Setiap pertemuan ada perpisahan? Begitu juga dengan hari ini.
Bagaikan hari yang tak ingin dilewati namun tetap harus dijalani, sesak di dada mulai tak tertahan berharap perpisahan ini tidak akan merubah segala tentang hubungan yang telah dibangun sejak lama.
"Jaga diri baik-baik disana " ucap Arsan tersenyum, Dira tersenyum menanggapi ucapan Arsan namun kali ini ia tidak bisa menahan air matanya Dira menangis.
"Jangan menangis Diraaa, " ucap Rio mencoba menghibur.
"Kamukan mau belajar Dir, " timpal Syila lalu merangkul Dira yang lemah.
"Kamu akan baik-baik saja disana Dir. "
"Iyaa, terima kasih Syila. "
"Dira nanti kamu bakal punya teman baru disana, aku harap kamu gak lupain kami. "
"Engga, aku gak akan lupain kalian " ucap Dira dengan air mata yang membahasi pipinya.
Syila menghapus air mata Dira " Jangan cengeng. "
"Iyaa, " ucap Dira lalu memeluk Liza. Dira meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah ia lakukan.
"Aku juga minta maaf Dir, Aku sayang kamu " ucap Liza tersenyum sambil meneteskan air mata. Liza mencoba menahan air matanya namun kali ini matanya tidak mau bekerja sama dengan dirinya.
"Aku, aku juga sayang Liza " ucap Dira dengan tangis yang belum reda, jika boleh meminta Dira ingin melanjutkan sekolah di Indonesia bersama dengan sahabatnya namun, tidak bisa.
"Rioooo, " panggil Dira setelah melepas pelukan Liza. Dira memanggil Rio dengan mata yang berkaca-kaca.
"Jangan nangis, kita hanya berpisah sebentar " ucap Rio lalu memeluk Dira.
"Jangan cengeng," sambil memukul-mukul punggung Dira.
"Iyaa Rio, " ucap Dira kemudian Rio melepas pelukannya meskipun Rio tidak menangis tapi percayalah hatinya terluka kala harus berpisah dengan dua sahabatnya, Rio mencoba menahan air mata dirinya tidak ingin membuat suasana menjadi lebih tegang.
Ketika Dira ingin memeluk Arsan dirinya malah terdiam, karena teringat dia pernah memeluk Arsan dengan lancang Dira malu dan tak ingin melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.
Arsan tau apa yang ada dipikiran Dira, setelah memberi semangat kepada Dion Arsan mencoba mendekati Dira yang terdiam "Dira, " panggil Arsan.
"Arsan? " jawab Dira namun tidak berani melakukan apa yang telah dilakukan kepada Rio Syila dan Liza.
"Maafkan aku jika ak___" ucap Dira menggantung kala Arsan memeluk Dirinya, Dira membenamkan kepalanya dipelukan Arsan ia kembali menangis.
"Aku sudah memaafkanmu, jangan menangis " ucap Arsan lalu mengusap kepala Dira pelan, Arsan mengeluarkan gelang dari jaket hoodienya lalu memberikan kepada Dira secara tertutup.
"Peganglah, lalu pakailah " ucap Arsan lalu Dira mengambilnya dan menyimpan di saku celana.
"Terima kasih. "
"Sama-sama. "
"Belajar dengan baik, aku menunggumu disini. "
"Iya, " ucap Dira lalu melepas pelukan Arsan karena speaker pemberangkatan telah berbunyi.
Dira dan Dion melambaikan tangan sebelum masuk ke area ruangan.
***
"Aku naik Grab yaa byee, " ucap Liza kemudian menaiki Grab yang telah di pesan oleh Eza untuk Liza.
"Pak berhenti dulu disana ya, " ucap Liza menyuruh sopir Grab untuk berhenti disalah satu cafe.
"Okee, saya masuk dulu ya pak " ucap Liza ketika mobilnya berhenti ditempat yang ia tuju kemudian Liza turun dari mobilnya.
"Iyaa mbak. "
Liza memasuki toko minuman, ia memilah dan memilih minuman yang cocok untuk suasana hatinya, "ini saja, " ucap seseorang sambil memberikan sebotol minuman kepada Liza.
"Kak Adit? " tanya Liza heran.
"Iyaa betul, ini enak kok aku sering beli ini. "
"Ohh ya terima kasih. " ucap Liza
Adit mengajak Liza untuk membayar minumannya, "aku yang teraktir " ucap Adit lalu mengambil minuman dari tangan Liza.
Setelah selesai Adit menyerahkan kantong plastik kepada Liza, Liza menerimanya lalu melihat isinya Liza heran kenapa ada coklat? Ia tidak membeli coklat " Coklat kak Adit ketinggalan nih. "
"Untukmu. "
"Beneran? Terima kasih, aku pulang dulu ya kak " ucap Liza tanpa basa-basi.
"Liza sebentar, " ucap Adit.
"Kapan ada waktu? "
"Untuk? "
"Berjalan-jalan bersamaku, " ucap Adit setelah berperang dengan pikirannya dan berharap Liza mempunyai waktu untuk menyempatkan berjalan-jalan bersama dirinya.
"Nanti Liza kasih tau, bye kak. "
"Aku akan menunggu, " ucap Adit setelah Liza menaiki mobil.
.
.
Dalam keheningan tiba-tiba bayangan Alisya muncul, dirinya hadir ditempat yang sama dengan Liza lalu tersenyum dan mengusap pelan pipi Liza, Liza terdiam merasakan sentuhan tangan itu "Buna? " ucap Liza.
Alisya mengangguk lalu tersenyum, Alisya duduk disebelah Liza kemudian mengusap pelan rambut Liza yang kini berbaring dengan kepala di pahanya, ia tersenyum kala Liza menceritakan semua yang telah ia lalui.
"Buna Liza kangen sama Buna, sekarang Liza sudah lulus sekolah Buna " ucap Liza dengan hati yang berbunga karena kini dia bisa bercerita kepada Alisya, inilah yang ia tunggu.
"Buna tau? Liza pernah sayang guru Liza, " ucap Liza membuat usapan Alisya berhenti Liza seakan paham apa artinya dan ia kembali berucap "tapi kini engga Bun, sekarang Liza bingung sayang sama siapa " ucap Liza kemudian bangun dari berbaringnya dan bersandar dipundak Alisya.
"Buna sayangkan sama Liza? " ucap Liza sedikit menangis.
"Buna menyayangimu, " jawab Alisya.
Seperti ada namun tidak ada, ini berbeda seperti bukan halusinasi atau bunga dalam mimpi, kilatan itu begitu cepat.
"Mbaak? Sudah sampai " ucap Sopir membangunkan Liza dari tidurnya, ia mencari Alisya dengan matanya kesana kemari namun yang di cari tidak ada hal itu membuat sopir grab aneh.
"Mbak kenapa? " tanya sopir grab kepada Liza yang matanya mulai berkaca-kaca.
"Tadi aku ngapain? " tanya Liza memastikan bahwa itu bukanlah mimpi, dan sang sopir menjawab bahwa dari 1jam yang lalu Liza tertidur gelisah sambil memanggil - manggil nama Buna. Liza terdiam dengan jawaban sopir grab.
"Terima kasih pak. "
"Mbak gak papa? "
"Engga, " ucap Liza kemudian masuk kedalam rumahnya.
Hal yang pertama ia temui dirumah ialah Rama papahnya yang sedang bermain dengan laptopnya, Liza mendekat lalu tersenyum kemudian bertanya ternyata Rama sedang bekerja.
"Bolehkah adik peluk Papah? " tanya Liza membuat Rama menghentikan aktivitasnya, Liza mengira Rama akan acuh namun ternyata Rama menutup laptopnya lalu memeluk Liza sambil tersenyum perlahan Rama mengusap punggung dan rambut anak gadisnya sambil bertanya ada apa.
'Liza bertemu Buna Pah, tapi dalam mimpi tapi Pah ini seperti bukan mimpi " Batin Liza.
Rama membujuk Liza untuk menceritakan apa yang terjadi namun Liza hanya bungkam, Liza tak ingin membuat Rama juga merindukan Alisya seperti dirinya. Liza melepas pelukan Rama lalu pergi ke kamarnya.
Liza masuk ke kamarnya mencoba untuk tenang dan tak menangis, ia membaringkan tubuhnya ke kasur berharap rasa rindu bisa menghilang tanpa harus bertemu.
Rindu yang paling menyakitkan adalah bukan lagi tentang jarak tapi tentang sebuah alam yang sudah berbeda.
"Pah adik udah pulang? " tanya Eza kepada Rama, tidak biasanya Liza tidak menyambut saat Eza pulang dari kantornya.
"Papah gak tau adik kenapa, Papah udah coba bujuk tapi adik diam Abang coba tanya yah " ucap Rama memberi harapnya kepada Eza. Rama khawatir Liza sedang tidak baik.
Eza mengiyakan harapan Rama, Eza memberi hal yang positif kepada Rama supaya Rama tidak berpikiran negatif terhadap Liza, Rama menduga Liza merindukan Alisya tapi Rama berharap bukan itu yang membuat Liza murung dan bungkam.
"Baiklah Abang ke kamar adik dulu ya Pah. "
Sebelum kekamar Liza, Eza membersihkan dulu dirinya setelah itu baru dirinya masuk ke kamar Liza adik tercintanya, hal yang pertama ia dapat adalah Liza sedang tidur dengan mata sembab.
Eza mengusap pelan mata Liza sambil merapalkan doa berharap Liza baik-baik saja lalu mencium keningnya, dan hal itu membuat Liza terusik. Liza bangun dan yang pertama ia lihat adalah Eza sang kakak yang menatapnya dengan tatapan lembut.
Eza mengusap pelan rambut Liza sebelum berbicara, disinilah kehati-hatian dan kelembutan harus ia gunakan "Ala kenapa? " tanya Eza namun Liza diam tak bergeming.
Eza memberi Liza minum terlebih dahulu setelah itu Eza mencari cara dengan memancing kalung yang sering Liza gunakan, kalung berhuruf pemberian Alisya Sang buna "Lihat kalung pemberian Buna, " ucap Eza respon Liza mengejutkan, mata Liza berkaca-kaca.
"Aku bermimpi bertemu Buna, Bang " ucap Liza lalu menangis, Eza memeluk adiknya. Apa yang ia takutnya ternyata terjadi kesalahan Eza seperti berlipat Eza merasa menyakiti adiknya dengan double pertama ia lancang menyebut Liza sebagai dalang kematian Alisya dan membuat Liza menjadi pendiam lalu kedua ia merasa rasa sakit itu menjadi kerinduan bagi Liza dan rasa sakit bagi Eza.
"Maafin Abang. "
"No problem Bang Liza hanya merindukan Buna itu saja, " ucap Liza tanpa mengatakan bahwa ia bertemu dengan Alisya dalam mimpinya.
"Sudah jangan nangis ya, " ucap Eza lalu mengusap air mata yang mengalir Liza, 'aku harus melakukan sesuatu untuknya, agar dia bahagia yaa Papah pasti bisa bantu aku. " -batin Eza.
Sesudah menemui Liza, Eza menemui Rama berharap Rama akan setuju dengan ide nya ia hanya tidak ingin membuat Liza seperti beberapa bulan yang lalu. Jika dulu Eza membuat Liza menangis kini Eza akan berusaha membuat Liza tersenyum.
"Papah setujukan? " ucap Eza berharap.
"Tapi bukan dengan Alvian temanmu itu? " tanya Papah memastikan.
"Bukan, beneran bukan izinin ya Pah. "
"Baiklah jika itu akan membuat Putri Papah senang. "
"Sabutlah hari esok dengan bahagia adikku, kini Abang tau lelaki mana yang ada dihatimu. "