Sembilan Belas

"Begitukah?".

Duduk dikursinya menyesap kopinya Pak Steven memandang menunggu jawabanku .

"Bukan begitu maksud saya Pak, tolong berikan saya waktu lebih untuk mengerjakan semua tugas yang Bapak berikan. Saya hanya seorang diri melakukannya Pak".

Jelasku sambil menatapnya memohon.

Pak Steven mengalihkan pandangannya kearah ponsel, seakan-akan tidak mendengar ucapanku.

"Pak, tolong beri saya sedikit lagi perpanjangan waktu". pintaku sekali lagi dengan nada lembut dan sopan. Walaupun dalam hatiku sudah mengutuknya berkali-kali.

"Lakukan sesuai perintah saya. Dan kerjakan semaksimal mungkin, saya paling tidak suka kalau ucapan dan perintah saya dibantah". Ucapnya tegas membuatku langsung terdiam.

"Silahkan keluar Nona Davina".

Usirnya membuatku mau tak mau langsung keluar ruangan.

Aku melirik jam tangan ternyata sudah pukul tiga dini hari, tentu saja kantor sudah sangat sepi, di jam segini sudah pasti semua orang telah pulang, tidur pulas dirumahnya masing-masing dan begitu juga dengan Pak Steven ,dirinya sendiri sudah pulang sejak pukul empat sore tadi. Ruangan Pak Steven sangat gelap karena memang lampunya telah dimatikan sedari tadi.

Aku melihat kearah tumpukan map dan belum ada satupun pekerjaanku yang selesai.

Aku menghela nafas frustasi tanpa sadar aku menangis ingin menyerah dengan semua keadaan.

Hampir tiga puluh menit aku menangis mengeluarkan semua beban yang kutanggung, aku sudah terlalu lelah sehingga tidak ada tenaga untuk melanjutkan pekerjaanku kembali.

Mungkin karena terlalu lama menangis membuat kepalaku sangat sakit, kepalaku seperti ditusuk-tusuk.

Arggghhhhhh....

Aku menjambak rambutku berharap mengurangi rasa sakitnya.

Rasa panikku menjadi-jadi tatkala hidungku mengeluarkan darah

'Astaga, aku mimisan'

Pekikku panik saat darah itu mengenai beberapa berkas kerja ku.

'Ya ampun, bodohnya aku, Pak Steven pasti akan lebih marah melihat kelakuanku'.

Aku berjalan cepat setengah berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan hidungku.

Hampir sepuluh menit, aku keluar dari kamar mandi dan rasa sakit di kepalaku semakin menjadi-jadi serta mimisanku yang tak kunjung berhenti. Dan karena tak terlalu berhati-hati aku menyenggol kursi kerjaku sendiri, membuat badanku kehilangan keseimbangan,

Brukk.....

Aku tergeletak dilantai setelah kepalaku membentur sudut meja kerjaku.

Kuraba pelipisku terasa basah dan amis.

Benar pelipisku terluka hinnga mengeluarkan darah.

'Kenapa hari ini aku sial sekali ?'

Kuambil ponselku kasar.

Menghubungi nomor Bapak Steven karena kebetulan nomor itu yang berada di daftar panggilan terakhir.

Sampai lima kali aku memanggilnya, namun hasilnya nihil.

Aku menelepon Sedil, ponselnya tidak aktif, lalu ke Daniel dan Robby, hasilnya sama saja mereka tidak ada yang mengangkat panggilanku. Sepertinya mereka sudah tetidur pulas.

Aku menangis semakin panik saat darah dari pelipisku sudah menyebar kelantai.

"Please, gue nggak mau mati sekarang".

aku mengambil beberapa helai tissue mengulungnya asal dan kudekatkan kearah pelipis ku memekan tepat pada lukanya untuk mengurangi pendarahan dan sesekali kuarahkan kehidung ku yang juga tengah mimisan.

Terpogoh-pogoh, aku berjalan memasuki lift menuju lantai bawah, aku semakin gemetaran saat melihat dengan jelas tanganku dipenuhi darah, seluruh badanku lemas tulang-tulangku seakan-akan ingin terlepas karena sakitnya.

Aku memesan taxi online, tak butuh waktu lama hingga akhirnya taxi itu datang menghampiriku dan membawaku ke rumah

praktek yang kebetulan kenalan si Bapak supir Taxi ini.

Saat mataku terbuka yang pertama kali kulihat adalah Dokter pemilik praktek ini.

"Halo Nona, bagaimana keadanmu?".

Aku memegang kepalaku yang diperban, rasanya sakit sekali.

"Jangan banyak bergerak, minumlah sedikit". Si Dokter itu menyodorkan segelas air putih lengkap dengan sedotannya.

"Sudah jam berapa sekarang Dok?".

"Pukul tujuh pagi"

"Benarkah? Aku harus segera kekantor sekarang".

Si Dokter itu menahan pegerakan tanganku.

"Ada apa Dok?".

"Kamu sudah tertidur dua malam disini".

"Hah".

Si Dokter itu mengangguk

"Benar, kemarin kamu kehilangan lumayan banyak darah, luka di pelipismu juga lumayan dalam. Dan mungkin saja karena terlalu sakit membuatmu tidak sadar sampai dua malam".

Aku bengong, tak percaya.

"Saya serius dengan perkataan saya". Dokter itu kembali meyakinkanku, aku tertawa antara bingung dan tidak percaya dengan ucapannya.

"Apakah ada teman sekantor atau Boss saya yang datang ketempat ini Dok? ".

Dokter itu menggeleng.

"Istrahatlah, sebentar lagi sarapanmu akan datang".

"Dok". Panggilku saat Dokter itu ingin meninggalkanku.

"Apakah sore ini saya sudah diperbolehkan pulang?".

Si Dokter itu menggeleng.

"Ada baiknya kamu keluar tiga atau empat hari lagi, supaya saya bisa memastikan luka kamu mengering".

"Tapi saya tidak punya saudara ataupun seseorang untuk membawa baju ganti dan perlengkapan saya Dok. Saya mohon Dok ijinkan saja pulang sore ini ".

"Tenang saja. Saya punya beberapa pasang baju tidur disana". aku mengikut arah telunjuknya yang menunjuk laci kecil samping tempat ku tidur.

"Pakailah".

Ucap Si Dokter lalu pergi meninggalkanku, sepeninggalnya aku membuka laci itu dan benar saja ada beberapa pasang baju tidur disana lengkap dengan dalamnnya yang masih baru. Baik sekali Dokter itu.

Dan tidak berapa lama sarapanku datang. Aku memakannya kemudian membersihkan tubuhku sebisaku dan melanjutkan tidurku, saat akan menutup mata aku teringat sesuatu.

aku melirik meja kecil disampingku, mengambil ponselku.

Dan betapa terkejutnya aku melihat ratusan panggilan tak terjawab. Dari Sesil, Robby, Daniel, teman sekantorku yang lain bahkan Bapak Adi juga meneleponku. Orang tuaku dikampung. Dan yang paling banyak dari Pak Steven.

Drttt...drtttt..drrtttt..

Ponsel yang kugenggam bergetar, ada panggilan dari Pak Steven. Aku tidak berniat mengangkatnya, sudah pasti dia akan marah-marah kepadaku dan aku yakin jika nanti aku kembali kekantor Pak Steven pasti akan langsung memecatku.

Panggilan itu terhenti, dan tepat saat itu juga tiba-tiba masuk notifikasi grup Chat. Aku membukanya, membacanya satu persatu.

Hampir dua jam lebih aku menghabiskan waktu untuk membaca isi grup chat perusahaan, berlanjut dengan membaca isi grup chatku dengan teman-teman dekatku dikantor dan grup chat lainnya.

Dan kusimpulkan dari semua isi chat itu bahwa mereka berasumsi aku dicelakai penjahat karena banyak darah di meja kerjaku di temukan pada pagi hari itu. Tidak hanya itu bahkan ada diantara mereka yang menyimpulkan aku membunuh diriku sendiri lantaran depresi dengan pekerjaanku yang menggunung setiap harinya.

Aku menghela nafas kesal, bahkan tidak pernah ada terlintas sedetik

pun dipikiranku untuk bunuh diri.

Drrttttt...drrrtt.....

"Halo" aku mengangkat begitu ada panggilan masuk dari Ibu.

"Davina, astaga ini kamukan Nak?".

"Ya bu, ini Vina anak Ibu".

hikss..hiks....hikss

Ibuku tidak menjawab tapi jelas sekali terdengar isakan tangisnya disana.

"Maafkan Ibu"

"Halo , Ibu, jangan begitu, Vina baik-baik saja kok, Ibu dan Ayah jangan khawatir". Ucapku meyakinkan Ibuku yang khawatir disana..

"Cerita sama Ibu, apa yang terjadi Vina".

Aku menceritakan semuanya, awal kejadiannya hingga akhirnya aku berakhir di sini, di rumah Praktek seorang Dokter.

"Tapi Ibu jangan bilang kepada siapapun ya Bu,

supaya Vina sendiri nantinya yang akan menjelaskan kepada mereka semua, Vina takut kalau nantinya mereka salah paham". Pintaku kepada Ibu.

"Ibu pasti melakukan yang terbaik untukmu Vina. Tenang saja Ibu tidak akan memberitahukan kepada teman-temanmu. Kemungkinan lusa Ibu akan menjenguk kamu Vina".

"Ibu, disini Vina baik-baik saja jangan khawatir dengan Vina,dan Ibu juga sudah tua, akan sangat lelah kalau Ibu datang menjumpai Vina. Supaya Ibu percaya nanti Vina akan melakukan panggilan video dengan Ibu".

Setelah berhasil meyakinkan Ibu kalau aku merasa baik-baik saja , aku baru bisa memutup telepon dengan lega.

Kumatikan ponselku lalu kembali melajutkan isirahatku yang tertunda.

Hari ini tepat dua hari setelah aku sadar . Dan dengan segala rayuan yang kuberikan untuk Dokter Rika, Dokter yang sangat baik hati yang telah membantu dan merawatku. Aku berhasil meyakinkannya hingga akhirnya aku diperbolehkan pulang besok pagi.

"Terimakasih banyak Dokter, saya pamit pulang".

"Hati-hati dijalan Vina, jangan lupa dua hari lagi kamu harus datang kembali, untuk melihat keadaan luka kamu, dan jangan lupa istirahatlah dengan teratur".

"Baik Dokter, Terimakasih sekali lagi".

Aku berjalan keluar dari Rumah Praktek Dokter Rika. Berjalan menuju Kost ku.

Hari ini aku berencana kekantor, untuk meminta maaf kepada Bapak Steven walakupun nanti akhirnya aku yang akan dipecat, tidak apa-apa setidaknya aku sudah berusaha menjelaskannya.

"Kak Vina, astaga Kaka dari mana aja?" Suara Winda Resepsionis yang kemarin uangnya kupinjam berteriak heboh. Memelukku kencang membuatku susah bernafas.

"Satu kantor heboh karena karena Kakak tiba-tiba menghilang, kita semua panik dengan keadaan dan keberadaan Ka Vina. Sebenarnya Ka Vina dari mana?".