Aula pertemuan utama dalam kediaman Kepala Klan Uchiha dibangun dari batu hitam dan kayu tua yang mengkilap. Tiang-tiangnya menjulang, menyangga atap berat yang dipahat dengan simbol api dan kipas—lambang kebanggaan mereka. Di dalamnya, dua puluh tetua berdiri tegap dalam formasi setengah lingkaran, menghadap satu sosok di ujung ruangan.
Uchiha Hanji.
Kepala klan itu berdiri diam sejenak, membiarkan keheningan menggantung sebelum berbicara. Rambut hitamnya diikat rapi, matanya tajam namun tenang. Seorang pemimpin tua, namun belum kehilangan sinarnya.
"Tiga karavan. Dua puluh lima orang. Termasuk anak-anak. Delapan tewas. Sisanya luka atau kehilangan harta mereka."
Desisan dingin terdengar dari beberapa tetua. Namun, tidak ada yang berkomentar. Mereka menunggu.
Hanji melanjutkan, "Penyerang adalah tiga anggota klan Kaguya. Mereka kabur ke wilayah utara setelah menyergap karavan di luar batas pelindung. Satu ditangkap dan sedang ditahan. Dua masih buron."
Salah satu tetua—lelaki tua bertubuh kecil dengan rambut putih dan sorot mata tajam—menyeru pelan, "Jumlah korban tewasnya sedikit, tapi... mereka warga kita. Anak-anak kita."
Beberapa tetua mengangguk. Lainnya mengepalkan tangan.
"Kerugian materi tidak seberapa. Namun..."
"Namun darah yang tumpah tidak bisa dibeli kembali," potong seorang tetua perempuan berambut kelabu. "Klan Kaguya memperlakukan kita seperti daging."
Hanji tidak membantah.
"Benar."
Suasana memanas. Salah satu tetua muda menggeram pelan, suaranya serak namun keras, "Kita hancurkan mereka sekarang."
"Tenang," suara Ganja Uchiha memecah amarah itu. Ia berdiri setengah langkah di belakang Hanji, tenang seperti selalu. "Perang tidak dimulai dari kemarahan. Kita bukan Kaguya."
Beberapa tetua mengalihkan tatapan mereka padanya. Tak ada yang menyela. Ganja adalah pemuda dalam lingkaran tetua, namun semua tahu dia lebih dari sekadar ahli strategi—ia adalah arsitek dari kemenangan-kemenangan Uchiha dalam dua dekade terakhir.
Ganja melangkah maju. Tangannya terlipat di belakang punggung.
"Para korban akan diberi kompensasi penuh. Dana akan diambil dari cadangan logistik dan dialihkan ke keluarga-keluarga yang kehilangan ayah, suami, atau putra mereka. Anak-anak yang menjadi yatim akan dimasukkan dalam program pengasuhan klan."
"Ini cukup?" tanya salah satu tetua dari sisi kanan.
Ganja mengangguk. "Lebih dari cukup. Namun tidak semua pengganti bisa memulihkan luka. Saya tidak berniat menghapus rasa sakit mereka. Saya ingin mencegah luka berikutnya."
Hanji melanjutkan, "Kita tidak akan langsung membalas. Klan Hyuga belum bersuara. Jika kita menyerang tanpa sinyal politik yang tepat, kita akan membuka celah bagi Senju atau pihak netral untuk ikut campur."
"Klan Kaguya bukan ancaman besar, tapi mereka pengganggu yang berisik," lanjut Ganja. "Struktur internal mereka kacau. Mereka kuat sebagai individu, namun buruk dalam koordinasi. Kita akan manfaatkan itu."
"Bagaimana dengan para pengungsi sipil?" tanya tetua perempuan tadi.
"Sudah diamankan. Namun kita tidak bisa biarkan ketakutan tumbuh. Kita harus menunjukkan bahwa klan melindungi mereka. Bahwa kita tidak melupakan darah yang tumpah."
Hanji mengangguk.
"Kami akan menunjuk utusan untuk mengirim surat ke klan Hyuga. Menunggu tanggapan mereka. Sementara itu, kita kirim satuan pengawas ke wilayah utara dan tim diplomatik ke Fuuma. Mereka perlu tahu bahwa Uchiha tidak diam."
Salah satu tetua muda tampak masih gelisah. "Lalu kita hanya akan menunggu?"
Ganja menatapnya dengan tajam. "Tidak. Kita bersiap. Dan saat waktunya tepat, kita tidak akan mengirim peringatan. Kita akan mengirim pesan."
Keheningan menggantung sejenak. Tapi kali ini bukan karena ragu. Melainkan karena setiap orang di ruangan itu paham.
Uchiha tidak bermain-main dengan ancaman.
"Rapat selesai," kata Hanji akhirnya. "Semua rencana akan dikirimkan besok pagi. Terima kasih atas waktunya."
Satu demi satu tetua klan Uchiha meninggalkan aula, jubah mereka berkibar pelan. Di luar, langit mulai gelap, dan angin malam berhembus dingin dari utara. Namun di dalam hati mereka, bara telah menyala.
Klan Uchiha mungkin belum bergerak.
Tapi perang sudah mengetuk pintu mereka.