"Dari Mars". Jawabku sambil tersenyum.
Winda melepaskan pelukannya menatapku kesal. Winda mengambil ponselnya, lalu mendekatkan pipinya hingga pipi kami bersentuhan.
Cekrek...
"Thanks Ka Vina, karena ini adalah kabar yang cukup gembira, aku akan membagikan foto kita berdua di grup perusahaan, maafkan aku Ka, memgambil fotomu sembarangan". Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu apakah aku sudah bisa melanjutkan perjalananku kembali kemeja kerjaku Winda?"
Winda mengangguk aku berjalan menjauh darinya,
"Semangat Ka Davina".
Aku berbalik mendapati Winda tengah tersenyum melambaikan tangannya kearahku.
Tok.....tok....tok...
"Masuk".
Aku menghela nafas cepat menghembuskan kasar, mengumpulkan keberanian dari dalam diriku. Membuka handel pintu milik Pak Steven.
Disaat aku telah masuk ruangan, jelas sekali Pak Steven tengah melihatku dengan tatapan intens seakan-akan menunggu kedatanganku.
Berjalan dan berhenti ketika aku tepat di depan meja kerja Pak Steven,
"Selamat Pagi Pak". sapaku sopan .
Pak Steven hanya diam, memperhatikan perban yang berada dikeningku, membuatku menjadi salah tingkah ditatap seperti itu.
"Maafkan atas kelalaian saya Pak, hingga saya tidak bisa menyelesaikan tanggung jawab saya, sesuai batas waktu yang Bapak berikan".
aku menunduk sekali lagi, mengalihkan tatapanku entah kemana saja supaya kami tidak saling bertatapan. Tanganku berkeringat jantungku berdebar tidak karuan.
"Maafkan juga selama ini cara kerja saya yang tidak profesional dan tidak sesuai dengan kriteria Bapak. Sekali lagi saya minta maaf yang sedalam-dalamnya atas kesalahan saya Pak".
"Lihat saya jika kamu sedang berbicara dengan saya". Ucapnya tegas.
Aku mengangkat kepalaku pelan, Pak Steven ternyata masih tetap menatapku tajam,
"Lanjutkan". Perintahnya membuatku semakin jantungan.
"Lanjutkan Davina".ulangnya.
Mataku memanas, melihat dirinya yang begitu angkuh saat melihatku, sepertinya pilihanku tepat, akan lebih baik jika aku berhenti bekerja di perusahan ini.
"Maaf Pak, saya ingin mengundurkan diri". Aku meletakkan dengan pelan amplop putih yang sedari tadi telah kubawa di tanganku.
"Sekali lagi saya meminta maaaf Pak. Selamat Pagi , saya permisi".
Begitu aku berbalik, air mataku jatuh. Kuhembuskan nafasku berharap pilihanku tidak salah.
"Davina". Saat tanganku sudah mencapai handel pintu terdengar suara Pak Steven memanggilku.
Kuhapus air mataku kasar lalu berbalik menghadapnya lalu tersenyum.
"Ada apa Pak?"
"Kemarilah".
Aku berjalan kearahnya dengan tanganku yang saling bertautan, aku semakin gugup saat kembali berada dihadapannya
.
"Duduk". perintahnya sambil memberikan kode dengan matanya.
Aku menurut, duduk tepat di kursi yang berada di hadapannya.
"Ini, saya tidak menerimanya". Dia menggeser amplop pengunduran itu kembali kehadapanku, aku menatapnya tak percaya.
Gantinya dia menyodorkan amplop cokelat tepat dihadapanku.
"Ini, gaji kamu yang kemarin, yang sempat saya tahan. Didalamnya telah ada uang lembur kamu dan juga bonus atas kerja kerasmu".
Aku melongo tidak percaya dengan kalimat Pak Steven. Aku melihat amplop cokelat itu sekilas dan menatap Pak Steven menungggu penjelasannya.
"Oh ia dan juga biaya perawatan luka kamu juga ada didalamnya".
Aku diam bingung harus bereaksi seperti apa.
"Bapak tidak memarahi saya?".
tanyaku seperti orang bodoh.
"Kenapa saya harus memarahi kamu?".
Aku hanya tersenyum menggeleng.
"Sekali lagi saya tegaskan, saya menolak surat pengunduran diri kamu".
Aku hanya diam menunggu Pak Steven selesai berbicara.
"Tidak ada yang ingin kamu sampaikan kepada saya?".
Aku menggeleng, menghela nafas menetralkan detak jantungku yang tidak beraturan. Sungguh aku takut dengan sikapnya yang lembut seperti ini. Pak Steven yang kukenal orangnya dingin dan sangat ketus saat berbicara dan jangan lupakan dia paling membenci jika ucapannya dibantah.
"Davina,".
"Eh ia Pak".
"Tidak ada yang ingin kamu sampaikan kepada saya?".
Aku menggeleng.
"Tidak Pak"
"Kalau begitu biarkan saya yang bertanya kepada kamu. Apa yang terjadi di malam itu"
"Maaf Pak semuanya terjadi karena kecerobohan saya". Jawabku cepat.
Pak Steven diam, seperti menunggu lanjutan ucapanku.
"Maafkan atas kecerobohan saya Pak". ulangku
"Ceritakan kepada saya apa yang terjadi malam itu,".
Jujur aku merasa malu menceritakan kejadian yang sebenarnya, apalagi Pak Steven bukan temenku dia adalah atasanku.
"Hanya ada kita berdua yang berada diruangan ini, jadi tidak perlu malu".
Aku mengangguk paham ucapannya, menghela nafas pelan mengumpulkan keberanianku.
"Saat itu kepala saya sakit sekali, rasanya seperti ditusuk-tusuk oleh benda yang tajam dan tanpa saya sadari hidung saya mengeluarkan darah. Awalnya saya tidak sadar saya mimisan, tapi saat tetesan darah itu jatuh tepat di atas kertas laporan yang tengah saya kerjakan, barulah saya merasa panik. Dengan cepat saya berlari ketoilet membersihkan noda darah yang berada dihidung saya. Rupanya saat keluar dari kamar mandi mimisan itu belum juga berhenti, karena terlalu tergesa-gesa berjalan kearah meja kerja, untuk mengambil tisssu didalam tas saya terjatuh. Terlalu ceroboh kaki saya tersandung , membuat pelipis saya terantuk kepinggiran meja hinnga kepala saya mengeluar darah"
ucapku sambil menyentuh pelipisku.
"Saya sudah mencoba menghubungi semua nomor yang ada di ponsel saya, tapi tidak berhasil, sepertinya semua orang sudah tidur. Kemudian saya terpikir untuk meminta bantuan dari taxi online dan akhirnya si Bapak taxi itu yang membantu saya, beliau membawa saya ketempat praktek Dokter". Jelasku.
"Jadi si supir taxi itu membantumu maksudku dia yang menjemputmu dari meja kerjamu?".
Aku menggeleng,
"Tentu saja supir taxinya menunggu di bawah Pak, saya sendiri yang jalan dan menemuinya dibawah" Jelasku.
Pak Steven diam, menatapku penuh arti.
"Jadi bagaimana perasaanmu sekarang?".
"Sudah semakin membaik Pak, walaupun masih terasa pusing.". Pak Steven mengangguk.
"Kalau begitu saya berikan kamu waktu untuk beristirahat, seminggu terhitung dari hari ini".
"Hah". Aku melongo tidak percaya.
"Pulanglah dan kembali minggu depan bekerja kekantor".
"Tiga hari saja Pak."
"Ikuti perintah saya, kamu tau kalau saya paling benci dibantah, dan kamu boleh pulang sekarang.".
"Baik Pak, terimakasih". aku bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan Pak Steven.
Sepanjang perjalanan pulang aku masih memikirkan perubahan sifat Bapak Steven. Seperti ada yang aneh dengannya, mengapa Bapak Steven begitu baik, memberikanku uang bonus dan membiarkanku beristirahat selama seminggu?
Langkahku terhenti saat melihat sebuah warung makan. Aku mampir memesan makanan untuk kubawa pulang. Karena aku belum makan sejak pagi tadi.
Aku memegang bungkusan itu dan kembali melanjutkan perjalananku.
tinnnnn... tinnnnnn.
Memalingkan tatapanku mencari sumber suara klakson, keningku berkerut saat melihat siapa pelakunya, dan Pak Stevenlah pelakunya dan kini mobil itu kini tengah berada tepat di hadapanku.
"Masuk, saya antar kamu pulang".
'Ada apa dengan Bapak Steven' . ujarku dalam hati, menatapnya ngeri.
"Saya kebetulan ada keperluan dan tidak sengaja melihatmu. Masuk".
Ucapnya seakan-akan menjawab pertanyaan yang ada di benakku,
"Davina , masuk". Aku mengangguk lalu masuk kedalam mobilnya.
"Itu apa?" tanyanya sambil menunjuk bungkusan yang kupegang.
"Makan siang saya Pak".
Pak Steven mengangguk lalu mengemudikan mobilnya.
Kami hanya terdiam saat terjebak dikemacetan hingga suara Pak Steven memecahkan keheningan.
"Vina, kamu sudah bisa menyetir?".
"Belum Pak, saya belum ada waktu untuk belajar menyetir".
"Bagaimana kalau kamu belajar setelah kamu benar-benar sehat?".
"Boleh Pak. saya akan langsung mempelajarinya begitu saya sudah pulih".
Pak Steven kembali mengangguk.
"Baiklah, kabari saya jika kamu sudah pulih".
"Terimakasih banyak Pak, saya sendiri yang akan mencari seseorang yang bisa mengajari sayamenyetir, Bapak tidak perlu repot-repot mencarikan saya... "
"Saya yang akan mengajari kamu".
"Hah"..Aku menap Pak Steven horor
..
'Ada apa dengannya?'