7 Rasa Penasaran Rama

"Ugh... Tapi kan kakak sering kuomelin juga selama ini," kata Leon. Dia menyembunyikan bibir di balik gelas es lemonnya.

Alex menggeleng-gelengkan kepala. "Leon... Leon..." desahnya. "Diomelin karena kau peduli kakak, khawatir sama kakak, dan sayang sama kakak. Kenapa harus diambil hati? Coba kalo kamu diem sebentar aja gegara benci... Kakak bakal langsung kabur dari kamu."

"Leon kan belum paham gituan..."

Alex pun tertawa. "Oke, nanti Kakak ajarin deh pelan-pelan. Nggak usah sedih ya. Kapan pada waktunya kamu juga bakal dewasa."

"..."

Leon tak menjawab, Alex cukup tahu anak itu memikirkan segalanya dengan serius selama ini.

"Jadi, kakak nggak masalah kalo nanti nggak dapet bayi dari aku?"

"Hm," kata Alex. "Lagipula kalau nggak ada yang seperti kita, anak-anak di panti asuhan banyak yang bakal dewasa tanpa orangtua. Paham?"

"Tapi kalau kita ambil adopsi, nanti dia bakal melihat dua ayah dong?" tanya Leon.

Alex justru tertawa semakin keras. "Terus maksud kamu itu gimana."

Leon pun mendengus, "Kakak nggak ngerti deh maksud aku," keluhnya.

Alex pun mengernyitkan kening, "Jadi maksud kamu... Kamu khawatir ya kalau suatu hari nanti anak yang kita adopsi bakal ikut-ikutan kayak kita."

Leon pun membuang muka, "Ih kayak gitu kayak gituan nggak usah dijelasin kan... Dasar AsDos nggak tahu diri."

Alex pun justru tertawa mendengarnya. "Jadi kamu maunya apa," tanyanya. "Atau kita nanti pesen aja sama ibu kandung?"

"Ibu kandung?" tanya Leon.

Alex pun segera memperbaiki perkataannya. "Bukan. Maksud aku bukan ibu kandung seperti biasanya."

Kening Leon mengernyit.

"Aku nggak bener-bener paham," kata Leon.

Alex pun menghela nafas panjang. "Jadi kamu nggak pernah denger ya istilah ibu yang di sewa gitu..."

Leon diam.

Alex pun berdehem dan kemudian mencoba menjelaskan segalanya satu-persatu.

"Gini nih kalau kamu nggak tahu tentang hubungan seperti kita lebih dalam..." kata Alex. Tapi dengan senyuman tipis di wajahnya.

Leon pun meminum air putihnya dari gelas sebelum mendengar penjelasan Alex. "Oke jelasin."kata Leon.

Alex pun mengangguk. "Oke dengarkan baik-baik ya," katanya. "Tapi tentu nggak di sini."

"Terus?" tanya Leon.

Mendadak Alex beranjak dari kursinya. "Yuk kita keluar dulu dari resto, bayar, terus kita ngobrol sambil jalan."

Meskipun tidak menjawab, Leon sebenarnya penasaran dengan apa yang akan dikatakan Alex. Dia pun mengikuti kekasihnya itu seperti anak ayam.

Mereka keluar dari resto sekitar dua jam kemudian.

"Kakak mau bilang apa sih sama aku," tanya Leon setelah mereka duduk dalam taksi.

Alex pun menghela nafas panjang. "Singkatnya ada yang namanya Surrogacy di dunia ini," katanya. "Kalo ada pasangan gay yang ingin punya anak, mereka titip janin di rahim wanita bayaran."

Leon tampak tertegun sejenak.

"Jadi Kak... kita semacam bikin anak lewat mereka gitu? Nganu sama mereka?" tanyanya.

Alex ingin tertawa mendengarnya. "Ya nggak harus nganuin mereka," katanya.

Begitu paham. Leon pun merona dan refleks memaki-maki.

Alex pun menepuki pucuk kepalanya lembut. "Kayah gitu tuh udah biasa kalau di negara liberal..."

"Tapi kayaknya nggak baik kalo kita yang lakuin itu..." gumam Leon.

Alex pun terkekeh pelan. "Tapi menurutku, daripada memusingkan masa depan yang masih sangat-sangat jauh... Kenapa kita nggak fokus dulu aja dan yang ada di depan? Kamu kan juga masih harus mikir buat masuk ke universitas sesuai keinginanmu."

Leon diam mendengarnya.

"Kalo butuh bantuan untuk ujian akhir bilang aja," kata Alex. Memandang ekspresi di wajah Leon dari samping. "Selagi kakak bisa, pasti bakal bantuin."

"Oke, makasih..."

"Hm? Kalo udah gini kamu jadi penurut ya. Hahaha..."

Leon pun mendecih seketika. "Ck. Bacot si. Udah bagus suasananya serius juga. Malah bercanda lagi—ah!"

Alex mendadak merangkul anak itu layaknya sahabat sembari berjalan. "Udah... Udah... Nggak baik marah-marah terus. Yuk lanjut. Kita bagusnya ngapain lagi hari ini."

Mereka pun melanjutkan rencana hari itu. Kencan layaknya pasangan normal biasa. Walaupun berinteraksi lebih seperti teman baik daripada kekasih. Leon sendiri lebih sering menjaga jarak dari Alex kalau sudah diajak begitu. Anak itu paham bagaimana cara bertahan dengannya apalagi setelah 6 tahun berhubungan.

Waktu yang sangat tidak singkat.

Alex bersyukur mereka baik-baik saja. Dia bertekad menjadi sosok ayah juga selain kakak. Dengan begitu masa depan Leon akan terarah dengan baik. Visinya. Misinya. Cita-citanya. Kebahagiaannya.

Keberadaan Rama yang memahami mereka berdua juga sangat-sangat membantu. Alex bahkan tertawa melihat ekspresi Leon yang salah tingkah saat dia ingin membawakan oleh-oleh untuk mereka berdua saat pulang.

"Apa-apaan sih kak? Nggak usah begitu nggak papa kok! Rama juga ngerti dia harus ngapain..." kata Leon. Dia menolak belanjaan satu tas plastik dari supermarket yang Leon kira untuk Alex sendiri. Plus dua kotak pizza ektra keju kesukaannya.

"Nggak... Pokoknya nurut aja sama kakak," kata Alex. "Ini juga hadiah buat dia yang udah ikut jagain kamu selama ini. Jadi kasih aja. Stok belanjaan kakak di kulkas masih penuh kok."

"Beneran?" tanya Leon.

Alex justru berlagak menyebalkan. Dia mengangkat dagu seolah-olah sudah jadi bos perusahaan terkenal. "Beneran dong. Kan udah jadi Sugar Daddy sekarang... Hahaha!"

Kesal, Leon pun menendang kaki Alex sepuasnya.

DUAKH!

"Aduh! Sial!" jerit Alex. Sementara Leon melenggang ke zebra cross yang sudah sepi begitu saja. Meninggalkan Alex yang buru-buru menyusulnya dengan tawa.

Leon sendiri bersungut-sungut. Meskipun begitu, wajahnya sangat merah setelah pulang di hadapan Rama yang berkedip-kedip melihatnya membawa belanjaan sebanyak itu.

"Woah anjir! Baru aja bolos buat ngerampok supermarket atau gimana nih?" tanya Rama usil.

Leon pun segera mengunci pintu asrama dari dalam dan meletakkan semuanya di tengah-tengah karpet ruangan.

"Tauk tu. Tanya aja Kak Alex. Kulkas kita bisa penuh sampe sebulan ke depan kalo begini caranya..." keluh Leon.

Rama justru ikutan merah ketika duduk bersila di depan semua belanjaan itu dan melihat satu gigitan merah samar mengintip dari leher teman sekamarnya itu.

"Ehem. Nggak lupa bilang makasih kan tadi?"

DEG

"Sial belum!" seru Leon. Tapi kemudian dia membuang muka.

Rona merah Rama pun semakin pekat saat melihat jam tangan bermerek Louis Vuitton di pergelangan tangan kiri Leon. Jantungnya berdegup kencang. Dan pikirannya sudah kemana-mana saat Leon sadar sudah diperhatikan.

Leon pun memukul kepala Rama kesal.

"Hei cukup! Aku tahu kamu mikir apa bengek!" serunya kesal.

Rama pun tertawa gugup dan segera berdehem melihat Leon yang sudah mati-matian menahan diri agar tidak lebih meledak dari ini.

"Ehem... Nanti jangan lupa chat kak Alex kalau begitu," kata Rama.

"Iya lah pasti! Nggak usah dibilangin juga. Astaga."

"Wah... Bahkan ada pizza di sini. Cocok banget sore-sore laper..." kata Rama. Lalu membuka salah satu kotak pizza di sana.

Leon pun melakukan hal yang sama. Tapi tangannya gemetar saat Rama mulai bertanya.

"Ngomong-ngomong, Leon. Kamu kan udah ngejalanin hubungan kayak gitu sama Kak Alex lama banget," kata Rama sambil menyantap pizza-nya. "Aku jadi penasaran enak nggak sih begituan sama cowok?"

Leon nyaris tersedak jika saja dia tak segera mengendalikan diri.