Ari memeriksa waktu di tangan kirinya "Ra, udah jam setengah satu loh" Sindirnya
Rara melirik sinis. Tapi tak lama kemudian ia malah tertawa "Bilang aja udah laper"
"Hehe"
"Dasar! Yaudah yuk"
"Makan apa?" Tanya Ari. Rara terlihat berpikir sejenak
"Jangan bilang TERSERAH yah!" Cerocos Ari. Rara tertawa lagi sambil memukul bahu Ari
"Ya allah Ri, belom juga gue jawab. Gas terus heran" Tawa Rara.
"hehe.. Cocok ga?" Bangga Ari.
"Gak lah" Sahut Rara yang masih tertawa,
Ari berdecak "ntar gue latih lagi deh"
"Udah deh... emang bucin kayak lo nggak pantes jadi badboy, nggak perlu dilatih juga. capek-capekin doang haha... "
"Ck!" Ari merengut lalu mendahului langkah Rara.
'Udah lama, seru juga'. Rara pun mengejar ketertinggalannya
"Ari, tunggu dong..."
***
Rasanya sudah cukup lama berjalan tapi belum sampai juga ke tujuan. 'Kaki gue udah mulai capek nih'
"Ini kita mau kemana deh? Masih jauh??" Penasaran Rara.
Ari mengerlingkan sebelah mata. "Ikutin aja"
"Dih" Geli Rara
Jalanan yang sepi menambah kesan eksotik di sepanjang langkah mereka. Satu, dua, tiga, empat. Diam-diam Ari menikmati setiap langkah kecil yang Rara buat di sampingnya. Sementara Rara sangat fokus pada setiap perumahan dan pohon-pohon yang menjulang tinggi di sepanjang perjalanan. ia menikmati setiap moment menyusuri jalanan yang kini berkelok-kelok itu. Selalu ada sensasi aneh di hatinya setiap kali ia menjejaki jalanan di kota ini.
Tata letak, bentuk bangunan, bahkan pepohonannya. Masih sama persis seperti di ingatannya waktu itu. Bahkan dari vibes sampai aromanya.
Kini Ari mendahului Rara, dengan langkah kecil di balik punggung Ari yang sedang celingukan entah mencari apa, ia menjiplak setiap gerak-geriknya. Setelah melewati beberapa belokan, akhirnya Ari berhenti diikuti Rara yang mengintip dari belakang.
"Gudeg Mbok Yanti!" Ujar mereka serentak.
"Masih inget juga?"
Rara menaikkan sebelah alis "O jelass.." Sombongnya.
Segera mereka pun memasuki rumah makan sederhana itu. 'Nostalgia banget'. pikir Rara
"Mmm... Gue—"
"Komplit + kerupuk. es jeruk peres kan?" Rara mengangguk selagi menahan senyum.
"Okee.."
"Gue pesen dulu" Sambungnya. Rara menyatukan ujung ibu jari dan ujung jari tengah membentuk huruf O, tanda setuju.
Ari menuju prasmanan, sedangkan Rara menunggu sembari mengotak-atik hpnya. Tempat ini juga masih sama bagi Rara, selalu ramai. malah justru semakin ramai. sesekali ia memandangi sekitar isi rumah makan tersebut lalu mengangguk-angguk merasa terkesan sendiri saat menyadari bahwa ternyata interiornya sedikit berbeda dari yang dulu. 'Tapi suasananya nggak ada yang berubah'. Batin Rara yang mulai terhanyut suasana . entah kenapa jantungnya jadi berdebar, namun di dampingi sedikit rasa sepi juga kerinduan.
Rara melambaikan tangan. kemudian mengayun-ayunkan tangannya, memanggil Ari dengan tidak sabar dengan senyuman yang begitu sumringah. Ari yang memegang nampan pun segera menghampirinya.
"Ini punya mbak Rara, dan yang ini punya Mas Ari" sengaja menyerupai pelayan-pelayan rumah makan pada umumnya
"Terima kasih Mas Ari" Balas Rara tak kalah sopan
Sembari menyusun makanan miliknya dan milik Rara, Ari sedikir menceritakan bagaimana si pemilik rumah makan itu masih mengenalnya dan menyambutnya dengan hangat, bagai anak sendiri. bahkan sampai menambahkan hidangan ekstra loh.
"Done. Silahkan di nikmati Mbak manis" Goda Ari
"Thanks chef" Senyum Rara.
"Jika masih butuh sesuatu bisa panggil saya Mbak" sembari salah satu tangannya memegang dada dan sedikit membungkukkan tubuhnya, membuat Rara tertawa geli
"Duduk, duduk" Segera Ari mengambil tempat di hadapan Rara
Sambil menikmati makanan, mereka berdua berbincang ringan. Membicarakan kegiatan baru yang sedang giat-giatnya mereka lakukan belakangan ini. Juga tentang kesibukan masing-masing.
'Apakah kamu juga berpikir tentang betapa ajaibnya setelah beberapa tahun kita melewati zona waktu yang berbeda, dengan cuaca dan pemandangan yang juga tak sama, tetapi kita masih diberi kesempatan berdiri di tempat dan waktu pada satu tempat yang sama. Bukankah rasanya seperti mimpi?'
Tak henti Ari memikirkan tentang hal tersebut, sambil selalu mengucap rasa syukur dihatinya, telah dipertemukan oleh sang pemilik semesta kepada seorang yang segemas dan seunik manusia yang sedang makan dengan lahap di hadapannya itu.
"Kenyang banget nggak sih?"
Ari mengangguk selagi menyedot teh hangatnya. bagaimana tidak kenyang coba? mengingat diberi service hidangan ekstra, dan semuanya dihabiskan tanpa sisa.
"Gimana rasanya makan disini lagi setelah sekian purnama?" Selidik Ari dengan menaikkan sebelah alisnya
Rara tersenyum tipis "The best" Sahutnya
"Thanks ya" Ujar Rara tiba-tiba
"Buat?"
"Udah ngebawa gue ke tempat ini lagi, masih mau gue repotin selama ini... And anything" Ujar Rara sembari menatap kekosongan disebelahnya.
Ari tidak mampu berekspresi, ia hanya memandang Rara dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, terdapat kehangatan di sorot matanya namun juga kesedihan yang tidak bisa dijelaskan. Jelas sekali ia melihat senyum kerinduan yang teramat di raut gadis yang sedang tidak memandangnya itu.
"Ra?" Ari meraih tangan Rara dan menggenggamnya. Membuat Rara refleks menatapnya, setelah beberapa detik terdiam akhirnya ia pun tersenyum, membalas senyum hangat Ari.
Tiba-tiba Ari menggoda dengan mengedipkan sebelah mata "Masih sanggup lanjut,'kan?"
dengan kaget Rara membalas "Geli banget Ri." Sehinga Ari terpingkal kemudian. Ekspresinya itu lohh, Ari gemas sendiri. Sembari mengelus punggung tangan Rara, tatapannya menyimpan sejuta makna.
'Bercahaya terus Ra. Jangan redup. cahaya lo selaras detak nadi gue'.
***
Di sepanjang perjalanan pulang, keheningan menyelimuti keduanya, Rara berjalan di depan Ari, sedangkan lelaki itu dengan setia memandangi langkah kecil Rara yang kini terlihat begitu sendu dan berat. Bahkan dari balik punggungnya, terlihat jelas ada waktu yang enggan gadis itu putar.
'Jika saja aku mampu berhenti pada waktu yang tepat, andai saja waktu itu aku tidak memilih untuk meninggalkan jejak. Mungkinkah kekosongan itu tidak akan pernah ada?' Ari bergulat dengan pikirannya sendiri, tak henti ia memikirkan waktu yang tak akan pernah kembali.
Gemeresik daun yang saling bersahutan ketika disapa angin menambah sendu yang tertingal di setiap jejak langkah kedua insan itu. Jalan yang telah ditelusuri menuju rumah makan barusan kini sedang di telusuri lagi menuju tempat mereka kembali.
Rasanya tidak sepanjang an sejauh perjalanan pergi, ternyata kembali itu adalah sesuatu yang lebih cepat. Hingga tiba-tiba saja mereka sudah tiba di tempat Ari sengaja memarkirkan motornya jauh dari tempat makan barusan.
Ari sudah memakai helm, kemudian ia beralih untuk mengencangkan pengaman helm Rara. Setelah yakin sudah safety ia mengelus puncak kepala Rara yang terhalang helm
"Naik Ra" Ujarnya saat sudah siap diatas motor matic miliknya, rara pun naik
Melalui spion Ari menatap gadis itu diam-diam "Pegangan yang kenceng"
Rara pun mengangguk kemudian meraih jaket hitam yang Ari kenakan dan menggenggamnya dengan cukup erat. Merasa tidak cukup, Ari menarik kedua tangan dan mendaratkan kedua lengan Rara di lingkaran pinggangnya,
"Gini cantik.." Jelas Ari mencoba mencairkan suasana, berharap Rara tidak perlu merasa membebani dirinya lagi.
Ari pun tersenyum. "Siap?" Tanyanya.
Rara mengangguk. "Siap bang" Balas Rara yang sudah merasa lebih santai seperti semula
Sekali lagi Ari memeriksa, memastikan raut wajah gadis itu dari salah satu kaca spion. Setelah dirasa cukup barulah Ari menyalakan mesin motor. Kini mereka pun melaju, menuju destinasi yang telah Ari rencanakan selanjutnya.
—'You are preciouses more than a million stars of the sky' Dan aku. akan selalu jadi wadah sebagai tempat agar kamu bisa bersinar terang. seberapa pun luas yang kau butuhkan, seberapa gelapnya pun itu. Aku siap menjadi langit paling hitam diantara lapisan-lapisan langit lainnya. Karena kamu adalah hati yang harus aku lindungi. Raga yang ingin ku jaga. Dan cinta yang selalu ingin aku gapai hingga nanti— Ari