Solusi

"Om kenal Ayah saya dari mana?"

Pak Nino tersenyum.

"Baiklah, akan Om ceritakan."

***

Kami bertemu pertama kali di sebuah kafe dekat kantor. Saat itu Ayah kamu sedang kesusahan mencari dompetnya.

"Ada apa?"

"Dompet saya hilang."

"Apa anda yakin benar-benar membawa dompet tersebut?"

"Tentu saja, karena tadi pas beli bensin dompet saya masih ada."

"Mungkin saja dompet anda terjatuh di suatu tempat saat ke mari."

Ayahmu langsung terlihat lesu.

"Memang, berapa uang yang ada di dompet tersebut."

"Uang yang tak seberapa, hanya saja ada satu barang yang paling berharga bagi saya."

"Oh, begitu."

Ayahmu melihat ke sebuah cangkir kopi yang sudah setengah kosong.

"Ah, kalau itu biar saya yang bayar dulu. Anda tidak usah khawatir."

"Tapi, kita baru saja bertemu, bagaimana saya…"

"Tenang saja kita bekerja di satu perusahaan, jadi anda bisa menemui saya kapan saja."

"Bagaimana anda tahu?"

"Name Tag anda."

"Ah, iya saya masih memakainya."

Setelah itu kami pun mengobrol cukup panjang.

"Oh, iya hampir saya lupa tanyakan. Anda bekerja di divisi apa? Soalnya saya tidak pernah melihat anda."

"Saya di divisi pemasaran, bidang perencanaan produk. Dan memang kami jarang keluar kantor meski di jam istirahat."

"Ah, ternyata begitu."

***

Kami berjalan menuju tempat parkir. Lalu, Ayahmu membuka jok motornya untuk menyimpan tasnya. Dan ia terkejut melihat dompetnya ada di dalam bagasi.

"Ah, dompet saya. Ternyata ada di dalam bagasi."

"Syukurlah, ternyata tidak hilang."

"Saya baru ingat, tadi saat beli bensin dompet saya tidak saya masukin ke dalam tas melainkan di taruh dalam bagasi motor. Kalau begitu, ini saya ganti uang yang tadi."

"Tidak usah sekarang, lain kali saja anda traktir saya."

"Baiklah."

Ayahmu kembali menaruh uangnya ke dalam dompetnya, lalu ia terpaku memandangi sesuatu di dompet tersebut.

"Ada apa? Kenapa melamun?"

"Ah, tidak. Saya lagi melihat foto anak saya. Saat mendapat juara umum tahun lalu."

"Ah, ternyata itu hal paling berharga yang anda maksud."

"Iya. Ini kenangan terindah bagi kami. Namanya, Reyn. Dia anak yang sangat pintar dan penurut. Dia tak pernah mengecewakan saya."

Ayahmu tanpa sadar meneteskan air matanya.

"Ah, maaf. Saya suka meneteskan air mata tanpa sadar jika membicarakan anak saya."

"Tidak apa-apa. Itu hal wajar, saking kita bangganya terhadap anak kita."

"Oh, iya. Anda mau pulang bersama saya?"

"Tidak usah, saya masih harus ke kantor. Banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan."

"Baiklah, kalau begitu."

***

Sejak saat itu kami sering bertemu di kafe tersebut untuk sekadar mengobrol masalah pekerjaan mau pun hal pribadi. Dan Om mendengar banyak cerita tentang kamu dari Ayahmu tersebut. Semua hal yang baik-baik tentang kamu.

Namun, beberapa bulan kemudian Om dipindah tugaskan ke luar negeri.

"Dengar-dengar, Anda dipindah tugaskan ke luar negeri ya?"

"Iya, dan besok saya akan berangkat."

"Untuk berapa lama?"

"Saya belum tahu."

"Kita masih berteman, kan?"

"Tentu saja. Jarak bukan lah halangan."

"Ah, iya. Anda benar."

***

"Itulah kali terakhir kami bertemu, satu tahun yang lalu. Dan beberapa bulan ini kami tidak pernah saling kontak lagi. Ngomong-ngomong, ke mana Ayahmu? Bekerja di mana dia sekarang?"

"Ayah…"

Reyn menundukkan kepalanya.

"Sudah tiada, Om."

"K-kapan?"

"Beberapa bulan yang lalu."

"(Pantas saja saya tidak bisa menghubunginya lagi.)"

Pak Nino memegang bahu Reyn.

"Om turut berduka cita atas meninggalnya Ayah kamu."

"Iya, Om. Makasih."

"Kalau begitu, Om pamit."

"Iya, Om."

Reyn terus memandangi Pak Nino yang berlalu pergi, sembari membayangkan sosok Ayahnya ada di sampingnya.

***

Elena memeluk erat tubuh Reyn, saat mereka melaju di atas sepeda motor.

"Rein, apa mereka bakal berenti membullyku setelah ini? Aku masih takut."

"Kamu jangan takut, kita hadapi sama-sama. Dan aku bakal lebih ngejaga kamu lagi."

"Tapi…"

Elena semakin mengeratkan pelukannya.

"Tenang aja. Semuanya akan baik-baik aja."

***

Mama Lina langsung memeluk putrinya ketika sampai di rumah.

"Sayang, kamu baik-baik aja, kan?"

"Aku gak pa-pa, Mah."

"Syukurlah, sayang. Makasih ya, Rey, udah nganterin Elena."

"Iya, Tante. Sama-sama. Kalo gitu saya pamit."

"Gak masuk dulu?"

"Gak usah, Tante. Saya harus kembali ke sekolah, soalnya masih belum waktunya pulang."

"Ya sudah, kalau begitu."

"Assalamualaikum!"

"Wa alaikumsalam!"

Jawab mereka berdua hampir berbarengan.

***

Riandra terlihat cemas saat menghampiri Reyn.

"Rey, sorry aku gak ngejenguk Elena ke UKS waktu tau Elena baru aja dibully sama mereka."

"Gak pa-pa dia udah baikan, kok."

"Sekarang dia di mana?"

"Udah aku anter pulang tadi."

"Lalu, mereka?"

"Mereka dapat hukuman dari Guru BK. Discor sampai waktu ujian."

Riandra mendekatkan wajahnya ke telinga Reyn, lalu berbisik.

"Kamu tetap harus waspada, soalnya aku denger-denger, banyak yang gak suka kejadian ini dilaporin. Dan aku khawatir malah akan banyak yang ngebully Elena setelah ini."

Reyn cukup terkejut dengan yang dikatakan oleh Riandra.

***

"Hah! Gue kira ini sudah berakhir."

Reyn terlihat frustasi sambil bersandar di pagar balkon rumahnya.

"Ya, begitulah hidup. Selama kita masih bernafas, ujian dan cobaan akan terus datang."

"Lo berdua punya solusi gak buat gue? Biar Elena gak lagi kena bully sama orang-orang."

"Apalagi? Yang bisa lo lakuin cuma ngelindungin dia, jangan sampai lepas dari pengawasan lo. Itu aja udah cukup."

"Atau justru, yang lo lakuin itu malah bikin Elena dibully?"

"Maksud lo apa, Vin?"

Reyn sedikit terpancing emosinya.

"Tunggu, jangan dulu emosi. Biar gue jelasin dulu. Gini, gue pikir-pikir, penyebab mereka nyebar gosip itu, kan, karena lo keliatan lengket banget sama Elena. Kayak si Bima sama si Rara. Nah, mereka jadi nyangkanya lo sama Elena juga pernah begituan, jadinya lengket banget."

"Arah omongan lo ke mana sih, Vin? Bingung gue."

"Tapi, kan, itu udah kebukti kalo gue gak ngelakuin hal itu."

"Gue tau. Tapi, dengerin dulu sampe selesai."

"Iya-iya."

"Saat si Mei denger lo nginep di rumahnya, gosip ini makin parah. Dan sampai-sampai Elena dibully. Nah, kalo lo berdua malah makin lengket takutnya malah makin banyak yang ngira kalo lo brdua beneran udah begituan. Terlepas dari udah kebuktinya lo emang gak ngelakuin hal itu.

Nah, jadi, gimana kalo lo berdua saling ngejauh dulu buat sementara waktu. Siapa tau, mereka jadi ngiranya lo berdua udah putus. Dan mereka pun jadi berenti buat ngebully Elena. Kalo kondisinya udah kondusif, kalian bisa mesra-mesraan lagi kayak biasanya."

"Gue gak yakin ide ini bisa berhasil. Dan lagi, Elena pasti gak terima sama ide ini."

"Tapi, apa salahnya buat dicoba, Rey."

"Tuh, Evan aja setuju."

Reyn tampak merenung.

***

Elena memperhatikan raut wajah Reyn yang termenung. Ia heran dengan sikapnya tersebut.

"Rein, kamu kenapa?"

"Eh, nggak, kok. Aku…"

"Kamu lagi banyak pikiran, ya?"

Reyn terdiam mendengar pertanyaan dari Elena.

"Kamu gak kayak biasanya, santai kalo udah mau ujian."

"Yah, kamu tau sendiri, beberapa hari ini kita diterpa cobaan yang cukup berat. Aku masih khawatir sama kamu."

"Bukannya kamu yang bilang, kalo kita akan hadapi ini sama-sama. Karena itu, aku udah gak takut lagi. Jadi, kamu gak usah khawatir, ya."

Elena mendekat bersandar di dada Reyn.

"Dan selama aku ada di sisimu, aku jadi yakin, semuanya akan baik-baik aja."

Reyn mengusap rambut Elena dengan lembut. Dan tersenyum tulus.

"(Baiklah. Lain kali saja aku ngomongnya. Aku gak ingin ngerusak suasana hatinya.)"