Bagian Kesepuluh

Aku menidurkan tubuhku di sofa sambil menekuk badanku, membuat lututku hampir bertemu dengan kepalaku. Lapar banget.

Ting tong.. ting tong..

"Siapasih, ganggu aja! gak tahu lagi sengsara apa?!" kesalku.

Dengan malasnya aku membukakan pintu apartemen ini. "Saya dari restoran The Flo, ingin mengantar pesanan atas nama Pak Gantara Mahesa," ucap mas-mas pengantar makanan itu.

"Oh iya Mas," kataku.

Mulutku menganga lebar ketika melihat dua kantong berwarna putih yang terlihat banyak sekali macam makanan di sana. "Ini udah di bayar Mas?" tanyaku.

"Sudah Mbak melalui transfer. Mari Mbak, selamat menikmati, terimakasih sudah memesan di restoran kami."

Aku mengangguk lalu menutup pintu apartemen dengan kakiku. Senyuman lebar tak bisa aku tahan, ya ampun serasa melihat uang jutaan dollar.

"Udah datang?" tanya Kak Gantara.

Aku meletakkan makanan itu di atas meja dapur. "Makasih ya Kak," ucapku tulus.

Aku sudah tak sabar menyantap makanan itu. Dengan cepat Aku mengambil piring dan sendok lalu mengeluarkan satu persatu kotak makanan itu.

"Wah, banyak banget. Kak Gantara kenapa pesan makanan sebanyak ini?" tanyaku sambil membuka kotak makanan melihat setiap menu masakan di dalam kotak itu.

"Buat bertiga," jawabnya. Aku membulatkan mulutku sambil mengangguk-anggukan kepalaku. Tiba-tiba tanganku terhenti di udara.

"Ha?! bertiga? kita sama?"

"Erik."

Aku baru sadar akan ucapan Kak Gantara. Hais.. maleskan kalau gini. Aduh rusak acara makan aja! mana laper gini lagi.

Dengan mulut cemberut Aku memindahkan nasi ke piring lalu mengambil beberapa menu makanan. Sedangkan Kak Gantara hanya diam sambil mengisi tiga gelas dengan air minum.

Bel apartemen kembali berbunyi, kali ini dapat Aku tebak siapa.

"Sayang."

Aku memutar bola mataku dengan malas, melihat Erik yang memanggil Kak Gantara dengan sebutan 'sayang'. Aku memutar sedikit tubuhku, agar tak melihat orang yang Aku benci di dunia ini, hilang nanti nafsu makanku.

"Eh ada Ana," ucap Erik yang menyadari keberadaan ku.

"Eh ada Ana," tiruku sambil mencibir Erik dengan nada berbisik.

Kak Gantara menatap Aku dan Erik dengan tatapan bingung, mungkin ia menyadari bahwa kita sedang tak baik-baik saja.

"Kalian udah kenal sebelumnya?" tanya Kak Gantara.

Aku ingin menjawab tapi mulut Erik sudah terlebih dahulu mengeluarkan kata-kata. "Iya, Oma Tiya yang ngenalin."

Aku menatap terkejut Erik, padahal kita bertemu karena Aku yang mendengar perihal obat itu. Dan Oma Tiya tak pernah sekalipun mengenalkan Aku dengan Erik. Dasar pembohong, oh... oke kita juga akan memainkan peran.

"Iya, Oma yang kenalin kita," ucap ku sambil tersenyum. "Iyakan Erik?" tanyaku balik dengan senyum 'sok imut'.

Erik menatapku bingung, mungkin dia berpikir kenapa Aku tak membocorkan rahasia itu padahal Kak Gantara sudah ada di depannya. Oh tidak semudah itu Ferguso, Aku harus memberimu pelajaran, agar impas semuanya.

"Eh dimakan-dimakan, silahkan keburu dingin nanti," ucapku.

Selama makan, tak henti-hentinya Erik menatapku, sepertinya laki-laki itu sedang menyusun rencana. Tapi tenang saja, seperti kata pepatah. Lebih baik bertahan, menyusun strategi lalu menghancurkan dengan satu gencatan.

BOOM!!

"Kita lihat aja Erik, kamu udah buat hidupku seperti ini maka kamu akan ku usik ketenanganmu," batinku sambil melemparkan senyuman manis ke arah Erik yang tak sengaja kepergok olehku sedang menatapku.

.

.

.

.

"Haduh, kayaknya sofa bakal jadi teman sejati ku di sini. Oh iya, besok kuliah! HP aku mana ya? aduh belum buka grub lagi, bisa dihukum lagi Aku," ucapku sambil mengelus perutku yang kenyang.

Aku mencari ke bawah sofa lalu bawah meja. Samping televisi, bahkan sampai gudang yang tadi Aku bersihkan.

Ahh... Mmh...

"Suara apa itu?" ucapku ketika tak sengaja melewati pintu kamar Kak Gantara dan mendengar suara aneh di sana.

"Wah.. wah.. gak beres nih, eh emang mereka gak beres."

"Mereka gak sadar tempat bangetsih! Kan masih ada aku di sini! Jijik banget tahu gak!!" kesalku sambil menutup kedua telingaku.

"Oh Tuhan, kuatkan hambamu ini. Dasar para dajjal, untung malaikat sudah hati ini," ucap dramatisku.

---------

Ana tertidur di atas sofa dengan volume televisi yang sangat keras. Sebuah jaket tebal miliknya dijadikan selimut, karena ia tak menemukan selimut sedangkan hawa mulai terasa dingin.

Gantara menutup pintu lalu mengunci pintu. Matanya menangkap bayangan Ana yang tertidur pulas di atas sofa. Ada rasa bersalah yang bersarang dalam dirinya tapi ia tepis, semua wanita adalah orang yang sama dengan ibunya, itu pikiran Gantara yang harus di tanamkan.

"Gue harus membenci Ana, harus."

Gantara menatap mata Ana yang terpejam, jantungnya berpacu dengan cepat serasa akan copot jantung ini. Gantara memegang dadanya, ia tak pernah merasa ini. Perasaan yang tak mampu ia deskripsikan, yang ia tahu ia merasa 'tenang'.

"Kenapa wanita itu kirim Lo Na? apa rencana yang Lo dan dia susun? Lo bikin dinding pertahanan Gue gak bisa di bangun lagi, hanya karena kesalahan satu malam, Gue takut, Gue akui itu."

"Gue takut gak bisa jadi Gue yang sekarang," ucap Gantara. Tangannya meremas kuat, dadanya tiba-tiba menjadi sesak setelah sekelebat bayangan yang tak pernah hadir kembali hadir menghantuinya.

---------

Ana terbangun karena kandung kemihnya yang penuh dan minta di keluarkan isinya. Ana berlari ke kamar mandi, "Aduh bodohnya! kamar mandikan cuma ada di kamar Kak Gantara! Ash! kebelet lagi nih, masa ngompolsih!"

"Ah tahulah! biarin ganggu!" Ana langsung menggedor pintu Kak Gantara.

Ana membuka perlahan pintu kamar itu, untung saja pintunya tak dikunci jika iya, entahlah mungkin ia harus memberanikan diri untuk turun ke bawah mencari toilet.

"Misi ya Kak," bisik Ana sambil mengendap-endap melewati kasur yang digunakan Kak Gantara tidur.

Ana menutup perlahan pintu kamar mandi lalu menguncinya dari dalam. Ana bernafas lega, ia lalu segera menuntaskan urusannya.

Ketika sudah Ana menyalakan kran wastafel lalu mencuci tangannya. "Kayaknya besok Aku mandi di toilet hotel bawah aja deh, ada kelas pagi besok dan pasti lama banget kalau nunggu Kak Gantara keluar dulu dari kamarnya."

"Ya ampun gini amat jadi pengantin. Katanya setelah nikah itu adalah waktu yang akan membahagiakan, mana buktinya, sengsara iya Aku," ujar Ana sambil melihat pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Ana kembali menghela nafasnya.

Ana mematikan kran wastafel lalu membuka kunci kamar mandi. Ketika melewati ranjang Kak Gantara, ia merasa sedikit aneh. Kamarnya amat terasa dingin dari sebelumnya. "Ini manusia kebiasaan tinggal di kutub kali ya?" batin Ana bertanya-tanya.

Ana menggelengkan kepalanya memilih untuk berlalu saja. Tapi langkah Ana kembali terhenti ketika suara ringikan seseorang terdengar.

"Kak Gantara nangis?"