Langit mulai cerah, namun udara di pusat klan Uchiha tetap dingin dan berat, seolah menyimpan sesuatu yang belum selesai. Para shinobi yang berjaga di gerbang utama masih memasang wajah kaku. Bagi orang luar, tempat ini bisa terasa seperti kota senyap dengan mata-mata tajam di tiap sudutnya.
Tiga anak berjalan perlahan di jalan utama. Langkah mereka tidak terlalu cepat, namun cukup untuk menunjukkan bahwa misi mereka telah selesai. Aren berjalan paling depan, tangan di balik kepala. Hilda mengikuti, dengan rambut panjangnya diikat tinggi, berusaha tidak menoleh ke belakang. Kaito berada paling belakang, memelototi setiap batu yang mereka lewati seolah ingin mengukir nama Hilda di atasnya.
“Seharusnya kau pulang bersama kami. Kami bisa mengantar hingga rumah keluarga cabang Uchiha,” kata Hilda, nadanya datar namun tajam.
Kaito menggeleng. “Segel di perbatasan utara belum diperiksa ulang. Beberapa formula lama perlu diperkuat. Itu alasan aku dikirim ke sini sejak awal.”
Ia berkata begitu sambil sesekali mencuri pandang ke arah Hilda. Meskipun suaranya terdengar dewasa, ada sesuatu yang ganjil dari cara ia mencoba menyesuaikan langkah dengan Hilda—seperti seekor anjing kecil yang tetap mengikuti walau dilempar batu.
Aren mengangkat bahu. “Jangan lewat utara barat. Dua jonin mengatakan ada bayangan asing semalam. Aku tidak peduli apakah kau bisa mengendalikan segel atau tidak, tetapi kalau kau mati karena ceroboh, aku tidak ingin disalahkan.”
Kaito menunduk sedikit sebagai bentuk penghormatan. “Dipahami.”
Hilda tidak mengatakan apapun. Namun sebelum mereka sempat benar-benar berpisah, suara langkah berat terdengar dari arah timur. Seorang shinobi bertubuh tegap dengan jubah klan Fuuma muncul dari balik tikungan. Usianya mungkin sekitar empat belas tahun, namun dari cara ia berjalan, terlihat jelas bahwa dia bukan anak biasa.
Di belakangnya, terikat dengan rantai chakra berwarna biru kusam, adalah seorang pria dengan rambut putih kotor, kulit pucat, dan tubuh penuh luka. Matanya liar dan rahangnya penuh darah kering. Bahkan dalam kondisi terikat, ia masih berusaha menggertakkan gigi ke arah orang-orang yang menatapnya.
“Jangan mendekat,” kata shinobi Fuuma itu, suaranya pelan namun mengandung otoritas. “Tawanan ini... tidak waras.”
Aren menghentikan langkah. “Klan Kaguya.”
Fuuma itu menoleh, sedikit terkejut. “Benar. Anda pasti Uchiha Aren.”
Hilda mengangkat alis. “Dari mana kau tahu namanya?”
“Wajah kalian tersebar di antara pasukan aliansi sebagai generasi pewaris. Lagipula, nama kalian disebut dalam laporan terakhir pertempuran lembah utara. Saya adalah Fuuma Zenshou, dikirim untuk menyerahkan tawanan ini kepada kepala klan.”
Tatapan Aren menyipit. “Salah satu dari tiga pelaku penyerangan karavan dagang kami?”
Zenshou mengangguk. “Benar. Dua lainnya melarikan diri ke selatan. Saya membawa yang satu ini sebagai bukti kontribusi klan Fuuma kepada Uchiha. Kami tidak ingin netralitas kami diragukan.”
Hilda menatap tajam ke arah Kaguya itu. “Dia tidak menyesal.”
Tawanan itu tertawa, meski darah mengalir dari giginya. “Uchiha… kalian pikir dunia ini milik kalian?”
Zenshou menendang sisi tawanan itu tanpa ragu, membuatnya terdiam. “Saya tidak datang untuk debat. Saya datang untuk memperkuat aliansi.”
Aren tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Zenshou, lalu ke arah rantai chakra, lalu kembali ke Kaito. “Klan Kaguya... tidak akan tinggal diam.”
“Biarkan mereka mencoba,” Hilda menjawab. “Kita tidak pernah takut.”
Kaito menelan ludah. Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa seperti anak kecil lagi. Ia tahu betapa gilanya klan Kaguya. Mereka tidak berpikir. Mereka hanya menari dalam darah.
“Konflik ini akan terbuka,” gumam Aren. “Satu per satu… mereka akan memprovokasi. Dan pada akhirnya, kita akan dipaksa membalas.”
Zenshou menyentuh simbol klannya di dada. “Jika saat itu tiba, klan saya akan berdiri di sisi Uchiha.”
Aren mengangguk ringan. “Serahkan tawanan itu ke kediaman ayahku. Jika penjaga di depan meragukanmu, sebutkan namaku.”
Zenshou memberi hormat. “Terima kasih, Uchiha Aren.”
Tanpa menunggu lebih lama, ia melanjutkan perjalanannya, menarik paksa tawanan Kaguya yang mulai mengumpat dalam bahasa kasar.
Setelah keheningan beberapa saat, Hilda bersuara, “Aku pulang.”
Kaito melangkah cepat. “Boleh aku—”
“Tidak,” jawab Hilda, dingin, tanpa menoleh.
Kaito berhenti, tertunduk seperti biasa.
Aren menepuk bahu sahabatnya itu sambil berjalan ke arah berbeda. “Besok, jangan datang terlalu pagi. Hilda tidak akan berubah hanya karena kau menatapnya seperti itu.”
Kaito tidak menjawab. Ia hanya berdiri di tengah jalan yang perlahan sepi, dengan bayangan panjang menjulur ke belakangnya.