ABIAN

Selesai mengerjai Abian, Ayla segera berdandan untuk segera menuju butik miliknya. Ayla ini memang sudah hidup dengan uang hasil jerih payah sendiri. Sehari-hari ia bekerja di butik yang ia kelola sendiri.

Memakai rok selutut dengan atasan lengan pendek yang di padukan dengan tas kulit berwarna coklat membuat Ayla terlihat fresh. Rambutnya sengaja di urai, kebiasaan itu mah.

Sedangkan Abian sedang menyetrika pakaian di sudut kamar.

"Bian, aku pergi dulu ya," pamit Ayla.

Sebenarnya agak canggung, seumur hidup Ayla tidak pernah pamit pada siapapun kalau mau pergi. Bahkan minta ijin dengan orang tuanya saja jarang. Tapi sekarang, dia harus selalu ijin kepada Abian sebelum pergi. Begitu kata Mama tadi.

Abian berbalik dan mendapati Ayla berdiri di ambang pintu, sudah siap mau keluar kamar. Tinggal tunggu jawaban 'iya' dari Abian.

"Kak, kamu yakin mau pergi dengan keadaan begitu?"

Ayla mengernyit heran. Kenapa? Memangnya ada yang salah? Apa pakaiannya jelek, atau make up nya menor?

"Emangnya kenapa?"

Abian menarik napas panjang. Dia malah garuk-garuk kepala. Mungkin bingung karena baru kali ini ia melihat penampilan perempuan se-terbuka itu. Maklumlah, selama ini dia selalu lihat penampilan perempuan muslimah dengan hijab di kepalanya.

Abian itu baru pulang dari pesantren, jadi rada susah membiasakan diri melihat perempuan seksi.

"Pakaian itu terlalu terbuka, Kak. Ganti!" titah Abian.

"Ganti? Bian, ini itu model baru, pakaian ini juga baru aku beli tau. Masa disuruh ganti, gak mau!" tolak Ayla.

"Kak, aku ini suamimu. Kamu gak boleh nunjukin aurat di sembarang tempat, nanti ada yang lihat jadi dosa, lho!"

"Lagian, Kakak harus nurut sebagai istri. Kalau suami bilang ganti, ya ganti. Pakaian itu juga terlalu ketat, aku gak suka!" ucap Abian.

Duh, udah kaya ustadz aja deh. Pake di ceramahin segala, rutuk Ayla sebal. Baru jadi suami aja udah belagu, gimana nanti kalau udah di sentuh. Bisa makin ketat penjagaannya.

"Terserah kamu mau suka atau nggak, aku mau pakai ini. Udah, ah! Aku gak mau berdebat sama kamu, aku pergi dulu ya. Dah!"

Abian segera mengejar Ayla yang baru saja mau menutup pintu. Untungnya Abian cukup gesit. Dia memegang kenop pintu bagian dalam untuk menahan geraknya.

"Kak, tunggu dulu!"

"Apalagi, sih, Bian?" Ayla berdecak sebal dengan intonasi yang agak lama saat menyebut nama suami mudanya, 'Bian'.

"Ganti baju,"

"Aku gak punya baju gamis, udah ah aku telat tau!"

Ayla berlalu keluar dan menutup pintu. Meski sudah di cegah, tapi Ayla tidak mau mendengarkan Abian. Pemuda lulusan pesantren khusnul khotimah itu hanya bisa geleng-geleng kepala saja.

Matahari semakin mendaki ke atas, suhu udara di kota Garut itu sedikit mulai meningkat, tapi tidak terlalu terasa karena memang berada di daerah pegunungan. Jadi perbedaan suhu udara sama sekali tidak begitu berarti. Abian yang sekarang bekerja di kebun teh milik ayahnya memutuskan untuk pergi ke kebun. Mengontrol pekerjaan para pekerja.

Di sana ada bik Mimin, yang sedang menghitung daun teh di pondok. Ya, bisa disebut kalau bik Mimin itu kepala pekerja disini. Selama Abian tidak ada, dialah yang mengurus kebun.

"Assalamu'alaikum, Bik!" ucap Abian.

"Waalaikumsalam, eh, Abian. Udah lama gak lihat, kamu teh udah pulang dari pesantren?" ujar Bik Mimin antusias.

"Udah, Bik. Kemarin di suruh pulang sama ayah buat datang ke pernikahannya Daniel," jawab Abian.

"Oh, iya. Semalam kan Daniel nikahan ya? Atuh maaf ya, Bibik gak dateng. Ini kaki pada linu,"

Abian hanya mengangguk paham. Bik Mimin itu sudah dianggap seperti Bibik sendiri. Udah akrab banget dari dulu. Bahkan mungkin dari kecil. Dulu, orang tua bik Mimin yang kerja pada pak Budi di kebun, tapi setelah usianya menua, bik Mimin lah yang menggantikan posisi orang tuanya menjadi pekerja.

Tak heran kalau wanita satu anak itu dekat sekali dengan Abian.

"Gimana nikahannya, lancar?" tanya bik Mimin lagi, penasaran karena tidak bisa hadir.

"Lancar, Bik. Tapi ..."

"Kenapa?" Raut wajah bik Mimin berubah heran, dia kembali bertanya dengan nada bicara khas orang sunda, kental banget sundanya.

"Daniel menghilang, Bik," jawab Abian tanpa ada logat sunda. Abian memang bukan orang sunda asli, dia juga tidak terlalu fasih melafalkan bahasa sunda. Tapi dia juga paham kalau orang bicara pakai bahasa sunda, cuman tidak bisa bicara saja.

"Eleh? Menghilang kemana?"

"Gak tau, Bik. Tapi Abian harus nikahin Ayla, calon istrinya Daniel. Itu juga di suruh sama bik Rani," jelas Abian polos dengan menyebut si ibu tiri dengan sebutan 'bik Rani'.

"Hah?"

Bik Mimin kaget. Ya jelaslah dia kaget, kok tega-teganya Rani menyuruh Abian menggantikan Daniel. Lagian kemana anak itu, kok tiba-tiba menghilang pas mau akad.

***

Dilain tempat, Ayla masuk ke butiknya dengan dongkol. Kesal karena dapat ceramahan dari suaminya. Dengan kesal, ia membanting pantat dan duduk di dekat meja kasir.

Di meja kasir ada Dewi, sang asisten yang selalu menjaga butik.

"Kenapa, Teh? Dateng-dateng kok mukanya di tekuk gitu?" tanya Dewi penasaran.

"Iya, bukannya seneng karena habis nikah, ini kok malah cemberut. Si Teteh kumaha, sih?" timpal Lilis, salah satu pegawai butik yang usianya paling muda.

Ayla hanya menarik napas jengah. Tarik napas ... Hembuskan ... Tarik napas ... Hembuskan ... Duh, sabar Ay, dia suamimu. Jangan marah, jangan kesal, sabar, ucapnya dalam hati berusaha menenangkan diri.

"Teh?"

"Hm?" akhirnya Ayla mau menimpali panggilan Lilis.

"Yang semalem nikahin Teh Ayla, saha? Kok Lilis gak pernah liat? Dia bukan a' Daniel, 'kan?"

Ya jelas bukanlah, dia itu adik tirinya Daniel yang entah datang dari mana. Tiba-tiba muncul saat akad. Ayla sendiri masih bingung, pernikahan dadakan ini akan berlanjut atau tidak. Tadi pagi saja sudah ribut gara-gara celana pendek, dan tadi siang juga, bikin naik darah.

"Bukan, Lis. Dia itu adik tirinya Daniel. Aku juga gak tau kalau Daniel punya adik tiri. Hah! Sekarang aku jadi istrinya tanpa ada ikatan cinta, memangnya bisa bertahan?" gumam Ayla.

Dewi meletakkan buku catatan yang selalu ia bawa ke mana-mana. Ia paham, pasti Ayla belum siap menerima semua ini. Siapa sangka, Ayla harus menikahi orang asing yang sama sekali tidak ia kenal. Padahal, momen romantis dan pernikahan impian sudah di ujung mata. Eh, malah nikah sama orang asing.

"Teh, Teteh yang sabar ya. Dewi yakin, Teh Ayla pasti bisa ngadepin semua ini. Semangat atuh!" ucap Dewi sambil menggenggam tangan yang di acungkan ke atas. Mirip ibu-ibu yang menyemangati anaknya lomba makan kerupuk pas tujuh belasan.

"Iya, Teh. Semangat! Lagian suami Teteh kasep, bahasa kerennya ganteng! Cakep! Siapa namanya?" Lilis berusaha mengingat nama suami Ayla sambil mengetuk dagu dengan jari telunjuk.

Kok jadi lupa? Padahal dia mengingat nama itu saat ijab kabul tadi malam.

"Abian," tukas Dewi.

"Nah, iya. Abian, ganteng, Teh! Ganteng banget, jadi pengen nikah,"

Lilis malah senyum-senyum tak jelas saat membayangkan dirinya duduk di pelaminan bersama Abian. Duh, wajahnya itu lho, imut sekali. Membuat Lilis kepikiran terus.

Dewi melempar pulpen yang ia pegang di tangannya ke arah Lilis. Sibuk mengkhayal dia.

"Heh, jangan ngelamun! Kerja, itu ada orang tuh!" tegur Dewi.

"Ck, iya, Teh." Secepat kilat Lilis langsung menghilang menuju pelanggan butik yang sedang memilih pakaian.

Dewi menggeser duduknya untuk lebih dekat dengan Ayla. Matanya mengerling, menandakan kalau dia ingin menggoda Ayla.

"Gimana malam pertamanya?" bisik Dewi pelan, takut kedengeran orang.

"Malam pertama apa?" Sungguh, kali ini Ayla tidak mengerti.

"Itu, lho. Masa Teteh gak tau, gimana? Ada roti sobeknya gak?"

Sontak Ayla langsung memukul Dewi dengan bantal kecil yang ada di kursi sofa. Pikirannya jelek sekali.

"Dewi, apaan, sih? Ngeres banget pikirannya," desis Ayla.

"Ih, si Teteh mah gitu, cerita dong. Gimana? Hot gak?"

"Hot apaan? Dia tidur di sofa!"