Belum Barakhir

[Juni 2013]

Sonia dan dua temannya tampak sangat geram pasca dilaporkan atas pembullyan tersebut.

"Selama mereka belum mengaku, gue gak bakal berenti buat gangguin mereka."

"Tapi, Son, gimana kalo kita dilaporin lagi ke Guru BK."

"Lo tenang aja, bukan kita langsung yang bakal gangguin mereka sekarang. Tapi, orang-orang yang gak suka sama mereka."

"Maksud lo?"

"Iya, orang-orang yang kemakan sama gosip yang kita sebarkan. Mereka gak akan tinggal diam jika kita terus menyulut emosi mereka."

Sonia memasang muka penuh kebencian.

"(Mereka pikir permainan ini udah usai? Justru permainan yang sesungguhnya baru aja dimulai.)"

***

Elena tengah mengumpulkan lembar jawaban miliknya ke meja pengawas ujian. Lalu, ia terlihat senang begitu tahu Reyn ada di luar kelas, tengah menunggunya. Ia pun menghapiri Reyn dengan setengah berlari.

"Rein."

Reyn menyambut tangan Elena dan mereka saling melempar senyuman. Lalu, mereka berjalan saling bergandengan tangan.

"Liat, tuh, mereka. Kayaknya seneng banget udah ngelaporin si Sonia sama temen-temennya ke Guru BK."

Langkah Reyn tertahan karena Elena tiba-tiba berhenti. Reyn melihat kepala Elena yang sedikit menunduk dan gemggaman tangannya sedikit menguat.

"Apa-apa main lapor. Keliatan banget kalo mereka gak mau kebongkar aibnya."

"Eh, bukannya mereka gak kebukti pernah gituan."

"Halah, itu sih, settingan mereka aja. Mereka berdua kan pinter, pasti orang tuanya kena akal bulus mereka, biar percaya kalo mereka gak ngapa-ngapain."

"Lo bener juga. Sayang banget, otak pinter dipake buat hal begituan."

Mereka berdua berhenti bicara dan berlalu karena dilihat oleh Reyn dengan tatapan tajam.

Elena menghela nafas panjang setelah berhasil menekan amarahnya. Lalu, ia tersenyum ke arah Reyn.

"Ayo, Rein. Kita lanjut lagi."

"Iya."

Reyn membalas senyumannya. Lalu, ia sedikit merenung ketika berjalan.

"(Bener kata Riandra, ada yang gak suka kejadian itu dilaporkan.)"

***

Reyn membicarakan saran yang dikatakan oleh Vino kepada Riandra.

"Gimana menurutmu?"

"Aku agak ragu dengan solusi yang diberikan Vino. Tapi, apa salahnya buat dicoba."

"Aku juga mikirnya gitu. Cuman, masalahnya. Aku yakin Elena gak bakal nerima saran ini."

"Kamu harus ngomong pelan-pelan sama dia, biar dia bisa terima solusi ini dengan baik."

"Aku tau, tapi aku bingung harus mulai bicara dari mana. Apalagi, kondisi mentalnya lagi tertekan kayak gitu. Tadi aja dia keliatan lagi nahan amarahnya saat ada yang bicara hal buruk soal kami berdua. Yang menganggap kalo Papanya Riandra kemakan sama akal-akalan yang kami buat."

"Aku gak habis pikir, kenapa mereka sebegitu inginnya menghancurkan hubungan kalian."

"Aku juga gak ngerti, kenapa mereka kayak gitu."

Riandra tampak merenung.

"(Ini semua salahku, kalo aja aku berani buat ngelawan mereka waktu itu, aku bisa menghentikan mereka dari awal. Dan semua ini gak bakal terjadi, Rey.)"

"Udah, ya. Aku pulang. Makasih udah dengerin aku curhat kali ini."

Reyn tersenyum.

"Rey?"

"Ya."

"Maafin aku…"

"Buat apa? Kamu gak salah apa-apa."

"Maaf, aku gak bisa ngasih solusi sama kamu. Dan…"

Reyn menepuk pundak Riandra.

"Gak usah merasa bersalah begitu. Ini sudah kehendak-Nya, kita hanya perlu melewatinya dengan tabah dan sabar."

"(Tapi, aku ngerasa gak berguna buat kamu, Rey.)"

"Aku pulang, ya. Daah!"

Reyn berlalu meninggalkan Riandra yang masih termenung.

***

Reyn keluar rumah dan disambut oleh senyuman manis dari Elena. Namun, ia menemukan kesedihan dibalik senyumannya tersebut. Lalu, ia jadi termenung melihatnya.

"Rein?"

Reyn masih terdiam.

"Rein?!"

Elena sedikit meninggikan suaranya.

"Eh, iya, kenapa?"

"Kamu yang kenapa?"

Elena terlihat cemberut karena reaksi Reyn yang tidak seperti biasanya.

"Kamu gak biasanya begini."

"Ah, maaf. Aku kurang tidur semalem."

"Tau ah, aku sebel sama kamu."

Elena balik badan memunggungi Reyn.

"(Benar, aku gak boleh terus-terusan mikirin gimana caranya ngomongin solusi itu sama Elena. Yang terpenting sekarang adalah, menyembuhkan kondisi mental Elena yang terguncang saat ini.)"

Reyn mencoba mengelitiki Elena di bagian pinggangnya.

Awalnya Elena mencoba menahan rasa geli tersebut, namun lama-lama ia tidak tahan. Lalu, ia tertawa dan tubuhnya mengeliat kegelian.

"Ahahaha, geli Rein. Udah dong!"

"Gak."

Reyn terus mengelitiki tubuh Elena. Lalu, Elena berbalik ke arahnya dan hampir terjatuh karena kakinya sedikit terpeleset. Dengan sigap Reyn menahan tubuh Elena. Alhasil, mereka saling bertatapan dengan jarak yang sangat dekat.

Pipi Elena memerah karena menahan rasa malu. Sedangkan, Reyn terpaku menatap tepat ke bibirnya.

"Rein, udah. Lepasin aku."

"Ah, iya. Maaf."

Mereka jadi salang tingkah sendiri.

"Ya udah, k-kita berangkat sekarang."

"O-oke."

Mereka berjalan sambil menyembunyikan rasa malu mereka.

***

Elena memasuki ruangan ujian. Ia melihat ada yang menatapnya dengan tatapan tidak senang. Lalu, ia duduk di bangku yang menjadi tempat duduknya.

Kemudian, Andin menghampiri Elena dan menggeprak meja dengan cukup keras sehingga Elena terhentak.

"Heh! Lo pikir dengan ngelaorin si Sonia sama temen-temennya lo udah menang?"

"M-maksud Kakak apa?"

"Jangan pura-pura gak ngerti, deh! Gue tau, lo itu gak mau kan aib lo kebongkar. Jadi, lo bikin settingan biar bokap lo percaya kalo lo berdua gak begituan sama Rey."

Elena berusaha menanggapinya dengan tenang, meski emosinya sudah mulai naik.

"Aku gak buat settingan apa pun, kak. Papa emang tau kalo aku gak ngapa-ngapain sama Rein."

"Pinter banget ya lo ngelesnya."

Lalu, ada satu orang lagi yang menghampiri Elena.

"Ngaku aja lah, kalian udah gituan, kan? Kita gak bakal ngelaporin ini ke guru, kok. Si Bima sama si Rara aja, fine-fine aja waktu kita tanya kalo mereka udah gituan. Kenapa lo malah kekeh gak ngaku?"

"Aku emang gak ngelakuin apa-apa sama Rein!"

"Udah cukup, lo berdua malah bikin gaduh aja."

Ada kakak Kelas yang membela Elena. Dan dia adalah Ajeng.

Mereka berdua mendelik.

"Lo berdua maunya apa, sih? Jelas-jelas mereka gak ngelakuin hal itu. Malah kalian tekan kayak gitu."

"Gak usah belain dia, deh. Lo sendiri hampir ngelakuin itu, kan, sama Bima?"

"Kasian sekali lo diputusin Bima, gara-gara nolak buat digituin."

"Justru gue bersyukur bisa putus sama cowok bejat itu."

"Ya, ya, terserah lah. Dasar cewek so' alim."

Mereka berdua berlalu pergi setelah berbicara seperti itu.

"Makasih, ya, kak! Udah nolongin aku."

Ajeng tidak menanggapi ucapan terima kasih dari Elena. Ia malah termenung.

"Kak?"

"Eh, iya. Gak masalah. Gue gak tega aja liat orang ditekan kayak gitu. Apalagi lo, yang gak punya salah apa-apa sama mereka."

"Sekali lagi makasih ya, kak!"

Ajeng mengangguk, lalu kembali ke bangku tempatnya duduk.

***

Saat ujian berlangsung Elena tampak tidak terbebani oleh perkataan mereka. Kali ini ia bisa mengontrok emosinya, meski hatinya tergores oleh perkataan mereka. Ini berkat Reyn yang selalu ada di sisinya. Ia tersenyum disela-sela mengerjakan soal ujian tersebut.

***

Reyn tengah bicara dengan Ajeng di depan kelas.

"Lo harus kasih perhatian lebih sama pacar lo itu, gue liat dia cukup tertekan sama orang-orang yang gangguin dia tadi."

"Makasih, kak, buat sarannya."

"Gak masalah. Gue cabut kalo gitu."

"Iya."

Setelah Ajeng pergi, Elena datang menghamipiri Reyn.

"Kita gak usah ke kantin kali ini."

"Kamu mau ajak aku ke mana?"

"Ikut aja, nanti kamu juga tau."

Reyn menggenggam tangan Elena dan mengajaknya untuk pergi ke suatu tempat.