Perundungan

Elena tengah berbaring tengkurap seraya terus memikirkan perkataan Reyn.

***

"Tenangin diri kamu. Kita hadapi ini sama-sama."

Reyn mengusap rambut Elena dengan lembut.

Elena melihat ke arah Reyn.

"Kenapa ini bisa terjadi padaku, terutama setelah kita jadian?"

Reyn hanya diam.

***

Elena berbalik badan jadi terlentang, memandang langit-langit kamar.

"(Bahkan, Rein gak tau jawabannya. Bagaimana dia bisa hadapi semua ini bersamaku?)"

Elena menginginkan tanggapan yang lain dari Reyn, tapi Reyn seolah tidak mengerti dengan masalah yang ia hadapi.

"(Atau dia malah tau, tapi gak bisa nemuin solusinya? Haah, sudah lah aku pusing.)"

Elena memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur.

***

Reyn masih terjaga di kamarnya. Lalu, tampak Naila membuka pintu kamarnya.

"Kak, kakak udah tidur belum?"

"Belum, Nay."

"Aku takut tidur sendiri."

"Ya sudah, sini tidur bareng kakak."

Naila terlihat sedikit ceria saat menghapiri kakaknya. Naila naik ke atas kasur dan mereka tidur saling berhadapan.

"Kak?"

"Apa, Nay?"

"Kakak kenapa?"

"Kenapa? Ada yang salah sama kakak?"

"Enggak ada. Tapi, aku merasa kakak kayak lagi sedih."

Reyn sedikit mengulas senyumannya.

"Kakak baik-baik aja, kok."

"Kakak gak bertengkar sama Kak Elena, kan?"

"Enggak, kok, Nay. Kami baik-baik aja. (Cuman, ada masalah yang cukup  serius yang kami hadapi.)"

"Syukur, deh."

Naila memasang senyum imutnya. Membuat Reyn jadi gemas dan menyubit pipi tembemnya.

"Iih, Kakak. Sakit tau."

"Halah, gitu aja sakit."

Naila berbalik jadi membelakangi Reyn, karena kesal dengan tingkah Kakaknya tersebut.

Reyn kembali terlentang dan mencoba untuk terlelap.

***

Elena melewati gerbang sekolah dan ada tiga orang kakak kelas yang menghadangnya. Elena mencoba menghindari mereka, tapi ia ditarik oleh satu dari mereka.

"Gak sopan banget sih, lo."

"Jadi gini sikap anak pindahan sama kakak kelasnya?"

"Pantesan lo dipindahin dari sekolah yang dulu."

"Maaf, kak. Bukan begitu, tapi saya lagi buru-buru mau ke kelas."

"Jam pelajaran masih lama juga, ngapain buru-buru ke kelas."

"Heh, cewek jalang. Ke mana pasangan lo? Bukannya lo lengket banget ya, sama dia."

Pertkataannya itu sangat menusuk hatinya, tapi dia mencoba untuk tetap diam.

"Kenapa gandengan tangan lo bisa lepas dari dia?"

"M-maksud kakak apa?"

"Jangan pura-pura gak ngerti, deh!"

"Apa lo sengaja mau nguji kesabaran gue?!"

Saat ini ia benar-benar membutuhkan bantuan untuk lepas dari mereka. Namun, setiap orang yang ia lihat tampak enggan untuk membantunya.

"(Rein, tolong aku!)"

Sonia mendorong pundak Elena hingga membuatnya sedikit mundur.

"Kenapa malah diem, woy?!"

"Lo itu diajak ngomong, jawab, dong!"

Tiba-tiba terdengar suara panggilan dari arah belakang Elana.

"Elena!"

Dan itu adalah Saly.

"Udah, yok. Gak asik temennya datang."

"Awas, ya! Kalo lo masih bersikap kayak gini sama kita. Abis lo!"

Mereka bertiga berlalu ketika Saly menghampiri Elena.

Elena hampir terjatuh, karena lemas. Namun, Saly berhasil menahan tubuhnya.

"Makasih, Sal. Lo datang di waktu yang tepat."

"Lo kenapa bisa sendirian? Ke mana Rey?"

"Dia lagi nganterin adiknya dulu."

Saly merasakan tubuh Elena yang gemetar dalam rangkulannya.

"Badan lo sampe gemeteran gini, ngehadepin mereka."

"Gue baru kali ini nerima bully-an dari kakak kelas. Jadi, gue takut buat ngelawan mereka."

"Ngelawan pun gak ada gunanya. Ya udah, gue bantu lo buat berjalan."

Elena berjalan sambil digandeng oleh Saly.

***

Reyn tampak berlari masuk ke dalam kelas dan langsung menghampiri Elena yang tengah dirangkul oleh Saly.

"El, kamu baik-baik aja, kan?"

Elena menatap Reyn yang tampak terengah-engah. Ia tak tahan menahan tangisnya. Alhasil, ia pun menangis dalam dekapan Reyn.

"Sudah, sudah. Lain kali aku gak bakal ninggalin kamu sendirian lagi."

"Mereka! Gak ada puasnya banget. Udah nyebar gosip gak jelas, sekarang malah ngebully Elena."

Evan terlihat Emosi.

Reyn menghapus air mata Elena dengan lembut.

"Sudah, ya. Jangan nangis lagi."

Elena sedikit mengulas senyumannya.

"Rey, lebih baik lo sebangku sama Elena, biar dia bisa nyaman kalo sama lo."

Saly beranjak dari tempat duduknya.

"Oke."

Saat Saly hendak duduk di bangku Rey, Vino tampak cengengesan.

"Jangan kege'eran lo. Gue sebangku sama lo demi Elena."

"Iya-iya, gue tau. Gak usah sewot napa."

***

Elena dan Saly tengah menuju kantin dan di perjalanan ia disenggol oleh Fitri dengan sengaja.

"Ups, sorry. Gue sengaja."

Elena terlihat kesal, tapi tidak bisa melawan.

Fitri terlihat puas melihat Reaksi Elena, dan ia berlalu meninggalkannya.

"Udah, El. Tenangin diri lo."

***

Elena hendak duduk di salah satu meja, namun ada orang lain yang mendahuluinya.

"Eits, sorry! Meja ini mau gue isi sama temen-temen gue."

"Kita cari meja yang lain aja, El."

"Daah!"

Ucap siswi tersebut sembari mengejek.

Mereka berjalan ke sudut paling ujung dari kantin. Dan saat mereka duduk, mereka dilihat oleh hampir semua orang yang ada di sana dengan tatapan tercela.

Elena mendengar perkataan salah satu dari mereka.

"Sampah emang cocoknya sama sampah juga."

Elena baru sadar ternyata mereka duduk di sebelah tong sampah. Ia pun merasa kesal dengan itu.

"Udah, El, gak pa-pa. Yang penting kita bisa makan sambil duduk."

"Kenapa sih, mereka segitu bencinya sama gue? Emangnya gue salah jadian sama Rein."

"Mereka cuma pengen buat lo emosi aja, jadi gak usah ditanggepin."

***

Elena tengah berlari untuk ujian praktik olah raga. Tiba-tiba dari belakang ada yang mendorongnya hingga terjatuh.

"Ah!"

Reyn langsung menghampirinya dan membantunya untuk berdiri.

"Ada yang luka gak?"

"Lututku sakit."

"Heh, lo sengaja ya?!"

"Apa sih, dianya aja yang ngalangin gue."

"Udah, Sal. Gue gak pa-pa, kok."

"Gak pa-pa apanya? Lutut lo sampe lecet gitu."

Datang guru olahraga untuk melerai.

"Ada apa ini? Kenapa malah ribut?"

"Ini Pak dia sengaja nabrak Elena."

"Enggak, Pak. Saya gak sengaja, tadi agak pusing kepala saya. Jadi, gak merhatiin ada orang di depan saya."

Siswi tersebut membela diri sambil berpura-pura merasa pusing.

"Cih."

Saly kesal dengan tingkahnya.

"Ya udah, lain kali kamu hati-hati."

"Iya, Pak. Maafkan saya!"

Siswi tersebut pergi.

"Rey, kamu bawa Elena ke UKS biar bisa diobatin."

"Iya, Pak."

Reyn menggandeng Elena untuk berjalan dibantu oleh Saly.

***

Reyn tengah menempelkan plester luka dengan hati-hati ke lutut Elena yang lecet.

"A-awh, Rein pelan-pelan."

"Maaf, tapi aku udah pelan-pelan, kok."

Plester tersebut sudah menempel dengan sempurna.

"Selesai."

"Makasih!"

"Sama-sama."

Reyn mengusap rambut Elena dengan gemas.

Raut wajah Elena tampak merenung cenderung sedih.

"Sampai kapan, sih, mereka seperti ini? Aku udah gak kuat, Rein. Nerima bully-an dari mereka."

"Kamu yang kuat, ya. Kalo kamu nyerah pun, mereka gak bakal berenti buat ngebully kamu. Justru kalo kamu kuat, mereka akan berpikir ulang buat ngebully kamu."

"Tapi, Rein…"

"Aku tau, kamu kesiksa. Aku juga demikian. Tapi, aku gak kebawa emosi sama apa yang mereka lakuin sama aku."

"Apa aku bisa sekuat kamu? Bisa gak peduli sama cibiran mereka? Bahkan, gak kepengaruh sama bully-an mereka."

"Kamu pasti bisa, kok. Aku yakin itu."

Elena mengulas senyuman lega, karena Reyn selalu ada untuknya.

***

"El, itu… Pak Jonri minta lo buat nemuin dia di lab bahasa. Soalnya, ada beberapa soal dari tugas lo yang harus lo perbaiki, katanya."

Elena sedikit ragu untuk pergi sendirian, tapi Reyn dan yang lainnya sedang di ruang guru. Ia pun memberanikan diri untuk pergi ke lab bahasa sendirian.

"(Gak pa-pa, deh. Ini masih jam pelajaran, mereka gak mungkin nyegat gue.) Ya udah, gue ke sana."

***

"Rey, Elena ke mana?"

"Mana gue tau, kita kan sama-sama ke ruang guru tadi."

"Tadi katanya mau ke lab bahasa, disuruh Pak Jonri."

Adit memberitahu mereka ke mana Elena pergi.

"Pak Jonri?"

"Eh, bukannya Pak Jonri tadi ada di ruang guru?"

"Tadi, siapa yang bilang kalo Elena disuruh ke lab bahasa, Dit?"

"Nina."

Nina tampak ketakutan ketika dihampiri oleh Reyn dan Evan.

"M-maafin gue, Rey. Gue disuruh dan diancam sama mereka buat bohong kalo Elena disuruh Pak Jonri buat ke lab bahasa."

Reyn sangat terkejut dengan pernyataan Nina. Reyn langsung berlari keluar ruangan.

***

"(Elena, maafin aku, aku udah lalai buat jagain kamu. Bertahanlah, aku segera ke sana.)"