Bagian Kesembilan

"Sah?!"

"SAH!"

Aku menatap Kak Gantara yang ada di sampingku. Laki-laki itu sekarang menjadi nya suamiku. Aku menatap Ibu yang terbaring di kasur.

Ya, kami melangsungkan sebuah akad di kamar rawat inap Ibu, karena hanya ini jalan satu-satunya agar Ibu tetap bisa menyaksikan pernikahan kami. Aku dan Kak Gantara hanya menggunakan pakaian sederhana, kebaya dan jas.

Aku menatap Ibu yang menitihkan air mata sambil tersenyum tipis ke arahku. Para dokter dan suster yang menjadi saksi bergantian mengucapkan selamat padaku dan Kak Gantara.

Oma memelukku, "Terimakasih ya mau terima cucu Oma," ucap Oma padaku. Aku mengangguk, "Terimakasih juga Oma mau nerima Ana sebagai cucu Oma."

Aku menatap Kak Gantara yang melihat Aku dan Oma yang sedang berpelukan. "Maaf ya Kak Gantara, sekarang bukan lagi Tante Lasmi yang jadi alasanku tapi balas dendam pada Erik," batinku.

-------

Aku dan Kak Gantara diminta untuk langsung pulang dan segara berkemas untuk pindahan. Aku dan Kak Gantara memilih untuk tinggal di apartemen Kak Gantara. Aku ngikut-ngikut aja, walaupun Aku sedikit trauma dengan apartemen Kak Gantara.

"Di sini cuma ada satu kasur?" tanyaku yang baru sadar bahwa hanya ada satu kamar di apartemen ini.

"Hm, Lo tidur di sofa," ucapnya sangat tega.

"Gak bisa gitu dong, laki-laki ngalah sama perempuan."

"Ya udah Lo tidur di kasur, Gue mau tidur sama Erik," jawab Kak Gantara membuat gelengan cepat dari kepalaku.

Gawat! ini gak boleh, bisa-bisa cowok gay itu senang lagi. Gak gak gak boleh. "Aku tidur di sofa aja deh, dah sana pergi!" ucapku mengusir Kak Gantara.

"Yang punya apartemen itu Gue, kenapa jadi Gur yang di usir," kata Kak Gantara.

Oh iya, lagian udah bikin esmosi sih eh emosi. "Maaf maaf, oh iya barang-barang Aku taruh dimana?" tanyaku.

"Di bagian sana," ucap Kak Gantara sambil menunjuk sebuah pintu bercat coklat kayu. Aku melangkah menuju pintu.

Mulutku menganga lebar ketika membuka dan melihat isi di balik pintu coklat kayu ini. Sebuah gudang penyimpanan!

Aku menoleh ke belakang, sialnya Kak Gantara sudah tak berdiri lagi di sana. "Kurang ajar banget tuh cowok!"

--------

Aku mengelap peluhku, "Akhirnya selesai juga. Baru juga beberapa jam, pingin cerai aja Aku."

Aku menaruh vakum cleaner yang baru saja Aku gunakan membersihkan gudang penyimpanan. Banyak sekali barang-barang yang tidak tersusun rapi. Untung saja itu semua hanya kardus kosong dan tak ada barang-barang berat lainnya.

"Kalau di pikir-pikir ini bisa buat satu kamar," ucap ku sambil melihat seluruh ruangan.

Tembok masih tercat rapi jelas saja apartemen ini mewah semua benar-benar seperti baru saja di tempati, satu lemari kayu yang masih bagus dan sangat layak pakai, lantai yang sudah bersih, tempat lumayan luas.

"Sayang gak ada kasur," ucapku lesu.

Aku menyusun baju-baju milikku ke dalam lemari kayu itu, tak sengaja Aku menarik laci di dalam lemari membuat tumpukkan kertas berhamburan keluar dan jatuh ke lantai.

"Astaga tuh cowok jorok banget, masa kertas di sumpel di sini sih!"

"Untung banget gak ada hewan menjijikkan. Tapi kesel banget gak sih!! Tahu gini mending tinggal di rumah aja, kasian bener Aku ini!"

"Lihat aja ya, Aku bakal balas Kak Gantara!"

Aku mulai memungut semua kertas itu, tapi kertas ini aneh. Semua kertas ini adalah surat, bahkan ada beberapa yang masih rapi dan tersegel amplopnya.

"Ini alamat rumah Tante Lasmikan?" tanyaku.

Aku membuka amplop surat yang masih tersegel rapat itu dengan tanggal seminggu yang lalu. Aku membuka lipatan kertas dan mulai membacanya.

Untuk anakku Mahesa.

Maaf tak akan pernah Ibu lelah ucapkan dan tuliskan. Hanya itu yang Ibu bisa lakukan untukmu, Ibu takkan pernah mampu merubah apa yang sudah terjadi atau menghapus ingatan itu dari memori dirimu.

Mahesa, sudah dewasa Kamu. Walau Ibu tak selalu ada di setiap harimu tapi Ibu selalu hadir di setiap acara terpentingmu. Ibu sangat berterima kasih dengan Ibu Janet yang mau selalu membagi informasi tentangmu kepada Ibu. Dan Ibu sangat berterimakasih pada Ana yang selalu menceritakan hebat dan bangganya dirinya padamu.

Mahesa, Ibu rindu mendengar suaramu kembali. Berharap dapat memelukmu. Menjadi sandaran keluh kesahmu. Tapi, rasanya tak mungkin, ini semua karana kesalahan Ibu.

Tak apa, melihatmu dari jauh sampai kau tak menyadari keberadaan Ibu, sudah mampu membuat diri Ibu senang.

Maaf dan maaf.

Ibu selalu menyayangimu dan akan selalu begitu.

"Jadi, Tante Lasmi kerja sama dengan Ibu Janet. Dan alasan Tante Lasmi sering bertanya dan memintaku bercerita tentang Kak Gantara ke Aku karena ini, kenapa Aku gak sadar ya?"

Aku melihat begitu banyak surat yang berserakan, menandakan seringnya Tante Lasmi mengirim surat untuk Kak Gantara dan itu semua masih belum di baca oleh Kak Gantara, hanya satu dua kertas saja.

"Aku harus cari tahu sebenarnya ada apa ini."

Aku mengumpulkan semua surat itu dan memasukkannya ke dalam laci kembali. Aku harus menyelesaikan acara berkemasku dan segera mencari makan, karena perutku benar-benar sudah keroncongan.

-------

"AAA!!! kayaknya Aku bakal ke siksa banget deh di sini. Kalau aja ini gak karena tuh gay kurang ajar alias Erik udah pergi Aku dari apartemen ini gak peduli status lagi Aku."

Aku berteriak kesal setelah tahu tak ada satupun bahan makanan. Di dalam kulkas hanya ada soda, minuman kaleng, jajanan. Bukan hanya gak ada makanan, tapi dapur ini kayak gak pernah di pakai. Panci gak ada. Piring, sendok, gelas cuma selusin. Kompor meja masih kinclong.

"Udah gila ya Lo? teriak-teriak gak jelas," ucap Kak Gantara yang datang tiba-tiba.

Aku menatap kesal Kak Gantara yang sedang mengambil air putih lalu membuka kulkas mengambil minuman keleng bersoda.

"Lo kira Gue bakal takut Lo tatap gitu," ucap Kak Gantara padaku.

"Kenapa Lo?" tanya Kak Gantara.

"Kak Gantara gak sadar apa?! nih dapur bener-bener kayak pajangan aja, gak ada makanan, alat masak juga gak ada, kulkas kosong lagi. Aku lapar banget," ucapku.

Kak Gantara bukannya menjawab malah melenggang pergi. "Kak! Kak Gantara! ya ampun belum ada satu hari! Aku kutuk juga ya!"

Tapi tak ada satupun respon dari Kak Gantara. Aku memegangi perutku yang sudah berbunyi, meronta-ronta minta diisi asupan.

"Aduh lapar banget."

"Andaikan bunuh orang gak dosa," ucapku.

"Tega banget tuh Gantar Gintir, sabar sabar."

Aku berjalan lesu meninggalkan dapur pajangan itu sambil tanganku masih memegangi perutku. Serasa film asab deh, pernikahan hanya bertahan beberapa jam.

Sedih banget, nikah kok gini amat. Udah gak dadakan nikahnya, punya suami dikira sempurna eh mending nikah sama Aziz Gagap dah Aku.

Kamera mana kamera, dah gak kuat nih.

bersambung.....