"M-maafin gue, Rey. Gue disuruh dan diancam sama mereka buat bohong kalo Elena disuruh Pak Jonri buat ke lab bahasa."
Reyn sangat terkejut dengan pernyataan Nina. Reyn langsung berlari keluar ruangan.
***
Elena tampak heran melihat ke arah pintu Lab Bahasa.
"Kok, sepi?"
Elena mencoba membuka pintu.
"Kekunci. Pak, Jonri. Apa Bapak di dalam?"
Tidak ada jawaban sama sekali. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara tawa.
"Hahaha, dasar cewek polos mudah banget diperdaya."
"Pantes Rey doyan sama ni cewek."
Elena berbalik badan sembari gemetar.
"K-kalian mau apa?"
"Hohoho… ada yang ketakutan, nih."
"Tenanglah, cewek jalang. Kita Cuma mau ngasih pelajaran berharga buat lo."
"A-apa yang mau kalian…"
Mereka langsung memegangi kedua tangan Elena dan menyeretnya.
"Lepasin gue atau gue…"
Fitri menyumpal mulut Elena.
"Awas aja kalo lo teriak, kita bakal gak segan-segan buat nyiksa lo sampe lemas."
"Mmm… mmm…"
Elena memberontak, namun cengkraman mereka sangat kuat.
***
"Elena!"
Reyn tampak terengah-engah. Ia melihat ke sekeliling tempat, namun tidak ada tanda-tanda dari Elena.
"Aaahh, gue telat. Ke mana mereka membawanya."
Reyn tampak berpikir.
"Toilet. Pasti mereka membawanya ke sana."
Reyn kembali berlari.
***
"Aaaahh, hah, hah. Ampun, kak!"
Elena memohon kepada mereka bertiga. Kepala hingga dadanya basah, karena dicelupkan ke dalam bak mandi dengan paksa.
"Apa? Gue gak denger."
Fitri dan Mei kembali memendamkan kepala Elena ke dalam bak mandi. Meski sudah berontak tapi tenaganya tidak cukup melawan mereka berdua.
"AAAAHH, hah."
Tampak raut kebencian di wajah Elena, namun tertutupi oleh aura ketidak berdayaan. Dan mereka berdua tampak puas melihat pemandangan tersebut.
Tiba-tiba ada yang menggedor pintu dengan sangat keras.
"WOY, HENTIKAN! KELUAR KALIAN!"
Fitri dan Mei melempaskan genggaman mereka dari tubuh Elena. Elena terkulai lemas.
"Gimana ini?"
"Gak usah takut napa. Cuma Rey doang."
***
"Elena!"
Reyn sangat terkejut melihat kondisi Elena yang terkulai lemas. Ia langsung menghampirinya dan mendekapnya.
"Apa yang kalian lakuin sama dia?!"
Reyn tampak sangat marah.
"Ya, kita cuman ngasih pelajaran doang. Gak lebih."
Sonia menjawabnya dengan santai.
"KETERLALUAN KALIAN SEMUA!"
"Ho, santai-santai gak usah pake gas segala. Kita gak bikin dia sampai mati, kok."
"Tetep aja kalian biadab, udah ngebully orang lemah kayak dia!"
"Eh, itu pelajaran buat dia biar gak ngelakuin kesalahan lagi. Lo juga, tuh, jadi cowok harusnya ngejaga cewek. Bukan malah ngerusaknya."
"Jadi lo pikir gue cowok berengsek?! Hah?!"
Tatapan Reyn penuh kebencian pada mereka.
"Lo pikir aja sendiri. Udah, yuk kita cabut."
"Berhenti, kalian!"
Evan menghadang mereka bertiga dan di belakangnya ada Pak Agus, kepala BK.
Mereka bertiga tampak cemas dan gelisah.
"Kalian bertiga ikut Bapak ke ruang BK."
Mereka bertiga sangat ketakutan dan saling menyalahkan.
***
Reyn masuk ke ruang BK dan duduk di sebelah Evan.
"Gimana keadaannya?"
"Udah baikan, sekarang lagi ditemenin sama Saly di UKS."
"Baik, karena sudah kumpul semua. Silakan kalian jelaskan kenapa kalian membully Elena sampai seperti itu."
Tidak ada yang berani bicara lebih dulu. Mereka bertiga menundukkan kepala semuanya.
"Akar masalah dari pembullyan ini apa? Coba jelaskan kepada Bapak."
"Saya aja, Pak."
"Evan, kamu tau masalahnya?"
"Kurang lebih begitu, Pak."
"Silakan."
Evan menceritakan semuanya dari awal kepada Pak Agus.
"Ah, ternyata begitu. Apa benar seperti itu, Mei, Sonia, Fitri?"
"I-iya Pak."
"Tapi, Pak, saya denger langsung dari mereka kalo Rey nginep di rumah Elena dan mereka berbuat yang enggak-enggak."
"Itu gak bener. Gue cuman belajar di rumahnya."
Reyn tampak emosi.
"Sabar, Rey."
"Tapi, kenapa kamu sampai menginap di rumahnya? Apa orangtua Elena tau soal ini?"
"Kami…"
"Tuh, kan, bener, Pak."
"Kamu diam dulu, biarkan Rey menjelaskan."
Sonia kembali terdiam. Namun, raut kekesalan masih menyelimutinya.
"Saya memang menginap di rumahnya, Pak. Tapi, kami gak ngelakui hal yang mereka fitnah tersebut. Dan orang tua Elena juga tau soal ini. Saya menginap karena memang untuk menemani Elena yang sendirian di rumah. Karena, Mamanya sedang menjemput Papanya yang baru pulang dari luar negeri. Mereka datang pas tengah malam, dan paginya kami menjelaskan semuanya kepada beliau. Saya juga bersedia Papanya Elena buat datang ke sekolah. Biar semuanya lebih jelas, Pak."
"Baik, kalau begitu."
***
"Terima kasih, Pak. Sudah bersedia datang ke sekolah. Maaf sudah mengganggu waktunya."
"Tak mengapa. Kebetulan, saya sedang libur."
"Silakan duduk."
"Terima kasih."
"Sebelumnya, pihak sekolah meminta maaf atas terjadinya pembullyan terhadap anak Bapak. Elena. Namun, apa benar Nak Rey menginap di rumah Bapak hanya untuk menemani Elena? Dikarenakan istri Bapak yang sedang menjemput Bapak pulang dari luar negeri."
Pak Nino menghela nafas terlebih dahulu.
"Yah, memang seperti itu, Pak. Dan saya mempercayai anak ini."
Sambil merangkul dan mengusap peundak Reyn.
"Dia ini anak yang baik. Saya sempat curiga, namun ia sangat jujur dan bisa dipercaya. Dan lagi saya tau tentangnya bukan hanya dari anak saya saja. Melainkan, juga dari kenalan saya. Yang tidak lain, Ayahnya."
Reyn cukup terkejut mendengar pernyataan terakhir dari Papanya Elena.
"Ah, seperti itu rupanya. Berarti akar masalahnya adalah kesalah pahaman. Kami akan bertindak sesuai aturan sekolah ini. Demi tidak terulang lagi hal semacam ini. Dan buat kamu Rey, jaga keparcayaan ini baik-baik."
"Siap, Pak."
***
Reyn keluar dari ruang BK.
"Kalian disuruh masuk sama Pak Agus."
Sonia memasang wajah menahan emosi ketika dilihat oleh Reyn.
Evan merangkul Reyn dan merasa lega semua sudah selesai.
"Akhirnya, bro."
"Tapi, gue ngerasa mereka gak bakal berenti buat ngebully Elena."
"Tenang aja, setelah ini mereka gak bakal seenaknya lagi sama Elena. Lebih baik kita jenguk lagi dia. Beri dia semangat buat kembali bangkit."
***
"Kamu sudah baikan, sayang?"
"Sudah, Pah."
"Kamu, kalau ada masalah di sekolah cerita sama Papa. Jangan sama Mama aja."
Elena sedikit menghela nafas kesal.
"Iya, Papa tau. Kamu gak mau cerita karena Papa selalu sibuk sama kerjaan Papa. Tapi, setidaknya kamu bisa cerita sedikit sama Papa."
"Iya."
"Ya sudah, kalo kamu sudah merasa fit lagi. Langsung pulang aja, ya."
Elena mengangguk.
"Rey, tolong antar pulang Elena, Ya."
"Baik, Om."
"Kamu Seli, kan?"
"Saly, Om. Bukan seli."
"Ah, iya Saly. Terimakasih sudah jadi temennya Elena. Om harap kamu bisa terus jadi temannya. Elena gak gampang bergaul, soalnya."
"Tentu saja, Om. Saya bakal terus jadi temannya. Sampai kapan pun dan bagaimana pun."
"Kalau kamu?"
"Saya Evan, Om. Sobat karibnya Rey. Tenang aja, kalo dia macam-macam sama Elena, saya yang bakal ngasih dia pelajaran."
Evan merangkul Reyn dengan sangat erat sembari mengusap rambutnya secara kasar. Sehingga Reyn terlihat kesal.
"Apa-apaan, sih, lo. Pake ngejilat segala."
"Apanya yang ngejilat? Gue cuman… Awh, sakit, oy!"
Reyn menjambak Rambut Evan.
Pak Nino tertawa melihat tingkah mereka berdua.
"Eh, udah-udah. Kalian malah berantem, sih. Berenti gak?"
"Dia yang mulai, tuh."
"Lo yang jambak gue duluan."
"Iiih, kalian…"
"E-eh, ampun."
"Iya-iya kita berenti."
"Gak. Lo berdua harus keluar."
Saly menjewer kuping mereka berdua dan menyeretnya keluar ruangan.
"Maafin, mereka ya, Pah. Mereka emang gitu, tapi pada baik, kok."
"Papa tau, kok. Waktu muda Papa juga seperti mereka. Orang-orang yang seperti mereka lah, orang-orang yang baik. Gak jaim dan terbuka sama siapa pun."
Elena tersenyum mendengar perkataan Papanya.
***
"Om, saya mau tanya satu hal."
"Apa itu?"
"Om kenal Ayah dari mana?"
Pak Nino tersenyum.