2

Itu kelebihan atau satu kekurangan Ray juga ngga' tahu. Yang pasti itulah yang paling membedakan jurusan IPA dan IPS, IPA terus pasti, jika IPS terus dengan perkiraan dan pertimbangan, hingga pembuatan Makalah tetap menjadi bagian terpenting, beda dengan IPA yang pasti kelar bila masuk Laboratorium.

" Yok Ray.. ".

" Okey.. ".

Ray juga buru-buru ambil buku dan catat dibagian Administrasi karena bel tanda masuk sudah terdengar kencang sekali. Ray ambil buku Antropolgi jilid 3, simpan dibelakang dengan selipkan diantara ikat pinggangnya, dan setengah berlari menuju ruangan kelasnya yang punya jarak lumayan jauh dari lokasi pustaka.

Setiap mata Ray dan Tantia bertemu, Ray harus menerima cibiran Tantia. Ray sebenarnya udah merasa amat geli dengan apa yang dilakukan Tantia padanya, Ray merasa apa perlunya Tantia main cibir seperti itu.

Dan memang Ray merasa seperti ngga' yakin aja dengan tingkah Tantia. Ray merasa Tantia yang kini itu bukan Tantia yang ia kenal dulu.

" Kok senyum senyum Ray ?".

Ray melirik kearah Bastian. " Ngga' apa-apa ".

" Asal jangan miring ajalah ".

" Asal ngomong aja ".

Bastian kembalikan pandangannya kearah depan, Ray masih juga terus berusaha melirik kearah Tantia, dan memang Tantia juga teramat sering lirik kearah Ray dan kembali mencibir.

Walau terus begitu, ray tetap juga melirik kesana, hingga bel istirahat kedua terdengar entah sudah berapa kali mereka saling pandang, dan Ray dapat cibiran. Amat sering sekali, hampir satu dalam tiga menit.

Ray tak selera masuk pustaka, buku yang ia bawa tadi waktu istirahat pertama aja belumselesai ia baca, lagian istirahat kedua tak lebih 15 menit waktunya, hingga Ray lebih memilih masuk kantin dan pesan minuman.

" Ada yang kirim salam Ray ".

" Apaan ?".

Ray hanya tersenyum dan bergeliat menerima colekan tangan Deni diperutnya. Deni langsung duduk dean pesan minuman sama dengan apa yang ada didepan Ray, teh manis dingin.

" Ada yang titip salam Ray sama kamu ".

" Siapa ?".

" Orangnya cantik, manis, pintar, dan.. pokoknya siplah, Cuma… ".

Mulut Deni terus terbuka dengan senyuman, Ray juga melakukan hal yang sama, hanya bedanya Ray pakai tambahan geleng kepala.

Ray tetap tersenyum mendapat tingkah laku Deni yang senggol senggol bahunya dengan bahu Deni seakan meledek. Tapi Ray tak pernah punya rasa marah.

" Cantik sih Ray.. Cuma.. ".

" Cuma apa ?".

" Agak cerewet ".

" Siapa ?".

" Tantia ".

Deni langsung menggeliat, bahkan sampai harus berdiri agar gelitik dua tangan Ray diperutnya bisa lepas. Deni masih juga sanggup ketawa lebar, Ray hanya senyum-senyum aja. Deni kembali duduk disamping Ray.

" Serius Ray ".

" Enak aja. Kirim salam, kirim salam apa ?".

" Kirim salam aja ".

Ray kembali geleng geleng kepala. " Ngapain tulis nama ayahnya ?".

" Siapa yang nulis ?".

" Masih pura pura bego' pula ".

Deni lebih cepat dari Ray untuk comot satu kue bolu yang tersisa diatas piring yang ada didepan mereka. Deni langsung menelannya sekaligus. Tapi Deni akhirnya kelabakan, karena tak ada minuman didepannya, pesanannya belum nyampe, Deni langsung sambar minuman Ray dan langsung teguk.

Kali ini Deni harus lari hingga keluar, karena minuman Ray yang ia teguk belum dingin, hingga Deni harus mengelurkannya dan kepanasan.

Ray hanya geleng kepala sambil tepuk jidat melihat ulah Deni. Deni masuk lagi dengan muka merah dan memegangi bibirnya yang serasa terbakar.

" Sial kau Ray ".

" Kok aku yang sial ?".

" Ngga' ngomong kau ".

" Siapa suruh minum langsung ".

Deni terdiam juga. Deni berdiri lagi, ambil gelas dan air putih, minum sepuasnya, Ray kembali hanya gealeng kepala hingga Deni kembali duduk ditempat duduknya yang tadi.

" Kau jahat Den ".

" Kok jahat, jahat apaan ".

" Dasar kau. Sok lupa pula kau lagi ".

" Iya. Jahat apanya ?".

" Ngapain tulis nama ayah Tantia di papan tulis ?. lagian darimana kau tahu nama ayahnya ?'.

Deni pura pura bingung, bahkan kerutkan keningnya dalam dalam. " Itu lagi, tadi udah ditanya. Nulis apaan ?".

" Pura pura bodoh pula kau ".

" Iya.. tapi apa ?".

" Dasar ".

Deni tertawa lebar, dan lagi-lagi harus berdiri agak menjauh agar gelitik Ray bisa lepas. Deni akhirnya pilih duduk didepan Ray, dan hanya elakkan saja sedikit saat kaki Ray berusaha menjangkaukan kakinya ke selangkangan Deni.

" Aku Cuma main-main ".

" Main-main apamu ?".

Deni rentangkan tangan. " Aku mana tahu kalau Tantia begitu marah, Nabi aja nama ayahnya sering disebut ".

" Tantia itu Manusia Bos ".

" Yang bilang Tantia Jin siapa ? ".

Deni terus mengumbar tawanya dan Ray hanya bisa geleng kepala aja. Ingat cerita kemarin saat Ray disemprot Tantia membuat Ray ketawa juga. Kini tak lagi ada marah dalam hati Ray, yang tinggal hanya rasa lucu aja.

... Bersambung ...