Ketika langit mulai membiru

Aku selalu bertanya-tanya, bagaimana jadinya jika aku tidak pernah jatuh di persimpangan jalan. tempat kau setiap hari berlalu lalang waktu itu? Mungkinkah ada yang berbeda? Apakah pertemuan memang selalu terasa sesakit ini? Ataukah rasanya karena itu adalah kamu?

***

Diam-diam dari balik sudut jendela, Rara mengangumi warna matahari yang mulai terbenam di sepanjang jalan persawahan yang kini dilewatinya. Inikah yang disebuat-sebut senja? fenomena yang selalu manusia agung-agungkan?

Kedua bola mata gadis itu kini menangkap fatamorgana kemerahan yang memantul pada deretan tanaman padi merunduk berwarna keemasan yang sedang berbaris dengan rapinya untuk menunggu di panen pada sepanjang hamparan dataran luas permukaan bumi.

Rara pun menatap calon beras tersebut dengan tatapan sendu 'Setelah menyaksikannya secara langsung aku baru mengerti kenapa senja sepopuler ini. Lihatlah! Bukankah begitu berkilauan?' Sambil memaksakan senyumnya ia terus saja membayangkan kalimat yang menurutnya aestetic itu di dalam kepalanya, siapa tahu ia bisa lebih relaxe lagi.

Namun ternyata tidak semudah itu, buktinya sekarang rasanya malah tambah deg-degan. Semakin dekat jaraknya semakin kencang juga detak jantungnya. Padahal kalau di pikir-pikir ia hanya sedang melakukan perjalanan yang pada umumnya sering orang Indonesia lakukan. Yaitu pulang kampung.

Tapi sudahlah. Mungkin menyerah adalah jalan yang paling tepat sekarang. lihat saja, ekspresinya sudah berubah dalam sekejap mata. Didukung dengan tatapan kosong dan raut wajah yang begitu frustasi ia hanya bisa menghela nafas lebih berat lagi sembari berpikir.

'normalnya sih seharusnya gue berdialog kayak gitu,'kan ya?' Kalimat yang menurutnya aestetic barusan maksudnya.

'at least perasaan gue terhanyut gitu kek minimal.. or feel some romatic thing gitu?' Herannya.

'But it doesn't work!' Kalian semua tahu kenapa??

'Karena gue lagi nggak dalam mood yang bisa nge-ekspresiin kekaguman gue ke semesta sekarang! Freak banget muka lo Ra sumpah, kenapa jadi kaku banget gini sih?!!' Batinnya sembari memukul pelan salah satu pipinya entah biar apa.

Setelah itu sekarang dia malah bergerak-gerak tidak jelas, hatinya gelisah sekali. Ingin menangis tapi malu, ingin bersikap biasa tapi tidak bisa. Entahlah, Rara serba salah. Bahkan senja sekalipun tidak mampu menenangkannya

Berkali-kali ia mencoba mengolah ritme pernafasan, tapi tetap saja jantungnya berdisco tidak karuan. Ingin rasanya ia berteriak saking frustasinya. Suasananya tenang padahal, tapi gadis itu terus saja merasa tidak karuan hanya karena sebatas perihal perjalanan Jakarta-Yogya.

'Mungkin kalian nggak akan ngerti, pokonya kalo di jelasin tuh.. Ibarat gue lagi di acara kondangan yang orkestnya music ballad, tapi gue jogetnya dangdut.' Se-nggak nyambung itu diri gue sama pemandangan di luar.

"Nggak gini kan suasana senja pada umumnya? Tell me that is correct please" Rara mengantuk-ngantukkan kepalanya pada jendela kereta. 'Mati lah kau! Mati kau, mati, mati, udah nggak waras kau!' Kutuknya.

'Okay.. okay.. okay..' "Calm Ra.. Kalem!" Gumamnya yang ke 10 kali sembari menarik nafas dalam-dalam hingga kedua bahunya terlihat naik turun. Tapi sugestinya hanya bertahan beberapa detik saja. karena siapa pun tahu bahwa kenyataannya sangat tidak mudah meredam sebuah kegelisahan bukan? Begitu juga dengan Rara

Ia kini merancau sendiri tidak jelas, bertanya sendiri, menjawab sendiri, menenagkan sendiri, menyalahkan diri sendiri, dan begitu seterusnya.

kemudian di tengah-tengah kesibukannya pada diri sendiri, tiba-tiba ia merasakan sesuatu sehingga ia menghentikan gumamannya. Rasanya udara di sekitarnya menjadi lebih dingin dari pada sebelumnya. Aneh sekali. Mungkin perasaan inikah yang selalu anak indigo rasakan? Seolah ada sesuatu yang tidak terlihat sedang mengawasi setiap pergerakannya.

Tapi tenang saja yorobun(1), karena dalam kasus Rara untungnya tidak se-horror itu. Ia hanya merasa ada yang memperhatikannya sedari tadi. Lalu ia pun memberanikan diri untuk menoleh ke sumber suhu dingin yang menyergapnya sedari tadi.

'And shit!' Secara otomatis Rara tersenyum garing hingga menampakkan deretan gigi depannya setelah ia menoleh ke sebelah kirinya.

"Hehe" Cengirnya kikuk. Segera ia membuang wajah secepat kilat dari tatapan perempuan yang ternyata dari tadi sudah memandanginya keheranan.

Rara membeku selagi menyembunyikan wajah menggunakan rambut panjangnya cukup lama, sambil dalam hati berdoa semoga waktu membantunya mencairkan atmosfer di sekeliling mereka, tak lupa ia mencuri-curi pandang ke wanita di sebelahnya itu. Seolah jelas sekali Rara melihat sebuah pertanyaan 'Ni anak SAKIT??' di jidat mbak yang duduk disampingnya itu. Sehingga Rara mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

Tapi untungnya sekarang dia sudah tidak memperhatikan lagi. Rara pun menghembuskan nafas lega seolah-olah itu adalah nafas pertamanya di dunia ini. Tidak habis piker dengan dirinya.

'Plis lo malu-maluin banget Ra Sumpah. Gue nggak kenal sama lo.. nggak kenal pokoknya.' Pengen jadi asap aja sekarang!

***

"Pi, gue udah capek banget ini loh, interogasinya besok aja, oke?" Keluh Rara, membuat Pia cemberut.

"Iya deh.. Iya. Terserah KANJENG Rara aja!" Judes Pia sembari menyodorkan koper berukuran big size hitam kepada Rara.

"Nih, lo taro di pojokan" Ujarnya, menunjuk ke arah sudut kasur dan Rara pun mengangguk selagi menerima koper miliknya itu.

Setibanya ia di dalam kamar segera Rara membongkar isi koper dan menata segala barang bawaannya ke dalam lemari dan juga di atas meja rias yang bisa ia gunakan sesuai apa yang sudah Pia jelaskan sedari perjalanan dari stasiun tadi.

Setelah capek mengawasi temannya dari depan pintu kemudian Pia ikut masuk juga ke dalam kamar, ia duduk di atas ranjang yang entah sedari kapan sudah rapi sembari memandangi Rara dengan tatapan sinis dengan begitu intens. Namun karena Rara masih sibuk sendiri, jadi tanpa berkata apa-apa Pia pun segera bangkit dari ranjang bermaksud meninggalkan temannya yang masih beres-beres itu.

"Take your time" Ujarnya sembari berjalan meninggalkan Rara

"Thanks Pi" Balas Rara. Pia menghentikan langkah dan berbalik badan lagi walaupun masih dengan wajah yang ditekuk.

"Emang gue mah orangnya baik. Emang gue yang terlalu baik. Jadi gue maapin!" Judes Pia. Rara tertawa

"Masih keliatan banget kali nggak ikhlasnya" Ledeknya.

Merasa sindiran temannya itu benar, jadinya Pia tidak membantah dia memutuskan berbalik badan lagi

"Kalo butuh apa-apa bilang aja" Ujarnya, disusul suara pintu yang menutup.

"SIAP MADAM! hehe"

***

'Capek banget..'

Rara merubuhkan diri di atas ranjang setelah selesai membersihkan diri. Baru sadar ternyata kasur senyaman ini ya? Setelah ia merasakan semalaman tidur dengan posisi duduk di kereta kelas ekonomi. 'Untungnya fasilitas untuk perjalanan kereta sekarang sudah lebih baik dari pada dulu, dan pastinya juga sangat bersih, sehingga walaupun hanya kelas ekonomi tetap lumayan nyaman lah'

Berbicara soal kereta, tiba-tiba ia mengingat perjalanannya kemarin, menertawakan kebodohannya sendiri sembari mengerang setiap kali menggeser sedikit badannya yang pegal-pegal. Pulang kampong kali ini, setelah sekian lama membuatnya terlintas sedikit akan masa lalunya, sehingga ia membandingkan dirinya yang dulu dengan dirinya yang sekarang.

'Ra, lo selama ini kurang bersyukur sih jadi anak. Mulai sekarang harus lebih banyak bersyukur lagi. Janji sama diri lo sendiri, oke?' Batinnya sembari menjulurkan kelingking kanannya dan disambut dengan kelingking kirinya guna mengikat janji dadakan yang ia buat dengan dirinya sendiri.

Kini setelah semuanya berlalu, Rara baru menyadari. Bahwa banyak sekali hal-hal dari dirinya yang sudah membaik. Tentang bagaimana ia memandang dunia, tentang apa yang harus ia lindungi mulai sekarang. Dan masih banyak lagi tentunya,

Ya meskipun tidak semuanya berubah menjadi lebih baik dan meskipun tidak semua yang telah menjadi baik adalah yang terbaik. Akan tetapi dari semua hal itu, Rara merasakan perubahan positif pada dirinya lebih banyak dibandingkan dengan apa yang tidak bisa berubah. Belum.

Sambil berpikir, pandangannya menerawang pada langit-langit kamar lamanya itu. Seketika lagi-lagi ia merasakan kelanjutan dari kegelisahan kemarin, mengingat dimana dia sedang berada sekarang. Di kota tujuannya. Jogja

Kamar yang tidak asing, kota yang tidak bisa dia lupa. Sehingga Rara memegang dadanya. Memeriksa degup yang hebohnya melebihi bedug takbiran keliling. 'Rame sekali ya suara organ dalem gue?' Ia pun memejamkan kedua mata guna merasakan setiap ritme nyanyian jantungnya yang terasa di kedua telapak tangannya

"Naye simjang"(2) Gumam Rara.

"AAAaaa!!!" Karena tidak bisa tenang, ia pun mengacak-acak rambut dan menendang-nendangkan kakinya ke udara dengan tidak jelas. Sepertinya dia belum siap untuk menghadapi hari esok untuk menemukan sesuatu yang selalu dia cari dan dia nantikan selama ini.

"Tau ah!"

***

"Pi, gue keluar dulu ya, piring udah gue cuci kok!" Teriak Rara dari dekat pintu rumah selagi membungkuk mancari-cari sandal di tumpukan rak sepatu. 'Dimana deh?'

"Ra... Bwalwik jwam bwerwapwa?"

"HA?" Tanya Rara, sambil masih mencari sepatunya,

"Lo ngomong apaan dah?" Tanyanya serius hingga keningnya berkerut, mencoba lebih fokus dengan apa yang dikatakan Pia.

"Bwal-wik-nga Jwaaam..??" Ulang Pia berusaha menjelaskan sejelas mungkin dengan menambahkan spasi di setiap kata dalam ucapannya. berharap kali ini Rara mengerti. Tapi bukannya mengerti, jidat Rara malah tambah mengerut

"Apaan sih? Sumpah nggak jelas banget lo ngomong apaan" Teriak Rara geleng-geleng kepala.

"LWO BWALIK JWAM BWE.. OHOK HOK HOK!" Pia tersedak busa yang mengumpul di dalam mulut hingga ia batuk-batuk bahkan mengeluarkan suara seperti orang yang mau muntah

"Ketemu" Senyum Rara. Karena suara dari dalam kamar mandi tidak terlalu terdengar ia pun kembali memastikan

"Lo kenapa Pi?!" Tanya Rara memastikan sambil memakai sepatu.

Tapi karena tidak mendengar jawaban dari orang yang sepertinya sedang menggosok gigi itu, alias Pia, Rara pun mengangkat serentak bahu dan alisnya. Tampaknya ia menyerah untuk berkomunikasi lebih jauh lagi.

"Au deh!" Gumamnya. Rara pun memutuskan untuk segera keluar saja dari pada menunggu 'wejengan'(3) dari Pia.

"Gue pergi!" Teriaknya. Lalu terdengarlah suara pintu yang tertutup.

Selagi matanya memerah Pia memuntahkan semua busa-busa dari dalam rongga mulut dan tenggorokannya, tak lupa berkumur secepat kilat tanpa mendengar suara pintu yang tertutup barusan.

"LO BALIK JAM BERAPA JAMET?! Teriak Pia lantang dari dalam kamar mandi.

"Ra?" Pia memastikan kembali karena merasa tidak ada jawaban. Tapi karena beberapa kali ia memanggil tetap tidak disahuti, akhirnya ia pun membuka sedikit pintu kamar mandi dan hanya kepalanya saja yang menongol mencari-cari sosok Rara.

"Isss… RARA?!!" Panggil Pia kesal. Tapi sayangnya Rara sudah keluar beberapa menit yang lalu saat dia sedang membersihkan sisa busa yang membuatnya tersedak di dalam mulutnya. Pia pun mendecih.

"Mana sempat? Keburu minggat! Emang anak setan. Cepet banget ilangnya jin iprit" Oceh Pia entah kepada siapa.

DRAKK! dan pintu kamar mandi pun menutup kembali.

***

Di bawah daun-daun yang berjatuhan. Rara berjalan santai di salah satu tempat kota itu. Selalu ada dimensi tersendiri daisana, kota yang selalu dipenuhi dengan kisah dan mimpi banyak manusia.

Setelah berkeliling cukup lama sambil mengabadikan gambar jalanan dan bangunan dengan kamera digital yang ia kalungkan di lehernya. Ia menemukan sebuah café bernuansa klasik dan memutuskan untuk berhenti sejenak disana

Suara dentingan bel yang tergantung di atas pintu café pun terdengar, menandakan Rara sudah masuk ke dalamnya.

Ornamen-ornamen bernuansa tahun tujuh puluhan menggantung di langit-langit. Tidak ingin melewatkan kesempatan. ia pun kembali memotret detail-detail setiap sudut interior sembari terkagum-kagum sendiri. Lumayan bagus hasilnya. Ia juga mengagumi hasil jepretannya. Rara maju selangkah demi selangkah, dan tidak terasa hampir giliran antriannya tiba, ia pun segera menggantungkan kamera di lehernya kembali

"Selamat siang, mau pesan apa kak?"

"hot choco latte medium satu, bitter sweet tiramisu smallnya satu"

"Baik, hot choco latte medium satu, bitter sweet tiramisu small satu" Ulang penjaga kasir memastikan. Rara pun mengangguk membenarkan ucapan si Mas kasir.

Setelah melakukan transaksi dan sebagainya Rara pun mencari tempat dan duduk tepat di sudut ruangan. Ia meletakkan tas lalu membebaskan lehernya dari kamera yang sedari tadi menggantung, sambil masih melihat-lihat, ia menikmati musik yang diputarkan di dalam café.

"Atas nama Kak Rara?" Panggil kasir tersebut, tanda pesananannya sudah siap.

"Iya" Rara pun menghampiri

"Thanks" Senyum Rara.

Di sudut ruangan, sambil menikmati choco latte kesukaanya ia kembali meraih kameranya bermaksud melihat-lihat hasil jepretannya.

Terselip senyum kecil di sepanjang kegiatannya itu. Setelah beberapa gambar telah ia slide, tiba-tiba jemarinya berhenti menggeser screen kamera. Ia terpaku pada sebuah foto yang menampakkan sebuah persimpangan jalan. Jalan yang tidak terlalu sepi, tapi juga tidak terlalu ramai.

Tidak terasa garis senyum kecilnya berubah menjadi tegas. Ia pun memandanginya seksama, lalu mengotak-atik gambar tersebut. 'Zoom in - Zoom out, zoom in - zoom out'. Dan begitu seterusnya. Mata cokelatnya tak henti megamati setiap detail benda dan makhluk yang tertangkap dalam potret tersebut.

Kembali ia menyeruput latte hangat miliknya. Setelah dirasa puas Rara pun menyudahi pengamatannya, ia meletakkan kamera dan kini kedua matanya meradar ke luar jendela. Gerak-gerik kehidupan yang begitu ajaib diabadikannya dalam ingatan. Moment lalu lalang kesibukan manusia, moment daun-daun yang menari di ketinggian, dan masih banyak lagi ia potret dari balik jendela tanpa kamera.