Makhluk paling bodoh

Kalau saja di dunia ini dijual remot pengendali hati, sudah pasti aku adalah orang pertama yang akan membelinya.

'Nggak peduli berapapun harga yang di bandrol gue musti dapet. Walaupun cicilannya selama KPR hunian minimalis plus bunga non flat, gue bela-belain deh'.

Mata Rara mengerut memandangi halte kosong di seberangnya. Pemandangan disini membuatnya teringat dengan hal-hal luar biasa yang pernah terjadi padanya. Semua hal di kota ini sepertinya bagi Rara sebagian besar adalah tentang dia. agak konyol memang. Tapi entah kenapa justru masa-masa itu selalu menjadi moment yang sangat ia rindukan sampai sekarang, dan kalau bisa, ingin sekali Rara ulang.

Semua bermula di saat Rara mengejar sebuah sepeda yang melintas di depannya, dan sialnya lagi dia tidak tahu kalau ia harus terjatuh akibat tragedi pengejaran itu.

'Kalo aja gue bisa kembali ke masa lalu, gue harap nanti gue bakal nemuin buku petunjuk atau spoiler deh setidaknya dari semesta sehari sebelum kejadian, pasti gue bakal rebahan aja di kamar seharian'. Memikirkan itu tiba-tiba Rara tersenyum geli. Bagi Rara hari itu adalah hari dimana dia datang bagaikan badai yang menyapu lautan tenang.

Rara memeriksa hpnya, kemudian ia membuka aplikasi pesan sms dan mengetikkan sesuatu disana. Setelah kemarin ia berkeliling sendirian ternyata cukup menguras energi juga, tapi tetap menyenangkan kok. Rara memeriksa jam tangannya. Ternyata masih banyak waktu tersisa. Lagi pula hari ini pun sengaja ia keluar lebih pagi dari pada kemarin, berniat menikmati me time dulu sebelum ketemuan. Hehe

Andaikan kamju tahu, kalau kamu adalah lubang pelangi yang tidak akan pernah bisa aku hindari. Dan aku merasa seperti sedang di permainkan oleh waktu, sedangkan di belakangku kau bersekongkol dengan takdir untuk membuatku terjatuh dua kali.

"Halo? Spada?" Sapa seseorang yang sedari tadi sudah mengetuk beberapa kali meja Rara.

Rara terlonjak kaget, dan ia pun memeriksa ke sumber suara, ada seseorang sedang berdiri di samping Rara sekarang. Tapi seketika senyum gadis itu langsung mengembang.

"Akhirnya yang ditunggu-tunggu dateng juga" Ujar Rara

"Udah dateng dari tadi padahal" Sahut orang itu.

"Hehe, sori nggak denger"

"It's okay. Lagian pasti lagi gelamunin gue kan? Ngaku?!" Goda orang itu.

Rara menahan senyum "Dih pede banget sih Ri" Sangkalnya. Ari hanya tersenyum kemudian mengelus pucak kepala Rara

"Kepagian?" Tanya Rara. Mengingat waktu ketemuan yang di janjikan masih setengah jam lagi

"Pagian kamu sih kayaknya" Timpal Ari. Rara hanya nyengir saja

"Eh duduk" Ia pum mempersilahkan Ari menempati kursi kosong di hadapannya, dan sesuai instruksi lelaki itu pun mengambil posisi di hadapan Rara setelah menarik kursi tersebut,

"Jadi?" Tanya Ari masih menagih jawaban narsismenya barusan

"Nggak kok" Sangkal Rara

"Udah deh ngaku aja" Ari mengedipkan sebelah mata jahilnya

"Ih, dibilanginnya nggak, udah deh.. kita mau kemana jadinya hari ini?" Penasaran Rara. Sedangkan Ari menanggapi pertanyaan Rara dengan tersenyum saja. Membuat Rara tidak bisa menebak rencananya

"Kamu ikutin aku aja, pokoknya selama kamu disini aku yang jadi 'tour guidenya', Oke?" Rara pun mengangguk tanda setuju. Mau bagaimana lagi. Lagi pula sudah lama juga ia tidak kesini, jadi Rara hanya ingin menikmati perjalanan sembari bernostalgia tanpa harus capek-capek menentukan destinasi. Toh Ari juga tahu betul tempat-tempat mana saja yang Rara ingin kunjungi tanpa harus memberi tahunya

"Gratis loh" Goda Ari lagi dengan suara berbisik

Rara tertawa. "Iya, iyalah harus! kalo sampe kena tarif gue sih cukup tau aja" Timpal Rara mengeluarkan wajah seriusnya, membuat Ari tertawa gemas. Rasanya ingin sekali mencubit pipi gembilnya itu. Tapi Ari tahan takut ngamuk

Ari menunjuk minuman yang berada di meja dengan tatapan matanya. "Abisin dulu" Dan Rara pun menuruti perkataan Ari. Ia segera meraih gelas tersebut dan meminumnya.

Sementara Ari terus memandangi Rara yang agak terburu-buru menenggak minumannya hingga tetes terakhir

Empat tahun Ra. Batinnya. Jauh di dalam lubuk hatinya Ari cukup lega dan bersyukur. Tidak ada yang berubah sedikit pun dari wanita itu. Sikapnya, sifatnya, semuanya. Bahkan wajahnya. Masih cantik di mata Ari

''Aku berharap kamu akan selalu baik-baik saja, dan aku percaya kamu adalah seseorang yang bisa berdiri dengan kaki kamu sendiri, walaupun nanti tanah sudah tidak datar lagi, aku pengen kamu tahu kalau kamu sekuat itu Ra. Dan aku akan selalu ada di samping kamu untuk ngingetin itu, I'll tell you in every single day that you are the special one. You have to be happy, because you deserve it.

Ari melambaikan tangan tepat di depan wajah Rara "Aus banget apa gimana Mbak? Jauh ya dari Jakarta ke Jogja sampe ke ausan gitu?" Godanya tertawa geli

"Iyah nih Mas, saya kan musyafir" Timpal Rara

"Musyafir apa Munaroh Mbak?"

"Mujahiddin Mas" Timpalnya lagi.

mereka berdua pun tertawa. Sudah lama sekali rasanya tidak berbincang sedekat ini dengan Rara, Ari benar-benar lega. Ingin ia memeluk Rara erat. Rasanya tetap saja rindu, padahal dia sudah di depan mata.

"Yaudah yuk, udah bisa jalan sekarang kan?" Tanya Ari setelah ia memastikan Rara sudah selesai dengan minumannya.

Rara mengangguk menyetujui.

"Wait, bentar dulu" Ucapnya tiba-tiba

Ia pun merogoh tas dan mengambil ponselnya dari dalam tas, kemudian ia sibuk mencari sebuah kontak disana lalu mengetikkan sesuatu. Tidak panjang, tapi cukup lama.

Ari tidak bertanya, ia hanya mengiyakan dan memberi Rara waktu tanpa mempertanyakan apapun, ia bukanlah tipe orang yang segala sesuatunya harus dilaporkan dan harus di ketahui, bagaimanapun, manusia adalah makhluk sosial yang butuh bersosialisasi, jadi Ari selalu berprinsip bahwa setiap orang butuh privasi.

"Udah" Ucap Rara

"Yuk!"

Dan mereka pun memulai perjalanan tanpa batas waktu di waktu yang terbatas ini. Menjelajahi dunia dalam dunia. Mengarungi jutaan kata yang pernah terlepas dan tidak sempat terucap. Dunia yang sekarang Rara pandang jauh berbeda setelah bertemu dengannya. Dunia yang sekarang juga terlihat sangat berbeda setelah Ari dipertemukan dengan Rara.

"Kamu tau destinasi pertama kita?" Tanya Ari

Rara menggeleng "Nggak dong, kan lo nggak ngasih tau. Kecuali gue dukun" Timpal Rara

"Ih, Mbaknya udah mulai lucu ya" Jahil Ari

"Ih nggak, apa dehh" Salting Rara

"Ih lucu tau"

"Nggak, tadi garing gue sadar kok!" Rara menjulurkan lidah meledek Ari untuk menutupi rasa malunya

"Tuh kan lucu" Ucap Ari. Dan alhasil Rara semakin tersipu

"Udah ah ayok" Rara menarik lengan jaket Ari

Akhirnya mereka benar-benar berangkat. Dag-dig-dug. Jantung Rara seolah lepas kendali. 'Apakah perjalanan selalu semendebarkan ini?' Sepertinya kegugupan Rara semakin bertambah dibanding saat perjalanannya menuju kota ini dua hari lalu. Entahlah, dia sendiri tidak bisa menjelaskannya dengan benar.

Kaki ini melangkah bersama rindu, di atas wangi tanah yang basah aku ingin menuntaskan janji yang baru bisa kubayar setelah beberapa tahun terbelahnya semesta. Aku berharap setiap kata-kata yang terucap bisa menjelma hujan menembus lapisan terakhir hamparan angkasa.

Meski tak dapat lagi ku genggam. Namun waktu kita yang telah habis tidak akan pernah mampu berdusta. Tentang jemari yang di pertemukan dengan begitu indah