Takdir (lotsbestemming Part Syahra)

Dari hidupku aku mempercayai satu hal bahwa keajaiban itu hanya datang satu kali, namun jika itu tidak datang hanya satu kali pada hidupmu, maka itu adalah takdir mu. Sama halnya dengan bertemu dengannya Muhammad Khaffi Aljazair dia adalah suatu keajaiban bagiku, entah kapan aku akan bertemu dengannya lagi, namun karna bertemu dengannya adalah suatu keajaiban. Maka, aku tidak akan bertemu dengannya lagi.

Ini adalah hari ke 100 semenjak aku mulai berkuliah di UI, hari-hari baru yang aku jalani membuatku semakin sibuk, hingga ibu menjadi semakin protective padaku. Aku harus menelponnya tiap aku pulang kampus dan bercerita banyak hal dengannya termasuk tentang Muhammad Khaffi Aljazair dan untuk pertama kalinya aku bercerita tentang seorang lelaki pada ibuku, ini membuat ku semakin larut dalam mimpi.

Malam yang berganti pagi, seolah menyadarkan setiap manusia betapa besarnya kuasa Tuhan, aku tak henti-hentinya berdo’a untuk ibu dan kelancaran kuliah ku, hingga tanpa sadar waktu terus berputar dan untuk kesekian kalinya aku terlambat lagi kekampus, hingga aku terpaksa mengandalkan kakiku yang baru sembuh untuk berlari kembali.

Entah apa yang salah dengan setiap langkah yang ku ambil, kali ini aku tersandung didekat lantai semen yang belum jadi disekitar kampusku, hingga tangan yang ku kenali itu menyambutku dengan indah. Jantungku seolah berdegup dengan kencang ketika melihat wajahnya, Muhammad Khaffi Aljazair aku dipertemukan kembali dengannya.

Dia membimbing ku menuju kursi taman kampus, lutut ku terasa mati rasa ketika dia menyentuhku. Degupannya, aku takut dia bisa mendengar bagaimana suara jantungku terhadapnya. Khaffi menyentuh bagian kakiku yang terasa sakit, seketika sentuhannya cukup membuat kakiku kuat untuk berdiri kembali, aku tak inginkan ini terlalu berlarut hingga aku pergi meninggalkannya dengan ucapan.

“Terima kasih!”

Aku berlari menuju kelasku seolah takut akan terjebak disituasi seperti itu, aku meninggalkan keajaiban bertemu dengannya sekali lagi. Hingga, aku terus berfikir bagaimana bisa aku bertemu dengan Khaffi dikampus ku. Namun, lamunan itu lenyap seketika bersamaan dengan gemuru petir yang menyambar dilangit biru yang mulai tertutupi awan hitam.

Seketika pandanganku tertarik melihat keluar jendela kelasku, dan pandanagn ku terhenti ketika melihat Khaffi sedang memayungi seorang nenek yang tampak kesusahan untuk berjalan, dia membimbing nenek itu hingga berteduh dihalaman kampus UI. Ini membuat ku semakin bertanya-tanya apa mungkin dia seorang pria yang selalu sebaik itu pada siapa pun?

Menatapnya membuatku sadar, bahwa Khaffi juga berada dikampus yang sama dengan ku, baju almamaternya persis sama dengan mahasiswa UI lainnya. Betapa menakjubkannya. keajaiban ini. Tidak! Aku rasa bahkan ini bukan lagi menjadi sebuah keajaiban, melainkan takdir. Takdirku untuk bertemu dengannya kembali.

***