Malam itu, Rain menghabiskan waktunya dengan Bara. Laki-laki yang berhasil mengambil hatinya, setelah Awan.
"Jangan liatin aku kayak gitu." Protes Fain yang diperhatikan lamat-lamat oleh Bara.
"Terus harus gimana?" Tanya Bara tanpa mengalihkan pandangannya.
"Gak usah, aku malu." Benar saja, pipi Rain kini sudah bersemu merah.
"Emangnya kamu punya malu?" Bara terkekeh melihat wajah cemberut Rain ketika Bara mengatakannya.
"Kok kamu bisa sih suka sama aku?" Tanya Rain menatap mata Bara.
"Mau denger cerita aku yang sebenernya gak?" Rain menatap Bara bingung, namun akhirnya mengangguk.
"Aku udah pernah ketemu kamu sebelum kita kenal di tinder." Rain terkejut tidak percaya, namun dari mata Bara ia tidak melihat kebohongan.
"Kamu apa? Kamu bohong kan?" Tebak Rain, namun sayangnya ia tidak melihat kebohongan itu.
"Ini beneran Rain." Jawab Bara dengan pasti.
"Tunggu dulu, dimana? Kapan?" Rain sungguh tidak percaya mendengar jawaban Bara itu.
/Flashback on/
Tahun ini adalah tahun dimana sekolah Bara mengadakan pensi sekolah, banyak siswa dari sekolah lain yang menghadiri pensi ini. Ya, bagaimana tidak? Sekolah Bara memang seterkenal itu.
Bara yang ada di tahun pertamanya di SMA ini sungguh beruntung karena diperbolehkan tampil bersama teman-temannya untuk mengisi acara.
Bara memiliki band yang terdiri dari 4 orang. Bara sebagai vocal dan gitaris, Imam yang memegang bass, Johan sebagai drummer, dan Nabil yang memegang keyboard. Nama band mereka yaitu Fanfare.
Keempatnya memang bersahabat sejak dulu, dan keberuntungan bagi mereka karena kembali dipertemukan di sekolah yang sama meski berbeda kelas.
Saat acara dimulai, dan Band Fanfare mulai menaiki panggung setelah sekian acara, penonton mulai riuh karena setelah sekian acara akhirnya mereka akan berjingkrak mengikuti irama lagu yang akan dibawakan.
Instrumen lagu mulai didengarkan, dan penonton lebih ricuh mendengarnya. Tentu saja, Fanfare akan membawakan lagu yang sedang digemari anak muda saat itu.
Dan ketika Bara mulai bernyanyi, seakan semua penonton diberi instruksi untuk ikut bernyanyi bersama Bara.
Ketika hendak menyanyikan bait kedua, mata Bara menemukannya. Gadis yang tengah bernyanyi diantara riuh penonton. Mata Bara tertuju pada wajah teduh gadis itu. Seakan mimpi, ia jatuh cinta pada pandangan pertama ia melihat gadis itu.
/one, you're like a dream come true/
/two, just wanna be with you/
/three, girl it's plain to see that you're the only one for me, and/
/four, repeat steps one through three/
/five, make you fall in love with me/
/If ever I believe my work is done/
/Then I'll start back at one/
/Flashback off/
"Loh kok kamu nangis sih?" Tanya Bara melihat Rain yang sesegukan.
"Aku kira waktu itu kamu gak liat aku, padahal kan penonton banyak banget." Tiba-tiba Bara mengangkat kedua jari telunjuknya dan ia simpan diantara kepalanya.
"Aku punya radar." Rain terkekeh mendengar jawaban ngaco Bara.
"Aku masih gak percaya kamu nemuin aku di tinder." Ujar Rain.
"Aku lebih gak percaya pas ketemuan yang dateng malah kamu, padahal aku main tinder biar move on dari kamu." Rain terkekeh.
Sungguh, takdirnya itu sangat lucu. Tapi Rain senang tentu saja. Dipertemukan dengan orang seperti Bara, hidupnya menjadi terasa sempurna.
"Yuk abisin makannya, film nya udah mau mulai." Rain mengangguk menuruti ucapan Bara.
Sementara itu Bara memperhatikan wajah Rain, menikmati ciptaan tuhan yang begitu indah dipandang nya. Bara selalu bersyukur dipertemukan dengan Rain, dengan cara apapun itu yang diberikan Tuhan.
"Udah?" Tanya Bara melihat Rain yang sudah selesai dengan kegiatannya.
Rain mengangguk, dan Bara langsung menggandeng tangan Rain membawanya ke bioskop. Ibu jari Bara mengelus pelan punggung tangan Rain yang ia genggam erat, seakan tidak ingin Rain jauh darinya.
[][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][]
"Yah cupu, masa teriak teriak nonton gitu doang." Ledek Bara mencubit hidung Rain.
"Kamu gak bilang kalau film nya serem, bikin sport jantung." Rain memukul pelan lengan Bara membuat si pemilik tangan terkekeh.
"Padahal itu gak serem." Lagi, Bara menggoda gadisnya itu.
"Buat kamu gak serem, aku kan cewek." Protes Rain tak terima.
"Di sebelah kamu, cewek, masih kecil, gak teriak tuh." Ledek Bara lagi.
"Dia tidur tau." Keduanya kemudian tertawa mengingat anak kecil tadi.
"Bisa-bisanya dia gak bangun padahal kamu teriak kenceng banget." Ujar Bara.
"Iya sih, tapi kamu liat mamanya ga sih? Aku dipelototin." Bara terbahak mendengar keluhan Rain.
"Lagian kagetan banget sih kamu." Bara mencubit pipi Rain gemas.
Padahal Rain terbiasa menonton film semacam Maze runner ataupun Hunger games, tapi efek suara bioskop selalu berhasil membuatnya terkejut.
Ketika mereka sedang asik berjalan, tiba-tiba ponsel Rain bergetar tanda ada pesan dari seseorang. Rain membukanya dan memeriksa ponselnya.
Itu dari Awan.
[Jam malam lo, hampir habis.] - Awan ☁️
"Awan?" Tanya Bara yang hanya dijawab anggukan Rain.
"Mau pulang sekarang?" Rain melihat jam tangannya sekilas, masih ada 30 menit sampai jam malamnya habis.
"Ke BreadTalk dulu yuk?" Bara mengangguk membiarkan dirinya dibawa oleh Rain ke sebuah toko roti.
Bara tau, Rain ingin membeli roti untuk Awan. Selalu begitu, tapi Bara tidak pernah mempermasalahkan itu karena ia tau Rain memberi Awan roti hanya untuk sogokan.
Rain membeli beberapa macam roti yang berbagai rasa, gadis itu sangat tau apa yang disukai sahabatnya itu.
"Yuk?" Bara tersenyum, mengacak rambut Rain membuat Rain mengeluh gemas.
"Rambut aku rusak." Mendengar keluhan Rain, Bara malah kembali melakukan itu dengan sengaja membuat Rain semakin menggeram.
"Jangan gemes-gemes, nanti aku makin geregetan." Rain terkekeh.
Bara menarik gadis itu dan merangkulnya, tangannya ia lingkarkan di bahu si gadis dan mengusapnya pelan penuh kasih sayang. Mereka berjalan ke parkiran untuk segera kembali sebelum jam malam Rain habis.
Sayangnya, keadaan tidak mendukung. Kemacetan jalan raya ibukota membuat Rain merasa gelisah. Meski dalam lubuk hatinya ia senang karena masih bisa berduaan dengan Bara.
Tangan Bara mengusap lembut lutut Rain, sambil berbincang-bincang tentang apa saja yang mereka bahas. Rain senang, sekaligus takut pada ayahnya.
Dan ketika mereka memasuki perumahan Rain, dada Rain berdegup kencang karena ia melewatkan jam malamnya. Apa yang akan dikatakan ayahnya nanti, Rain tidak siap.
Bara menghentikan motornya di depan rumah Rain, ia mengusap pelan bahu Rain untuk menenangkannya. Tentu saja Bara sadar ketakutan gadisnya itu. Bara bahkan turun dari motornya untuk meminta maaf pada ayahnya Rain.
"Tenang aja ya, aku bakal jelasin ke papa kamu." Bara menangkup wajah Rain dengan kedua tangan besarnya.
Tiba-tiba dari dalam, keluar Awan bersama ayahya Rain. Membuat Bara dan Rain terkejut, bahkan Bara segera menarik tangannya.
"P-papa?" "O-om?" Ucap Bara dan Rain bersamaan.
Roni menepuk bahu Awan dan setelah Awan mengangguk barulah Roni kembali masuk ke rumahnya tanpa menjawab Rain dan Bara.
Awan menghampiri Bara dan Rain. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Bara dengan tatapan datarnya. Bara perlahan mundur dengan tangan terkepal, bersiap menerima apa yang akan Awan berikan.
"Lo ngelewatin jam malam Rain." Ujar Awan dingin.
"Wan lo apaan sih." Rain menarik Awan agar mundur tetapi Awan menghempaskan tangan Rain dengan mudah.
"Tadi macet, banget. Gue mau jelasin sama Om Roni." Jawab Bara mencoba terdengar tidak panik.
"Gausah, lo dimaafin kali ini. Tapi inget, kesempatan lo tinggal satu." Ujar Bara lagi.
"Awan lo kenapa sih?" Kali ini Rain berhasil membuat Awan mundur.
"Aku pulang dulu ya sayang." Bara menepuk bahu Rain pelan dan segera menaiki motornya.
Semenit kemudian, Bara meninggalkan rumah Rain. Awan menatap Rain dengan tatapan yang tidak Rain mengerti. Lalu Awan kembali berjalan menuju rumahnya yang berada di depan rumah Rain.
Memang tujuan awal Awan itu untuk pulang, namun secara kebetulan ia melihat Rain dan Bara tadi.
"Aneh lo Wan." Teriak Rain yang kemudian masuk ke rumahnya.
Saat masuk ke ruang tv, Rain melihat ayahnya yang sedang duduk sambil menonton tv dan ibunya yang sedang mencuci piring di dapur.
Rain tentu masih takut kedua orangtuanya akan memarahinya, tapi anehnya kedua orangtuanya terlihat biasa saja yang malah membuat Rain semakin takut.
"Ayah, maaf Rain telat pulang tadi..."
"Sudahlah nak, Awan sudah menjelaskan semuanya. Lebih baik kamu masuk ke kamar dan segera istirahat." Rain terkejut mendengar jawaban ayahnya itu.
Meski begitu, Rain tetap menuruti ucapan ayahnya.
'Thanks Awan.' Batin Rain menghela nafas lega.
Namun setelah ia masuk ke kamarnya, ia malah merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia kemudian membuka ponselnya untuk mengirim pesan pada Awan.
[Lo bilang apa sama papa?] - Rain 🌧️
[Sama-sama] - Awan ☁️
[Gue serius Wan] - Rain 🌧️
[Sama-sama Rain] - Awan ☁️
[Astaga!!!! Yaudah iya makasihhhh Awaaannnn] - Rain 🌧️
[😔] - Awan ☁️
[Sekarang jawab gue, lo bilang apa sama papa?] - Rain 🌧️
[Bulannya cantik.] - Awan ☁️
[Jangan mengalihkan pembicaraan, Wan!] - Rain 🌧️
[Coba lo liat keluar, cantik banget.] - Awan ☁️
"Astaga ini anak." Kesal Rain namun entah mengapa ia malah berjalan ke jendela kamarnya dan seketika ia melihat Awan yang kini sedang menatapnya juga dari jendela kamarnya.
Sedetik, Dua detik, Awan memutus kontak matanya dan mengalihkan pandangannya ke atas langit. Rain mengikuti arah pandang Awan.
Benar saja, bulan malam itu terlihat sangat cantik. Kenapa juga Rain tidak melihatnya dari awal, padahal dia ingin menikmati pemandangan indah ini bersama Bara.
Namun itu tak membuat Rain tidak melakukan itu, Rain segera mengambil ponselnya dan memotret bulan lalu segara ia kirimkan pada kontak Bara.
[Cantik banget kan???] - Rain 🌧️
[Cantikan kamu] Bara 🔥
Hanya dua kalimat yang ia baca, namun berhasil membuat pipinya bersemu merah, dadanya terasa berdegup kencang, senyum mengembang di wajah Rain.
Rain sangat senang, sangat. Sangat berbeda dengan orang di depannya.
Tanpa ia sadari, sepasang mata itu menatapnya sedih. Meski dari jauh, ia tau betul apa yang Rain lakukan hingga Rain tersenyum seperti itu.
'That should be me'