Ray beresi buku Diari Tantia, masukkan kedalam tas dan keluar rumah, tujuan Ray adalah rumah ayah Tantia.
" Pak. Aku ingin berikan sesuatu ".
" Ada apa Ray ".
" Bapak lihat ini dulu ".
" Apa ini Ray ?".
" Buku catatan Tantia ".
" Catatan Tantia ?".
Ayah Tantia terima buku yang ada ditangan Ray dan membukanya. Sesekali Ayah Tantia ke buku sesekali ke arah Ray yang hanya tertunduk.
Darah ayah Tantia mendidih membaca tulisan anaknya. Ayah Tantia letakkan diary Tantia, agak tunduk dan husap wajahnya.
" Ray.. apa ini Ray ?".
" Karena itu aku berikan ke Bapak ".
Gigi ayah Tantia saling ketemu. " Bapak ke Kantor Polisi Ray ".
" Itu lebih baik Pak ".
Ayah Tantia berdiri, masuk kamar, ganti Pakaian dan raih buku diary Tantia dan langsung keluar rumah dengan muka yang garang.
Bu Olivia istri kedua ayah Tantia yang amat terkejut melihat wajah ayah Tantia, apalagi ia tidak tahu, mata Bu Olivia beralih ke Ray. Bu Olivia duduk didepan Ray.
" Kamu Ray pacar Tantia kan ?".
" Benar Bu ".
" Ada apa ?".
Ray buang nafas berat. " Ini soal Tantia ".
" Tantia ?".
Ray anggukkan kepala membuat kerut kening Bu Olivia makin dalam, pandangan Bu olivia tajam kearah Ray yang wajahnya juga amat layu. Ray ngga' tahu harus memulai dari mana cerita yang ia tahu, Ray bersandar kesandaran kursi.
" Bayi yang dikandung Tantia itu adalah anak dari Om Farid, ayah tirinya ".
" Farid ?".
" Tantia tulis itu di buku hariannya ".
Muka Bu Olivia ikut memerah, muka Bu Olivia amat tegang, tapi yang namanya perempuan, Bu Olivia kemudian tertunduk dan terisak.
Bu Olivia terus geleng kepala, ia tak terima perlakuan itu, walau Tantia bukan anak kandungnya, tapi Bu Olivia amat sayang pada Tantia.
Rasa cinta seorang Ibu pada anaknya, apalagi hingga saat ini Bu Olivia belum juga punya keturunan, hingga Tantia amat berarti bagi Bu Olivia saat ini.
" Ray Pulang aja Bu ".
Bu Olivia anggukkan kepala. " Makasih ya ".
Ray membalas pelukan Bu Olivia yang masih terus menangis. Begitu pelukan mereka lepas, Ibu Olivia hidupkan sepeda motornya dan melaju kejalan raya menyusul ayah Tantia kekantor polisi, Ray masih terus memandang punggung Bu Olivia hingga hilang ditikungan jalan. Ray buang nafas berat dan stop beca dayung dan naik.
Ray kembali husap mukanya dengan kedua tangannya. Ray merasa sebaiknya pulang saja, yang tersisa saat ini adalah Ray tahu kalau pada hal yang sebenarnya Tantia amat mencintai Ray, dan Ray juga sebenarnya punya hal yang sama, tapi itu semua sudah tak ada gunanya, semuanya sudah usai dimakan setuasi yang ada.
Ray sebaiknya pulang. Cukup sudah Ray punya hubungan dengan semua kehidupan Tantia, Tantia udah tinggal kenangan, sudahlah, biar ayah Tantia yang meneruskan semuanya, Ray sebaiknya diam saja, kalaupun ia tahu bagaimana ujungnya, sebaiknya ia tahu dari koran saja.
OO oo OO
Mata Ray justru lebih dulu kearah nama dan nomor Tantia, dan ada. Tantia juga lulus UN, Ray juga lulus, tapi itu semua membuat pikiran Ray terasa hampa. Kalau saat ini ada Tantia dan mereka sama lihat mereka lulus, alangkah bahagianya.
" Ngga' ikut Ray ?".
Ray gelengkan kepala. " Aku ada kerja dirumah Den, kamu saja ".
Deni tak menjawab lagi, Deni berbalik dan tinggalkan Ray sendirian. Ray tak punya semangat yang cukup saat ini, melihat nama dan nomor Tantia yang terpampang disana membuat Ray makin tak mampu menutup sedihnya
Hingga Ray lebih memilih pulang, tidak seperti kawan-kawan Ray yang asyik berlompatan dan saling peluk satu dengan lainnya. Ray pilih pulang kerumah, masuk kamar dan tiduran.
" Ray.. ".
Ray angkat kepala. " Bas ".
Bastian langsung duduk disamping Bastian tanpa disuruh. Ray walau cukup heran dengan adanya Bastian tapi Ray lebih memilih diam. Tangan Bastian menepuk bahu Ray perlahan-lahan.
" Akhirnya kau tahu juga Ray ".
" Maksudmu ?".
Bastian menepuk bahu Ray dan sandarkan tubuhnya kedinding kamar Ray. Ray terus pandangi wajah Bastian yang tampak lusuh.
" Tantia.. ".
" Tantia ?. Maksudmu ?".
Bastian menghusap air mata yang tiba-tiba datang disudut matanya. Bastian tertunduk, gantian Ray yang menepuk bahu Bastian.
" Aku tahu semua soal Tantia ".
" Bas ?".
Ray lama memandang Bastian. Bayangan bayangan keadaan yang dulu membimbing otak Ray. Terasa benar sekarang perlakuan Bastian pada Ray dipustaka dulu. Ray buang nafas berat dan gelengkan kepala.
" Terlalu jelek kalau aku ceritakan padamu tentang semua itu ".
Ray agak bingung. " Maksud Kamu ?".
Gantian Bastian yang buang Nafas Berat, mata Bastian dan Ray bertemu pandang. Bastian senyum tipis, Ray juga melakukan hal yang sama sebelum keduanya kembali kearah pandang semula.
" Terlalu jelek untuk diceritakan, hingga aku ambil jalan pintas, aku berusaha menghalangimu dekat dengan Tantia dengan caraku ".
" Jadi ?".
Mata Ray membulat, sedang Bastian masih berlinang air mata. Bastian menghusap mukanya dengan sekuat tenaga, buang nafas berat sekali seakan ingin membuang semua yang ada didadanya yang amat penuh. Ray hanya kerutkan keningnya dan terus memandangi Bastian.
" Kamu tahukan Ray, sore aku bantu ayah bersih-bersih di Penginapan ".
" Aku tahu ".
" Satu kali aku melihat Om Farid masuk bersama Tantia, mereka melakukannya disana, aku melihatnya ".
" Kamu ?. Kok.. ".
" Aku pikir mereka berbuat atas dasar suka sama suka Ray, karena aku tak melihat adanya perlawanan dari Tantia ".
Ray pejamkan matanya kuat-kuat. Bayang Tantia masih kuat menguasai pikirannya, perkataan Bastian hanya menambah luka yang ada dihati Ray, yang pasti Ray amat teluka dengan semua ini.
" Sebegitunya Bas ?".
Bastian anggukkan kepala. " Memang begitu Ray ".
" Sudah Lama ?".
Bastian angguk kepala lagi. " Cukup lama".
Ray memandang Bastian sesaat dan kembali kepandangan semula lagi. Bayang Tantia terus tetap ada.
" Kenapa kamu harus menangis Bas ?".
Bastian husap air matanya. " Apa kamu pikir hanya kamu yang sayang padanya ?".
Ray mendelik. Tapi Ray hanya bisa geleng kepala lagi, semuanya sudah berlalu, semua sudah terjadi, gadis manis bernama Tantia yang Ray cinta sudah berada dialam yang berbeda, dia sudah pergi selamanya bawa dukanya yang menganga, dan ia takkan lagi kembali walau hanya sesaat saja.
TAMAT