WebNovelLove Line50.00%

[LLINE] Nasihat dan sebuah mimpi

Malam mulai beranjak datang menyelimuti langit yang tadinya cerah berubah menjadi gelap.

Malam itu seperti sebuah nasihat bermakna tegas tanpa keraguan terucap dari bibirnya, udara yang mulai dingin seakan sirna dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan walau sensitif tapi berjalan dengan baik.

Rasa dinginpun enggan menyelimutinya seperti tau apa yang akan terjadi selanjutnya bukan selanjutnya lebih tepatnya kedepannya.

Pertanyaan pengulangan yang ditanyakan oleh pria yang sudah berumur itu kembali terdengar jelas, "Biar Papah ulang, apakah Adik mencintai pria itu? " dengan wajah tegas namun intonasi lembut layaknya berbicara dengan sang putri dari kerajaan.

"Pah? Apa Papah mengizinkan? "

"Papah tidak melarang dan tidak pula mengizinkan, gadis Papah ini masih terlalu muda mengenal dunia cinta coba sekarang Papah tanya umur adik berapa? "

"17 tahun, "

"Ternyata Gadis Papah telah tumbuh dewasa."

"Aku sudah dewasa ya pah? " dengan wajah menunduk, beberapa pertanyaan berputar di kepala Liza memberontak ingin di keluarkan namun mulut seakan bisu mengatakannya.

"Kenapa menunduk adik? " tanya Papah yang pada saat pertanyaan dimulai wajah Liza mulai menghadapnya menatapnya, papah mengubah posisi duduknya tidak akan membiarkan anak gadisnya ini gugup dan tegang karena pertanyaannya.

Rama hanya ingin satu hal, Rama ingin Liza putrinya menjadikan ia sebagai Cinta pertamanya karena Cinta pertama anak perempuan itu adalah ayah nya.

"Engga apa-apa Pah, " ucap Liza kemudian papah kembali membiarkan kepala Liza untuk bersandar di dadanyah.

"Papah tidak melarang adik menyukai siapapun, mencintai siapapun Papah tidak melarang itu tapi yang seharusnya adik tau adalah, kini bukan saatnya mengenal itu Papah pun pernah muda Papah tau apa yang dirasakan adik, Papah juga tau apakah itu murni atau hanya keinginan biasa saja. Dan dari pada terluka lebih baik adik menghindar menjaga hati dan perasaan agar saat masanya tiba adik bisa percaya itu cinta dengan keyakinan hati bukan karena pernah disakiti. "

"Iya Pah, " ucap Liza mengangguk pelan, satu dua kalimat yang keluar dari mulut Papah seakan menjadi arah untuk kehidupannya yang lebih dewasa.

"Papah boleh minta sesuatu kepada adik? " tanya Papah.

"Boleh, asal jangan meminta untuk dijodohkan dengan anaknya teman Papah, " dengan sedikit tertawa kecil.

"Hahaa, itu takan pernah terjadi biarlah adik yang menentukan dengan siapa adik akan hidup lama lebih lama dibanding hidup dengan Papah, " ucapnya dibalas senyuman olehku.

"Jaga agamamu, Agama yang kamu bawa sejak lahir agama yang Papah dan Buna percayai, belajarlah perlahan dengan agamamu jangan menyerah jika bosan istirahatlah bukan berhenti untuk waktu lama, setelah itu kembali lagi belajar banyak lebih luas lagi tentang Agamamu. "

"Dan... " ucapnya menggantung membuat Liza mendongak menatap wajah tenang tegasnya.

"Jangan tinggalkan agamamu jangan pernah, Papah.... minta itu hanya minta itu sama adik, jika adik meninggalkannya pupuslah harapan Buna untuk bertemu lagi nanti di Akhirat kelak Nak, bukankah begitu kata agama kita? "

"Iyaa Pah, Adik akan menempatinya "

Ah Papah aku jadi merindukan Buna, Buna apakabar? Kata Papah kini aku telah beranjak dewasa Buna izinkan Alaiza untuk terus bersama Papah yaa, Buna jangan minta ditemenin dulu sama Papah karena Alaiza masih butuh Papah.

Liza tanpa Buna seperti tak bisa apa-apa, tapi Papah bantu Liza menjadi seperti apa yang Buna dan Papah harapkan dan yang Liza inginkan pula. Liza tak bisa membayangkan bagaimana jika Liza hidup tanpa seorang papah.

"Buktikan pada Buna dan Papah adik akan selalu menjaga Diri, kehormatan, dan juga agama Adik. "

"Iyaa Pah. "

"Love you Papah. "

"Love You Alaiza Putri Papah. "

Malam itu percakapan sederhana penuh arti itu berakhir dengan senyuman dan kerinduan akan hadirnya wanita yang berharga dalam kehidupan keluarga mereka.

Cinta jarak jauh yang paling menyakitkan yaitu antara Dunia dan Akhirat, berbeda dimensi.

💤

"Adik Alaizaa? "

"Iya Buna? "

"Sini. "

"Buna akan jelaskan arti namamu Nak. "

"Alaiza tau apa itu darah biru? " tanya yah sambil meletakan Alaiza di pahanya sesekali dirinya mengelus-elus puncak kepala gadis itu.

Liza mencoba berpikir, seperti dia pernah mendengar arti dari sebuah kalimat itu "Emm bangsawan Buna? Anak ningrat " jawab Liza kecil dengan wajah sedikit takut, takut jawabannya salah.

"Yaa betul, Alaiza itu artinya Bangsawan atau.... "

"Darah Biru, " ucap Liza lantang sambil tersenyum manis dan Buna membalas senyuman Liza.

"Alaiza itu percaya diri. "

"Percaya diri? " ucap Liza dengan wajah gembira.

"Iyaa sayang, Alaiza itu juga seorang memimpin yang baik dan selalu mencari petualangan, Artinya sama seperti kepribadianmu Nak. "

"Satu lagi, Alaiza itu mandiri. "

"Liza akan belajar mandiri Buna. "

"Sayang, Buna tidak meminta itu.. Meskipun Alaiza manja tapi bagi Buna kamu itu mandiri dan pintar, " ucapnya menghibur hati supaya tidak ada kesalahan pahaman. Bicaralah anak perempuannya ini belajar dengan perlahan-lahan.

"Iyaa Buna. "

"Sekarang coba ambilin kotak di laci meja rias Buna, " ucap wanita itu dengan senyuman dan elusan di kepala Liza.

"Baik Buna, " ucap Liza tanpa membantah.

Lizapun turun dari pangkuannya kemudian pergi kekamar Buna untuk membawa sebuah kotak yang dimaksud.

"Buna, " ucap Liza memberikan kotak itu kepada buna ketika dirinya hendak pergi buna menghentikan langkah.

"Sini dulu mau kemana? " ucapnya dengan sedikit tertawa kemudian menyuruh Liza untuk duduk disampingnya, ternyata ia bukan hanya akan menyuruh tapi juga memberi sesuatu untuk Liza putrinya.

Ketika Liza sudah duduk disampingnya Alisya dengan perlahan membuka kotak itu lalu memperlihatkan kepada Liza "Lihat ini. "

"Waahhhh Bunaaa, Liza sukaaa " Riang dirinya melihat apa yang ada dikotak itu, waktu itu Liza kecil pernah menginginkannya dan hendak meminta kepada papah dan buna tapi sayang, abang menolak keinginannya dan menghentikan langkahnya.

"Ada apa Bang? " ucap Liza saat itu ketika Eza berhasil menghentikan langkahnya.

"Papah dan Buna sedang tidak ada uang, Biar nanti abang yang belikan " ucap abang saat itu juga.

"Bagaimana Putri Buna menyukainya kah? " ucapnya menyadarkan Liza dari sebuah lamunan.

"Iyaa terima kasih Buna. "

Alisya memberikan kalung itu ke kedua telapak tangan Liza, "Buna Lihat ada namanya. "

"Coba baca. "

"Alaiza " sambil membaca sebuah nama yang ada di kalung tersebut.

"Buna terima kasih, " ucap Liza.

"Alaiza jagain Papah, Papah sayang banget dan Cinta sama Alaiza lebih dari Buna mencintaimu. "

"Maksud Buna, Buna tidak mencintai Liza? Menyayangi Liza? "

"Bukan begitu sayang, Buna lebih dulu pergi dan itu membuat semua Cinta Buna padamu usai dikehidupan nyata. "

"Tapi Cinta Alaiza ke Buna tidak akan usai. "

"Buna tahu itu, sangat tahu itu Putriku.. "

"Kenapa Buna berbicara seperti itu? " sambil mengeluarkan Air mata kala menatap wajahnya.

Buna mengusap mata gadis kecil  yang berair dengan lembut, sebelum dirinya mengusap air matanya buna lebih dulu mengusap airmatanya.

"Karena Buna lebih dahulu dari Papahmu, Sayangi dan Cintai Bang Ezamu pula Nak " ujar Alisya dengan tenang.

"Iyaa Buna. "

"Janjikan? "

"Iyaa Buna Alaiza janji. "

Kilas masalalu muncul dalam ruang sunyiku, terbangun dan tersentak semua yang terjadi dalam mimpi seperti nyata.

"BUNAAAAAA? " teriak Liza memaksa mata untuk membuka namun seakan enggan untuk membuka ia berusaha keras untuk itu.

"Alaaa? " ucapan spontan seseorang membuat matanya yang susah terbuka akhirnya terbuka, perlahan ia menatap sekeliling kamar ternyata ada abang disebelahnya.

Liza menatap wajah Eza yang terlihat khawatir mungkin karena Liza terbangun dengan memanggil Buna.

"Kalung " lalu beranjak dari ranjang berjalan ke arah lemari hal itu tentu tidak lepas dari pantauan mata abang, dengan tidak sengaja Liza mengacuhkan kehadiran Eza.

"Syukurlah, "  ternyata kalung itu masih ada, mendekati lalu memakaikannya dan tersenyum ketika abang membantu Liza untuk memakai kalung itu.

Kalung yang pernah Buna kasih 8 tahun lalu saat usiaku 10tahun, bayangan 8 tahun yang lalu itu kembali berputar sempurna percakapan yang masih jelas dan semburat wajah yang jelas terlihat, ada apa ini?

"Kenapa? " tanya Abang lembut memastikan semuanya baik-baik saja.

"Buna datang ke mimpiku Bang, "

"Buna merindukan Alaiza, "  dengan sedikit merubah nama panggilanku, nama panggilan kesukaan buna ketika buna masih ada disini bersama kami.

"Kita berdoa yaa, jangan seperti ini La nanti Buna sedih " dibalas anggukan kepala oleh Liza, benar ucapan Abang aku tidak boleh seperti ini karena hal ini bisa membuat Buna bersedih disana di dimensi yang berbeda.

"Kembali tidur yaa, minum dulu. "

"Terima kasih Bang. "

"Biar Abang yang temenin yaa. "

"Liza akan belajar mandiri Buna, " ujar Liza dalam hatinya ketika Eza menawarkan diri untuk menemaninya.

"La? Ala? Ayo tidur kok masih berdiri, " ucap Abang yang sudah duduk disamping ranjangku.

"Ala gak usah ditemenin Bang tidak apa-apa kok " setelah kalimat yang kuucapkan kepada buna 8tahun yang lalu itu muncul kembali terbawa ke alam nyata.

"Ala gak papa? " tanya-yah heran karena tidak biasanya Liza seperti ini, menolak untuk ditemenin.

"Engga kok, Ala bisa mandiri Bang. "

"Hmm beneran? " tidak yakin.

"Iyaa, " ucapku meyakinkan bahwa aku sudah beranjak dewasa loh aku udah besar, usiaku sudah 18tahun yang artinya tahun ini aku akan menamatkan pendidikan jenjang atasku, aku harus berubah aku tidak bisa terus seperti ini.

Aku bukan anak kecil lagi, Bukankah kata Buna aku bisa mandiri? tapi kenapa setelah kepergian Buna kemandirianku berangsur hilang, aku tidak tau kenapa itu bisa terjadi apa karena aku membutuhkan seorang Ibu? Bukankah setelah kehilangan kita menjadi dewasa tapi kenapa tidak denganku?

Katanya dunia ini bukan kejam tapi kamu saja yang terlalu manja dan belum bisa dewasa dalam menghadapi setiap persoalan yang ada dibumi.