Reyn dan Elena tengah berjalan sambil bergandengan tangan. Reyn tampak antusias. Sedangkan, Elena masih terheran-heran ke mana Reyn akan membawanya.
Reyn membawa Elena masuk ke sebuah warung. Di dalam tampak sepi hanya ada beberapa siswi yang sedang belajar sambil ditemani beberapa minuman dingin.
Mereka duduk di salah satu sudut warung.
"Kok, aku baru tau di sini ada warung."
"Soalnya, warung ini baru buka. Jadi, masih banyak yang gak tau."
"Eh, nak Rey. Akhirnya kamu mampir juga."
Penjaga warung menyapa Reyn dengan ramah.
"Iya, Wa. Soalnya, pacar saya mau suasana yang tenang. Biar ujiannya lancar nanti."
"Oh gitu. Ya udah, mau pesen apa?"
"Beli roti sama teh botol aja, Wa. Dua dua."
"Baik, Nak Rey. Tunggu ya."
Elena tampak penasaran.
"Dia Wa kamu?"
"Bukan. Tapi, dia suka dipanggil Wa sama anak-anak di tempatku. Dia itu tetangga aku, tapi pindah ke sini dan bukan warung di sini."
"Oh."
Tidak lama Wa Soimah membawa pesanan Reyn.
"Ini, Rey. Silakan!"
"Makasih, Wa."
"Sama-sama."
Mereka berdua menyantap roti tersebut dengan lahap. Lalu, Elena melihat ke arah siswi yang sedang belajar tersebut.
"Kalo tau tempatnya cukup sepi, aku juga bakal bawa buku buat belajar tadi."
"Gak papa, yang penting kamu bisa tenang. Gak diganggu sama orang-orang yang gak suka sama kita."
Reyn mengelus rambut Elena dan menyingkapnya ke belakang telinga kanannya. Sehingga membuat Elena sedikit malu.
"Eh, lo ngerti soal yang ini gak?"
Salah satu siswa yang sedang belajar bertanya pada temannya.
"Gue juga gak ngerti."
"Eh, kita tanya sama mereka aja."
"Ya udah, lo yang tanya."
"Kok, gue?"
"Ya, kan lo yang punya ide."
"Iya-iya."
Siswi tersebut menghampiri Reyn dan Elena. Dengan agak ragu ia bertanya.
"Sorry, lo berdua bisa bantu gue gak?"
"Bantuin apa?"
Elena tampak antusias.
"Ini, gue gak ngerti soal yang ini. Bisa tolong jelasin gak? Takutnya nanti keluar pas ujian."
"Ah, sini gue bantu."
Elena memeriksa soal tersebut.
"Oh, ini. Ya udah, gue jelasin di meja lo aja. Biar temen-temen lo juga ngerti."
"Oke."
Elena beranjak, lalu duduk bersama mereka.
Reyn sangat senang bisa melihat Elena begitu antusias dan ceria saat membantu mereka.
"(Syukurlah! Dengan begini Elena bisa teralihkan dari hal-hal yang mengganggunya.)"
"Nah, begitu caranya biar cepet. Kalian ngerti, kan?"
"Iya, ternyata gampang kalo udah dikerjain mah."
Elena tampak senang mendapat tanggapan yang baik dari mereka.
Salah satu dari mereka melihat jam di ponselnya.
"Eh, sebentar lagi masuk. Kita udahan aja."
"Oh, okelah."
Mereka membereskan barang-barang mereka. Lalu, beranjak pergi.
"Eh, iya. Makasih udah bantuin kita. Maaf ya, jadi ganggu waktu pacaran lo berdua."
"Gak pa-pa."
Mereka bertiga berlalu.
"Ya udah, kita juga balik ke sekolah."
Ajak Reyn.
"Iya."
***
Elena duduk di bangku, lalu ada yang menghampirinya.
"Lo sama Rey ke mana tadi?"
Dan ternyata itu Evan.
"Eh, Van. Gue sama Rein ke warung yang ada di pertigaan."
"Oh, pantes lo berdua gak ada ke kantin. Ya udah, gue cuman mau nanya itu doang."
Evan kembali ke bangkunya.
"Oh, jadi lo berdua nyari tempat buat mesra-mesraan berdua, ya?"
Elena mengepalkan tangannya menahan emosi dan sedikit menunduk.
"Udah lah, lo jangan ganggu dia mulu napa."
Evan mencoba menghentikan Andin.
"Lo jangan ikut campur, pake ngatur-ngatur gue segala, lagi."
"Kalo lo mikirnya gitu, lo juga gak berhak buat ikut campur ke kehidupannya Elena."
Andin hendak kembali membalas perkataan Evan, namun Bel berbunyi dan pengawas ujian masuk ke dalam kelas.
"Hiih, awas lo, ya."
Andin kembali ke bangkunya dengan kesal.
"El, lo gak pa-pa, kan?"
"Gak pa-pa, kok. Makasih."
"Tenang aja, udah tugas gue bantuin temen yang lagi kesusahan."
***
Elena dan Reyn tengah berjalan pulang, lalu di belakang mereka ada beberapa orang yang sedang membicarakan mereka.
"Gue gak habis pikir, udah jelas lengket begitu, masih aja gak ngaku kalo mereka udah gituan."
"Mereka itu malu atau gimana, sih?"
"Kalo emang gak ngelakuin, seharusnya mereka gak keliatan lengket begitu, kan?"
"Entahlah, mungkin si ceweknya ngerasa, karena udah begituan, dia gak mau si cowoknya lepas dari dia."
"Bener juga, masa udah ngorbanin tubuhnya, si cowoknya ninggalin."
"Ah, mungkin dia udah pengalaman digituin sama cowok terus malah ditinggalin. Jadi, dia takut si Rey juga begitu."
"Bisa jadi."
Lalu, mereka tertawa setelah berbicara seperti itu.
Elena terkejut karena Reyn tiba-tiba berhenti. Ia melihat Reyn tengah menatap ketiga siswi tersebut dengan tatapan tajam. Mereka bertiga tampak tidak gentar.
"Apa lo? Mau ngelaporin kita juga?"
"Kalo lo sampai ngelaporin kita, kita gak takut. Itu artinya lo berdua emang udah ngelakuinnya, kan?"
"Rein, udah. Gak usah ngeladenin mereka."
"Haah? Udah kena mental lo, ya? Jadi, gak berani ngelawan."
"Kayaknya, sih."
Mereka kembali tertawa dan berjalan melewati mereka tanpa memedulikan pandangan Reyn pada mereka.
"Rein?"
"Kamu baik-baik aja, kan?"
"Harusnya aku yang tanya begitu."
Reyn tersenyum.
"Ya, aku baik-baik aja. Dan aku senang ternyata kamu udah bisa ngadepinnya dengan tenang."
Mereka kembali berjalan.
"(Gak, Rein. Aku masih belum bisa tenang ngehadapinya. Karena, hatiku selalu ngerasa sakit saat mendengar kata-kata mereka. Aku bisa terlihat tenang, karena ada kamu di sisiku.)"
Elena melihat ke wajah Reyn, dan melihat ada sedikit kemarahan yang tersirat di wajahnya.
"(Apa kamu juga marah sama mereka, Rein? Atau… marah karena aku?)"
***
Reyn tengah berbaring sambil menatap langit-langit kamar.
"(Apa ini ujian bagi hubungan kita?)"
***
Elena memeluk erat bantal gulingnya.
"(Aku gak nyangka, akan sesulit ini menjalani sebuah hubungan.)"
***
"(Bukannya memberi dia kebahagiaan…)"
***
"(Aku malah menimbulkan masalah buat dia.)"
***
"(Aku tau kamu menderita, tersiksa dan tersakiti.)
***
"(Meski begitu, aku yakin, kebahagiaan sedang menanti kita di depan sana.)"
***
"(Karena itu, aku memilih untuk…)"
***
"(Bertahan dan menghadapi semuanya bersamamu.)"
***
Reyn mengubah posisi tidurnya jadi menghadap ke arah kanan.
"Selamat malam!"
***
"Tidur yang nyenyak dan mimpi indah!"
Elena tersenyum seraya memejamkan kedua matanya.
***
"Eh, dia udah datang, tuh."
Andin berbisik ke temannya, ketika Elena masuk ke ruangan.
"Jebakannya udah lo pasang, kan?"
"Udah, dong."
"Bagus."
Elena duduk dibangku dan sedikit heran melihat Andin dan temannya yang menatapnya dengan tercela.
"(Sabar.)"
Beberapa saat kemudian bel berbunyi, para siswa yang masih di luar terlihat masuk. Lalu diikuti pengawas ujian.
Pengawas ujian memberi instruksi lebih dulu sebelum membagikan lembar ujian tersebut.
"Tolong, yang membawa tas, tasnya disimpan di depan kelas."
"Baik, Bu."
Semua siswa menjawab.
Elena beranjak dan merasakan kalau Roknya terasa menempel di kursi. Dan benar saja, ada permen karet bekas menempek di roknya, begitu juga di kursi tersebut. Cukup banyak dan menempel sangat kuat di roknya.
"Kok, ada bisa ada permen karet, sih?"
Elena bergumam kesal.
"Kamu kenapa masih belum ke depan menyimpan tas kamu?"
"Ah, ini Bu, ada bekas permen karet nempel di rok saya."
"Kamu lihat-lihat dulu kalau mau duduk."
Andin tampak tertawa pelan.
"Ini, El, pake jaket gue buat ngalangin rok lo."
Evan memberikan jaketnya untuk dipakai Elena menghalangi bagian rok yang terkena permen karet tersebut.
Setelah memakai jaket tersebut, Elena segera menaruh tasnya ke depan kelas. Dan sebelum ia duduk, ia merobek selembar kertas dari bukunya dan menaruhnya di bagian kursi yang masih terdapat permen karet.
"Lo emang harus bener-bener sabar buat ngadepin mereka."
Bisik teman sebangkunya. Lalu, ia tersenyum menanggapinya.