Langit senja menggantung tenang di atas kompleks Uchiha ketika Aren akhirnya menjejakkan kaki di pekarangan rumahnya. Aroma tanah basah masih tersisa, bercampur dengan bau asap dapur dari rumah-rumah tetangga. Gerbang kayu berukir lambang kipas terbuka tanpa suara saat ia mendorongnya, dan halaman yang tertata rapi menyambutnya dengan keheningan.
Tidak ada jejak ayahnya di depan rumah. Tak seperti biasanya.
Aren meletakkan sepatu di sisi pintu masuk, lalu melangkah masuk tanpa suara. Rumah mereka—besar, bersih, dan tanpa banyak hiasan—dipenuhi udara yang dingin dan tenang. Di dalam, hanya ada suara langkah kakinya dan sesekali derit kayu dari angin malam yang menyelinap.
Dari dapur, suara panci bergeser terdengar pelan. Ibunya, Yuika Uchiha, tengah menuangkan sup ke dalam dua mangkuk kayu. Wajahnya yang tajam menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke meja.
“Cuci tanganmu,” ucapnya pendek.
Aren menurut, lalu duduk di seberang ibunya ketika makanan disajikan. Tidak ada ayah di meja makan. Tak ada piring ketiga.
“Ayah?” tanyanya sambil mengambil sumpit.
Yuika menjawab tanpa mengangkat kepala. “Dipanggil oleh kepala klan. Ada pertemuan.”
Mereka makan dalam diam selama beberapa menit. Di luar, angin menggoyangkan dedaunan. Lilin kecil di meja berkedip-kedip.
“Apakah karena orang Kaguya itu?” tanya Aren akhirnya.
Yuika berhenti mengunyah, menatap anaknya dengan mata yang seperti terukir dari es.
“Ya. Dan tidak.”
Aren mengernyit.
“Klan Kaguya memang bergerak. Tapi mereka tidak cukup cerdas untuk berpolitik,” lanjutnya. “Yang merampok karavan kita adalah para pembelot. Tiga orang Kaguya kabur dari wilayah Hyuga. Sekarang satu ditangkap, dua masih bebas.”
Aren menunduk, mengingat kembali penampilan tawanan itu—kusut, liar, dan tertawa meski dibelenggu.
“Seberapa kuat mereka?”
“Secara individu? Lebih kuat dari rata-rata jonin. Tapi mereka tidak bisa bekerja sama. Terlalu gila. Terlalu haus darah. Mereka bahkan sering melukai rekan sendiri dalam latihan.”
“Jadi... mereka seperti senjata yang tidak punya arah?”
Yuika mengangguk pelan. “Dan seperti semua senjata liar, mereka mudah dijinakkan... atau dihancurkan.”
Beberapa saat mereka makan dalam diam.
“Ayahmu sedang berdiskusi soal kemungkinan perang. Klan kita tidak terlalu ambil pusing, tapi kepala klan tidak ingin ceroboh.”
Aren menyentuh tepi mangkuknya. Sup sudah mulai dingin.
“Kalau terjadi perang... kita akan bertarung melawan Hyuga juga?”
Yuika menghela napas, menyandarkan tubuh ke kursi. “Kemungkinan besar tidak. Hubungan Hyuga dan Kaguya tidak seerat itu. Kaguya hanyalah klan bawahan yang diberi tanah di wilayah timur, dan mereka terlalu tidak stabil untuk dibela.”
“Lalu siapa yang menjadi ancaman paling serius?”
Yuika menatapnya dalam-dalam, seolah mengukur seberapa banyak yang bisa dicerna oleh anak berusia tujuh tahun.
“Senju.”
Satu kata itu cukup membuat udara di ruangan seolah mengeras.
“Mereka memiliki klan Sarutobi di bawah naungan mereka. Terorganisir, disiplin, dan berpengaruh di utara. Mereka tidak akan bergerak tanpa alasan, tapi jika mereka ikut campur... kita harus bersiap untuk perang besar.”
Aren menunduk, memainkan sumpitnya tanpa menyentuh makanan lagi.
“Bagaimana dengan Uzumaki?”
Yuika tersenyum tipis. “Uzumaki adalah cerita berbeda. Mereka tidak memiliki bawahan. Tidak butuh. Populasi mereka banyak, dan secara ekonomi mereka mendominasi seluruh perdagangan di Negara Api dan Negara Laut.”
“Mereka kuat?”
“Secara politik dan jumlah, ya. Kekuatan individu mereka bergantung pada segel dan stamina. Kaito adalah contohnya.”
Aren mengangguk pelan. Ia membayangkan Kaito dengan semua meterai anehnya dan tatapan serius yang terlalu tua untuk anak sembilan tahun.
“Uchiha memiliki klan Fuuma sebagai bawahan,” lanjut Yuika. “Mereka tidak punya kekuatan besar, tapi loyal dan bisa diandalkan.”
Aren menatap ibunya, ragu.
“Jadi... kalau semuanya pecah... Uchiha masih lebih kuat?”
Yuika menjawab tanpa ragu. “Kita tidak pernah lemah.”
Kalimat itu tidak mengandung kesombongan. Hanya kepastian dingin dari seorang wanita yang telah membunuh sejak usia belia.
Lilin di meja mulai meredup. Malam turun sepenuhnya.
Yuika berdiri dan mulai membereskan mangkuk tanpa suara. Aren tetap duduk, memandangi jendela di samping meja makan. Di luar, bayangan pohon bergoyang pelan diterpa angin malam.
“Tidurlah setelah ini,” kata Yuika dari dapur.
Aren mengangguk.
Ketika akhirnya ia naik ke kamarnya sendiri, langkahnya pelan dan tanpa suara. Di dalam ruangannya yang kecil dan bersih, ia duduk di tepi ranjang, mata masih terbuka.
Di luar, dunia mulai bergerak lebih cepat. Dan untuk pertama kalinya, Aren menyadari bahwa ia berada di tengah pusaran yang tidak bisa ia hindari.
Perang mungkin belum tiba. Tapi langkahnya sudah terdengar di kejauhan.