orang masuk sambil mengobrol.

"Lo gak kapok apa? Udah dilaporin ke BK masih aja ngebully tu anak."

"Justru karena gue dilaporin, gue masih terus ngebully dia."

Sonia masuk ke dalam toilet, sedangkan Evelin menunggu di luar.

"Gue pengen dia minta ampun di depan gue sambil nangis-nangis memohon sama gue."

Saly dan Elena terkejut mendengar perkataan dari Sonia.

"Dasar lo, ya! Kebiasaan SMP jangan dibawa-bawa ke sini lah! Yang ada lo yang malah rugi."

"Kenapa lo malah ngebelain dia, sih?"

"Heh, gue bukan ngebelain dia. Gue gak mau lo kena masalah lagi kayak dulu. Hampir aja lo dikeluarin dari sekolah gara-gara ngebully anak guru, waktu itu."

Evelin merasa sebal dengan tingkah temannya tersebut.

Setelah beberapa saat, Sonia keluar dari toilet.

"Lo tenang aja, sekarang bukan gue yang ngebully dia secara langsung. Tapi, anak-anak yang mihak sama gue."

"Tetep aja, kalo mereka dilaporin, pasti lo juga kena. Karena, udah ngehasut mereka buat ngebully tuh anak."

"Udah-udah, malah debat yang gak jelas."

Sonia berlalu lebih dulu sambil tampak kesal.

"Lo, ya, kalo dibilangin malah batu."

Elena termenung setelah mendengar perbincangan mereka.

"Udah, El. Gak usah dipikirin. Kalo lo ngelawan atau bahkan sampai lo mohon-mohon kayak yang dia omongin. Lo malah bakal dipermalukan sama dia."

"Bukan itu yang gue pikirin. Tapi, kenapa dia sampai segitunya, sih, sama gue? Gue gak ada salah apa-apa sama dia, tiba-tiba dia nyebar gosip soal gue terus ngebully gue gak ada habisnya."

Elena tampak menahan amarahnya.

***

"Rey, lo udah ngelakuin saran dari Vino?"

"Belum."

Reyn menjawabnya setelah menenggak minumannya.

"Terus, kapan?"

"Kayaknya gue gak bakal ngelakuin hal itu. Bukan cuma karena Elena gak bakal terima. Tapi… Elena lebih butuh didampingi sama gue dari pada gue ngejauhin dia buat sementara waktu."

"Ya, terserah lo, sih. Cuman, bakal lebih baik jika mereka gak lagi ngeganggu Elena. Tadi aja ada yang naruh permen karet di kursi dia. Terus gue kasih jaket gue buat ngalangin roknya yang kena permen karet itu."

"Thanks!"

"Gak masalah. Cuman, gue gak bakalan bisa selalu nolongin dia. Soalnya, gue…"

"Gue tau, lo lagi ngedeketin dia, kan?"

"Yah, gitulah."

Reyn melihat Riandra tengah menghampiri mereka.

"Tuh, orangnya datang. Gue cabut, ya."

Reyn beranjak dari tempat duduknya dan Riandra tampak sedikit penasaran.

"Eh, Rey, kamu mau ke mana?"

"Ada urusan. Daah!"

Lantas Riandra bertanya kepada Evan, karena masih penasaran.

"Ada urusan apa dia?"

"Gak tau. Dia gak cerita sama gue."

Riandra tampak memikirkan sesuatu.

***

Sampai ke hari terakhir ujian pun Elena masih terus diganggu. Kali ini ada yang melempar bola kertas ke arahnya dan tepat mengenai kepalanya.

"Siapa, sih, yang ngelempar?"

Elena menengok ke belakang. Namun, tidak ada yang mengaku.

"Ada apa, Elena?"

Pengawas ujian menegurnya.

"Kayaknya dia minta contekan, tuh, Pak. Tapi, pura-pura ada yang ngelemparnya dengan sengaja."

Andin berceletuk.

"Enggak, Pak."

Lalu pengawas ujian menghampirinya.

"Coba Bapak lihat kertasnya."

Elena mengambil kertas tersebut dan memberikannya ke pengawas ujian.

"Coba lihat lembar ujian kamu."

"Ini, Pak."

Setelah memeriksa lembar ujian Elena dan kertas contekan tersebut. Pengawas ujian kembali memberikan lembar ujiannya.

"Ini, kamu lanjut kerjakan lembar ujian kamu."

Elena mengangguk.

"Loh, Pak? Kok, gak ditarik lembar ujiannya? Dia, kan, ketauan nyontek."

"Dia gak nyontek. Kertas contekan ini bukan buat dia. Lagi pula, Elena sudah hampir selesai mengerjakan soal-soalnya."

"(Cih!)"

"Kertas contekan ini entah punya siapa. Bapak tidak akan meminta kalian untuk mengaku. Tapi, akan katauan saat lembar jawaban kalian diperiksa oleh wali kelas kalian."

Andin tampak menahan kekesalannya.

***

Sonia dan dua temannya tampak sedang merencanakan sesuatu.

Reyn dan Elena tengah berjalan di antara siswa-siswa yang lain.

"Eh, mereka udah mau lewat, tuh."

Lalu, Sonia memberi isyarat kepada sekelompok siswi yang ada di seberang mereka.

"Akhirnya, selesai juga ujiannya. Waktunya senang-senang buat ngilangin stres."

"Eh, lo mau ngapain habis ini?"

Mereka berbicara cukup keras sehingga menarik perhatian orang-orang. Termasuk Reyn dan Elena.

"Nge-date sama pacar gue lah. Tapi, gak sampai minta dia buat nginep di rumah gue, sih."

"Gue kira lo bakal sama kayak dia."

"Mana mungkin! Gue masih punya harga diri, tau. Gue bukan cewek murahan kayak dia."

"Bener banget, harusnya kita menikmati masa muda kita. Bukannya dinikmati sama cowok berengsek."

Mereka lantas tertawa dan berlalu dari tempat tersebut.

Sebagian siswa menatap ke arah Reyn dan Elena dengan tatapan tercela.

Elena menundukkan kepalanya dan Reyn menyadari perubahan sikapnya tersebut. Ia cukup terusik dengan perkataan mereka hingga menusuk hatinya.

Reyn segera membawa Elena pergi dari tempat tersebut. Ia tidak ingin Elena terus-terusan merasa tertekan.

***

Sepanjang perjalanan pulang Elena tampak murung, tidak ada sepatah kata pun keluar darinya. Reyn sangat khawatir dengan keadaannya saat ini. Saat hendak melewati rumahnya, Reyn berinisiatif untuk mengantar Elena sampai ke rumahnya terlebih dahulu.

Elena sadar kalau mereka sudah melewati Rumah Reyn. Ia menengok ke arah Reyn dengan heran.

"Rein?"

Reyn hanya tersenyum.

***

Ketika sampai di depan rumah, tiba-tiba tubuh Elena gemetar. Reyn menyadari hal tersebut.

"Elena, kamu kenapa?"

Lalu, terdengar isak tangis darinya.

Reyn terkejut saat Elena tiba-tiba memeluknya dengan erat dan menangis di pelukannya tersebut.

"Ya sudah, lepasin aja semuanya."

Semakin keras dan histeris saat Reyn memintanya demikian. Reyn mengusap rambutnya dengan lembut.

Mama Lina keluar untuk melihat keadaan anaknya, karena tiba-tiba ia mendengar tangisan Elena.

"Oh, ternyata ada kamu."

Lalu, Elena berhenti menangis dan menghapus air matanya.

"Kamu kenapa nangis, sayang?"

Elena tidak menjawab.

"Dia kenapa, Rey?"

"Kayaknya dia tertekan, Tante. Karena, masalah yang kami hadapi itu."

"Ternyata separah itu mereka ngeganggu Elena."

"Ya sudah, Tante. Aku…"

Tiba-tiba Reyn merasakan lengannya digenggam dengan erat oleh Elena.

***

"Kalo butuh apa-apa, panggil Tante, ya."

"Iya, Tante."

Mama Lina berlalu setelah memberikan segelas air hangat kepada Reyn.

Lalu, Reyn duduk di sebelah Elena.

"Ini, minum dulu."

Elena meneguk air tersebut dengan perlahan.

"Ya sudah, aku bakal nemenin kamu sampai kamu merasa tenang."

"Aku masih gak habis pikir, kenapa mereka ngegangguku sampai segininya. Aku salah apa sama mereka?"

Elena kembali terisak. Reyn mengusap rambut Elena dengan lembut.

"Kenapa mereka segitu jahatnya, sampai-sampai menyebar gosip gak jela. Ngebully aku terus-terusan. Mereka ngelakuin itu kayak yang punya dendam sama aku. Padahal aku gak pernah ngeganggu mereka."

"Kamu benci sama mereka?"

"Aku benci, aku marah, aku kesal. Aku… menderita…"

Tangis Elena kembali pecah.

"Tapi, aku gak tau siapa yang harus disalahin."

Reyn merangkul Elena mencoba untuk menenangkannya. Namun, Elena malah semakin menangis.

"Baiklah, akan kuakhiri sampai di sini."

Tiba-tiba Elena terdiam dan mereka saling menatap satu sama lain.