Kabut malam menjalar seperti racun ke dalam celah-celah lembah utara. Suara gemeretak tanah terus menggema—berat, teratur, dan asing.
THOOM.
THOOM.
CRRKHHHH...
Batu-batu kecil berguguran dari tebing. Hilda berdiri paling depan, posturnya menegangkan otot-otot bahunya, telapak tangan menggenggam erat tanah basah. Aren duduk di atas batang kayu tumbang, memutar kunai kecil di jari telunjuknya sambil mengamati kabut.
Kaito berdiri di belakang mereka, matanya menyipit. "Kuda itu tidak normal," ucapnya lirih.
Hilda mendesis, “Berhenti menyebut itu kuda. Itu adalah monster.”
“Secara biologis, ia tetap seekor kuda. Namun, benar... spesies ini seharusnya sudah punah.”
Aren mengangkat sebelah alis. “Bagaimana mungkin kuda punah muncul di depan gerbang Uchiha?”
“Alam senang menciptakan keanehan,” jawab Kaito, tetap tenang. “Barangkali ini hasil pembiakan selektif. Terjadi secara tidak sengaja. Spesies seperti ini—kecepatan tinggi, struktur tulang wajah bengkok, tekanan darah ekstrem. Mirip eksperimen, namun alami. Sangat eksotik.”
Hilda menoleh tajam. “Ini bukan saatnya untuk kuliah biologi, Uzumaki.”
Kaito segera membungkuk hormat seperti pelayan istana. “Mohon maaf, Nona Hilda.”
“Jangan panggil aku begitu.”
“Baik, Tuan Putri Hilda.”
Hilda mendengus kasar dan kembali memusatkan perhatian pada kabut.
Aren nyaris tertawa.
---
Mereka bukan tim elit. Mereka hanyalah tiga anak kecil. Namun di hadapan mereka kini berdiri seekor makhluk berkaki empat yang bahkan para jōnin tidak mampu menghadapinya secara langsung.
Siluet itu perlahan muncul dari balik kabut.
Seekor **kuda arab raksasa**, tingginya hampir dua kali tinggi orang dewasa, dengan bulu kelam berkilau seperti dilumuri darah, dan wajah yang bengkok secara tidak alami. Moncongnya sempit, rahangnya lebar, dan mata merahnya menyala—bukan karena chakra, melainkan akibat deformasi pembuluh darah di balik bola matanya.
Dari tenggorokannya keluar suara desis rendah, seperti mesin tua yang hampir meledak.
Beberapa anggota Uchiha dewasa mulai bermunculan dari balik pos penjagaan. Dua shinobi segera membentuk segel tangan.
“Jangan menyerang secara langsung,” ujar Kaito dengan tenang. “Makhluk ini akan melarikan diri jika diserang secara frontal. Ia tidak memerlukan chakra untuk bergerak secepat itu. Ia cepat—secara struktur tubuh. Tidak bisa dikunci.”
Salah satu jōnin menatap anak Uzumaki itu dengan alis terangkat. “Siapa kamu?”
“Aku Uzumaki Kaito. Ahli fuinjutsu. Penjinak binatang. Dan…” ia melirik Hilda, wajahnya bersinar penuh kekaguman, “…pelayan pribadi nona Uchiha yang satu ini.”
Hilda mendesis. “Aku bukan—!”
Aren menepuk batang kayu tempat ia duduk. “Dia sungguh-sungguh. Jangan ditanggapi.”
---
Makhluk itu berbalik perlahan, menunduk, dan mulai menggaruk tanah dengan kuku besarnya. Lalu, seperti panah hitam, ia menerjang ke depan.
Dan menghilang.
Mata Sharingan dua Uchiha dewasa langsung menyala, namun mereka terlambat.
“KE KANAN!” teriak Kaito.
Salah satu shinobi nyaris tertanduk sebelum Hilda menjatuhkannya dengan tackling keras. Makhluk itu terus menembus kabut di belakang, suara napas beratnya masih menggema.
Aren berdiri perlahan dari duduknya, mengaktifkan Sharingan dua tomoe-nya. “Terlalu cepat...”
Kaito menggigit jarinya dan mulai menggambar sesuatu di tanah. “Aku akan memasang perimeter segel.”
“Segel untuk menangkapnya?” tanya salah satu Uchiha.
“Tidak akan cukup. Tapi cukup untuk mengarahkan gerakannya. Dan jika memungkinkan... mengurungnya sementara.”
---
Sementara Kaito sibuk menulis segel di berbagai titik tanah, Hilda dan Aren mulai membaca pola gerak makhluk itu. Ia tidak pernah bergerak lurus dua kali. Selalu berputar, melompat spiral. Kecepatan reaksinya membuat semua jebakan yang dipasang para shinobi dewasa gagal.
“Uchiha yang satu itu... siapa nama anak kecil berambut merah itu?” bisik salah satu jōnin.
“Uzumaki. Baru tiba hari ini.”
“Berani juga dia berbicara begitu pada kita.”
“Dia tidak memberikan perintah apa pun. Dia hanya menyampaikan apa yang dia tahu. Kita yang memilih mendengarnya. Lagipula... segelnya berfungsi.”
Salah satu segel di sisi timur menyala terang. Makhluk itu melintas di atasnya dan, sejenak, tubuhnya tersentak.
Ia tergelincir ke tanah. Ini pertama kalinya ia kehilangan kendali atas kecepatannya.
---
Kaito menekan kedua telapak tangannya ke tanah. Tiga segel di depan menyala bersamaan, membentuk kurva menyempit.
“ARAHKAN KE SINI!” teriaknya. “HILDA, SEKARANG!”
Hilda melompat dengan kecepatan luar biasa. Ia memelintir tubuh monster itu dari samping, memaksa kaki depannya menyentuh tanah keras.
Kaito menutup mata dan mengaktifkan satu segel utama—tanda pusaran raksasa yang kini mencuat dari tanah dan memutar energi di sekitarnya.
Makhluk itu menjerit. Suaranya bukan suara kuda. Lebih dalam. Lebih tua.
Lalu, semuanya hening.
---
Monster itu terkunci di tengah segitiga segel. Napasnya tersengal, matanya masih menyala, namun tubuhnya tidak bisa bergerak.
Aren melangkah mendekat, Sharingan-nya tidak berkedip. “Ia masih sadar. Tapi tidak bisa bergerak.”
“Dia bukan monster chakra,” ujar Kaito. “Itu sebabnya kalian tidak bisa merasakan niat membunuh. Tapi ia tetap makhluk liar. Sangat liar.”
“Dan sekarang kita harus berbuat apa?”
Kaito berdiri, debu menempel di lutut dan sikunya. Ia tersenyum tipis. “Aku bisa membuat segel untuk menenangkannya. Tapi itu memerlukan waktu. Dan selama itu... kalian harus menjagaku.”
“Menjagamu?” Hilda menatapnya tajam. “Kamu pikir kamu siapa?”
Kaito membungkuk lagi, tangan di dada. “Hanya pelayanmu yang rendah hati. Yang rela mati di kaki nona.”
“...Menjijikkan,” gumam Hilda sambil berjalan pergi.
---
Aren menoleh ke arah beberapa Uchiha dewasa yang kini sibuk memperkuat perimeter.
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Aren kepada salah satu jōnin. “Apakah kalian akan mengambil alih?”
“Tidak perlu. Kalian bertiga sudah cukup membuat kami malu malam ini.” Sang jōnin tersenyum tipis. “Tapi serius, Aren... bocah Uzumaki itu... dia bukan anak biasa.”
Aren mengangkat bahu. “Saya tahu.”
Hilda bersandar pada batang pohon, tangan bersedekap. Ia menatap Kaito yang sedang merapal fuinjutsu dengan tenang. Garis tinta menyala perlahan di tanah seperti api kecil.
Ia mengerutkan kening.
“…Dasar penguntit menyebalkan,” gumamnya.
Dan di malam yang mulai mendingin, ketika suara monster perlahan mereda dan kamp Uchiha kembali bergerak, satu hal menjadi jelas:
Kaito Uzumaki bukan hanya sekadar anak Uzumaki lain.
Ia adalah bahaya yang sedang tumbuh.