8 Keraguan Di Hati Rama

"Uhuk! Apa?"

Rama justru melanjutkan obrolan itu. "Tahu kan maksudku? Bukannya kalian udah nganu-nganu juga selama ini?"

Leon pun membuka soda kalengan, menenggaknya, dan menjawab dengan degup jantung yang sangat gila.

"Astaga! Ya iyalah. Kamu pikir kita ngapain aja sampe sekarang?" katanya setengah kesal kepada Rama. "Tapi... Tapi kenapa mendadak nanya sih?"

"Ya gimana ya... Penasaran aja," kata Rama. "Walaupun otakku nggak nyampe mikirinnya. Jadi masukinnya kemana btw?"

Kalau ini komik, pelipis Leon pasti sudah dihiasi simpang empat. Dia meletakkan pizza yang baru separuh digigit. Berdiri. Menarik tangan Rama hingga ikut beranjak juga.

"Hoi! Kita mau ke mana, Leon!"

Leon tidak peduli. Dia terus menarik Rama masuk ke kamar mandi di dalam kamar itu. Menguncinya dari dalam. Lalu melemparnya ke lantai yang untungnya sudah kering.

Rama terbelalak saat Leon menduduki pinggulnya, menahannya tetap terebah, sementara teman sekamarnya itu mulai membuka kancing kemejanya satu per satu.

"H-HEI.... Hei... Hei... Tunggu dulu, Leon. Kami ini mau ngapapain anjir!" seru Rama panik.

"Diem aja kenapa sih!" seru Leon. "Kamu kan pengen tahu, jadi daripada nganggep aku aneh terus kedepannya. Apalagi mikir hal-hal yang lebih jauh. Sekalian tahu aja sekarang..."

DEG

"Apa?"

Begitu kemeja jaket luar dan kemeja Leon meluncur turun dari bahunya.... Rama pun meneguk ludah melihat tubuh mulus teman sekamarnya itu sudah berhias merah-merah lain. Padahal dia yakin kemarin Leon belum begitu. Tapi, memang sih... Anak ini jarang telanjang setelah keluar dari kamar mandi.

Setiap keramas, Leon pasti sudah mengeringkan rambut dengan handuk di dalam dan memakai kaus lengkap boxernya ketika keluar. Jadi, kalau pemandangan seperti ini bisa dilihat matanya dari dulu... Rama yakin otaknya sudah konslet sbelum siap tahu segalanya.

Glek!

"U-Uwah... Shit!"

Rama pun menutup mulutnya dengan punggung tangan. Tatapan matanya berlari kemana-mana. Antara tidak mau melihat pemandangan itu dan penasaran apakah semuanya nyata atau tidak.

Leon sendiri membiarkan teman sekamarnya itu diam sebelum kemudian melipat kedua lengan di dada.

"Jadi, ada yang mau ditanyain?" tanya Leon dengan santainya.

Rama tertawa terbahak-bahak hingga perutnya keram mendengarnya. "Oke-oke! Paham kok paham astaga!" dia bahkan terbatuk-batuk beberapa kali. "Cuman nggak nyangka aja bisa begitu! Hahaha... Kalian pasti bahagia sekali selama ini. Dih jadi ngiri aku bengek..."

Leon pun menghela nafas panjang. "Ya cari pacar sana. Tapi kan kamu normal. Jadi jangan sampai cewekmu kebobolan kalo lagi nganu," katanya. Padahal dulu dia tipe yang sangat-sangat canggung membicarakan hal seperti itu.

Tawa Rama pun mereda. Nafasnya mulai teratur dan dia menatap Leon baik-baik kali ini. "Iya, tahu..." katanya. "Tapi sumpah nggak sampe mikir aku kalo kamu bakal nunjukkin semuanya kayak gini ke aku. Di kamar mandi pula woe! Aku pikir bakal diperkosa—"

"CK! Nggak usah mikir macem-macem deh..." decak Leon sebal. Di pun kembali mengancingkan kemejanya satu per satu.

Sementara itu Rama masih diam memandangi Leon yang terlihat baik-baik saja dengan pilihannya. Gila sekali anak itu. Padahal dipikir-pikir biasanya mereka menjalani kehidupan yang normal. Tapi, kalau sudah menyadari hal ini lebih lagi... Rama jadi merasa agak sangsi.

Dia bahkan menatap bibir Leon lebih lama hanya karena penasaran apa di sana ada bekas ciuman dari pacarnya.

"Apa liat-liat?"

"Nggak kok. Cuma baru nyadar... Mau enak nggak harus sama cewek. Hahaha..." tawa Rama.

Leon pun bangkit dari tubuh itu. "Ya iyalah... Ciuman nggak harus sama bibir cewek. Pelukan juga. Emang biasanya kamu nggak ngelakuin itu sama cowok juga? Ehem... Maksudku yang pelukan."

Rama pun berdiri setelah Leon melantingnya. "Ya iya sih... Tapi kan otakku masih nggak kayak kamu," katanya. "Jadi mana mungkin aku mikir sampe sana..."

"Haha... Bener sih," tawa Leon. Mereka pun berjalan keluar dari sana. Namun, sebelum benar-benar membuka pintu, Rama mendadak mengambil kenopnya lebih dahulu dari Leon. Padahal anak itu jalannya lebih dulu. "Ada apa?"

"Boleh nanya lagi nggak?"

"Apaan?"

"Kamu sebelum sama Kak Alex udah pernah begituan sama cewek?"

"Hah? Pertanyaan macam apa itu?"

"Heh, serius..." kata Rama. "Maksudku, penasaran aja apa bedanya."

Leon tampak berpikir sejenak. "Emang kenapa?"

"Sebenernya ada cowok yang nembak aku sebulan lalu..." aku Rama tiba-tiba.

Detik itu juga, bola mata Leon langsung membola begitu lebar.

"APA?!"

.

.

.

Keluar dari kamar mandi, Leon dan Rama melanjutkan pembicaraan mereka. Mereka beres-beres kamar asrama itu, merapihkan belanjaan di kulkas dan dapur... Sementara Leon sibuk cuci piring saat Rama mengelapnya ke rak bersih.

"Ngomong-ngomong siapa yang nembak kamu?" tanya Leon. Tangannya penuh busa sabun di wastafel.

Di sebelahnya, Rama berdehem sebelum kemudian menjawab. "Temenku," katanya. "Bukan temen sekolah sih. Dia udah kerja jadi teknisi."

DEG

"Wuanjiirr! Yang bener?" tanya Leon.

Rama menggaruk tengkuknya bingung. "Hooh. Kita akrab karena sempet ketemu di perpustakaan kota dan suka buku yang sama," katanya. "Terus... Setelah ngobrol-ngobrol, kita tukeran nomor, dan malah nembak aku sebulan kemudian. Ya kaget lah. Makanya langsung aku blokir."

Gerakan tangan Leon langsung berhenti karenanya. "WHAT?! Kamu blokir gitu aja?"

Wajah Rama langsung merah-merah seketika. "Ya gimana ya... Dia baik sih. Udah mapan juga. Keren orangnya. Tapi kan ngeri. Masak aku mau ditusuk—em... Maksudku, kalo mau kayak kak Alex kan sungkan. Lah dia lebih tua..." katanya. Lalu mulai bersuara pelan. "... walaupun sebenarnya aku mikir udah jahat banget soalnya main ngilang-ngilang. Dan... Suka inget kalo liat kamu baru pulang abis ketemuan sama Kak Alex."

"Jadi bingung mo komen apaan..." keluh Leon. "Tapi kemarin pas ngerjain tugas bukannya kamu ke perpustakaan kota?" tanyanya.

"Iya sih... Tapi sejak kublokir dia udah nggak pernah balik ke sana. Jadi ngerasa bersalah kan..." keluh Rama.

Sehabis mencuci dan mereka nonton TV bareng, Leon pun memandang wajah Rama dari samping dan baru memberikan pendapat. "Soal hubunganmu itu..." katanya mengawali. Rama pun peka dan menoleh padanya. "Sebenernya yang posisi di atas nggak harus lebih tua sih..."

"Eh? Seriusan?"

"Hooh, nyamanmu aja kek gimana," kata Leon. Lalu memandang kembali ke TV yang masih menampilkan iklan. "Kebetulan aja Kak Alex dan aku begitu modelnya. Tapi secara umum... Nggak harus kok. Toh itu di antara kalian berdua. Orang lain mana ikut-ikut campur urusan begituan."

"Oh..." desah Rama pelan. "Tapi aku nggak pernah ngewein cewek njir. Jadi bingung kalo mau ngapa-ngapain. Lah cewek aja nggak ada gambaran pasti, gimana bisa ke cowok?"

Leon pun bangkit duduk dan memukul muka Rama dengan bantalnya.

BUAKH!

"HEI GILA!" jerit Rama seketika.

"Gini deh aku saranin ya! Kan Sekarang ada internet. Masak kamu nggak pernah nonton bokep? Sana pergi. Cari yang versi gay. Nanti juga bakal tahu... Kenapa malah nanya-nanya ke aku njir..." omel Leon.

Rama pun ikutan duduk. "Ya kamu kan yang udah ngalamin! Pasti lebih paham dong ah... Kenapa masih nanya juga shit!"