|6| Lo Ngerti Ga Sih Lan!

"Mau kemana lo?" tanya Atta.

"Balik, lo jaga dia" ucap Arlan.

"Siap! Nah! Gitu dong, balik dari tadi kek" ucap Atta.

Arlan langsung keluar. Ia menjalankan mobilnya mengelilingi jalanan. Ia terus berputar putar dan tanpa sadar sudah menghabiskan waktu 3 jam.

"Gue lagi ngapain sih? Ini kenapa juga gue belom sampe apart!?" pekik Arlan, tangannya memukul stir. Lalu ia mengacak rambutnya sebal. Ia bingung dengan yang sedang ia lakukan.

Ia menatap jalanan disekelilingnya. Hujan deras mengguyur tempat itu, entah sudah berapa lama bahkan Arlan baru sadar jika hujan.

Menatap ribuan tetes air hujan yang mengenai permukaan air sungai membuatnya begitu tenang.

"Itu orang?" gumam Arlan melihat seseorang duduk di tengah hujan deras. Ia reflek mengambil payung dan keluar dari mobil menghampiri orang itu.

Saat semakin dekat ia langsung berlari sekencang mungkin. Ia bahkan tanpa sadar melempar payungnya ke sembarang arah.

"KAMU GILA!? MAU MATI YA!?" teriaknya begitu sampai ditempat.

Dengan tergesa ia melepaskan jaketnya dan menyelimuti Vellice. Mungkin sedikit berguna karena baru bagian luar jaketnya saja yang basah.

Dengan panik, Arlan menggendong Vellice. Ia berlari sekencang yang ia bisa membawa perempuan itu menuju mobilnya.

Setelah memasuki mobil. Arlan menyalakan penghangat mobil. Ia mengambil jaketnya yang ada pada Vellice dan menggantinya dengan sweater yang ada di kursi tengah mobil.

Ia langsung mengendarai mobil menuju tempat terdekat. Sesampainya di sana ia kembali menggendong Vellice, membawanya ke apartemennya. Ya, tempat terdekat itu adalah apartment nya.

Arlan menidurkan Vellice di sofa yang cukup besar untuk menampung Vellice. Ingin membawanya ke kasur, namun kasur akan berubah basah total jika dia menaruh Vellice di sana.

"Hallo? Bisa tolong panggil pelayan perempuan ke apartment saya? No 108. Dann tolong belikan pakaian dalam perempuan berumur 17 tahun di supermarket bawah.... Ukuran? Ukuran apa? O-oh.... Terserah saya tidak tahu! Belikan saja!" ucap Arlan pada pegawai disana.

Setelah menunggu 5 menit, pintu apartmentnya diketuk.

"Tolong gantikan bajunya, dengan ini" ucap Arlan sambil memberikan celana olahraga dan sweaternya.

Arlan langsung keluar dari apartment nya. Ia menanti di luar apartment. Ia bahkan kini sedang berfikir "Ngapain gue keluar? Kenapa ga ke dapur aja coba? Lebih berguna, ck!" gumamnya.

"Sudah" ucap pelayan keluar dari apartment nya.

"Ini uangnya" ucap Arlan, ia langsung masuk begitu saja.

Ia membawa Vellice masuk ke kamarnya. Apartment ini sebenarnya memiliki dua kamar. Namun, kamar satunya sudah dialihfungsikan menjadi perpustakaan.

Dengan hati hati Arlan menaruh Vellice diatas kasur. Ia menyelimutinya dengan double selimut besar.

***

Vellice baru terbangun dari tidurnya.

"Enghh" ia memegang kepalanya yang terasa sangat berat. Hidungnya sepertinya tersumbat. Benar, demam adalah penyakit terburuk.

Ia menoleh ke samping menatap kearah atas meja di samping kasur itu.

"Ini kamarnya Anna? Kok baunya parfum cowok?" gumam Vellice pelan. Ia menatap beberapa lembar foto Anna yang ada di atas meja. Ia hanya menatapnya tanpa mengambil. Namun, sudah cukup membuatnya yakin kalau setumpuk foto itu, foto adiknya semua.

Vellice berusaha untuk duduk. Namun, terus terjatuh karena kepalanya yang terasa sangat berat.

Karena sebal tidak bisa bangun, dengan sengaja Vellice menggulingkan badannya agar dapat terjatuh ke lantai. Ia ingin keluar dari kamar ini.

"Lo gila!" pekik Arlan. Jika ia terlambat sedetik saja, Vellice pasti sudah terjatuh dengan kepala menatap ujung kursi. Mengingat tangannya yang melindungi kepala Vellice sempat menatap ujung kursi itu.

Vellice berusaha membuka matanya. Ia dapat menatap Arlan walaupun buram. Matanya tidak bisa terbuka penuh. Namun, ia cukup sadar jika saat ini sedang berada dipangkuan laki-laki itu.

"Ar.. lan." ucap Vellice pelan, sangat pelan.

Arlan segera menggendong Vellice dan kembali menaruhnya diatas kasur. Ia menata tumpukan bantal agar lebih tinggi. Tadi, niatnya ingin mengajak Vellice makan di ruang makan. Namun, sepertinya kondisi perempuan itu tidak akan bisa keluar kamar.

"Gue ambil makan dulu" ucap Arlan dan segera berlalu.

Begitu Arlan keluar dari kamar, Vellice kembali berusaha bangun. Kemajuan, kini ia dapat jatuh ke lantai tanpa menatap apapun. Dengan kedua tangannya ia menggeret badannya menuju pintu kamar yang terbuka.

Ia meraih gagang pintu. Berusaha untuk dapat berdiri dengan pintu sebagai sandarannya. Baru saja ia berhasil berdiri, Arlan datang membawa nampan berisi mangkuk dan gelas.

"Lice!" pekik Arlan ketika Vellice terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Arlan yang terkejut melempar nampannya. Ia berusaha menangkap Vellice. Namun, semuanya menjadi kacau.

Vellice terjatuh, mangkuk dan gelas pecah. Makanan berceceran di lantai. Suara jatuh nampan dan pecahan kaca masih terus mendenging di telinga Vellice.

"INI YANG SEMUA ORANG BENCI DARI LO! SUKA BUAT ONAR! EGOIS! KERAS KEPALA! BODOH! CEROBOH! BEDA JAUH SAMA ADEK LO! LIAT ANNA! CONTOH DIA! LO TU KAKAK! BUKANNYA NGASIH CONTOH MALAH KELAKUAN SENDIRI GA BENER! LO TU CUMA BISA NGEREPOTIN ORANG! TERSERAH LO MAU APA! GUE GA PEDULI!" teriak Arlan. Ia langsung pergi dari apartment nya. Ia keluar dari sana dengan emosi menggebu-gebu.

Sedangkan Vellice menunduk, penuh ketakutan. Air matanya langsung mengalir begitu Arlan keluar. Tubuhnya bergetar. Kepalanya sangat berat, ia merasa tidak bisa bergerak kemana mana. Ia bahkan tak sanggup untuk sekedar membuka mata. Beruntung, tangannya masih kuat bergerak sedikit.

Dengan penglihatan buram, karena mengabur dari air mata juga demamnya yang sangat tinggi. Ia menyeret tubuhnya dengan menggunakan tangan. Ia berusaha keluar dari sana.

Baru satu meter menjauhi pintu kamar, ia merasa tangannya mengenai pecahan kaca. Ia kembali berusaha membuka matanya ingin melihat kekacauan disini. Namun, lagi-lagi hanya terlihat buram. Ia hanya bisa melihat samar-samar.

Ia kembali menyeret tubuhnya. Tanpa peduli sudah banyak kaca yang mengenai tubuhnya.

Dengan sepenuh tenaga ia sampai di pintu keluar apartment itu. Seluruh tubuhnya terasa sakit dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kini masalahnya ia harus berusaha berdiri lagi dengan kondisi yang lebih parah.

Vellice memegang gagang pintu dan berusaha berdiri. Begitu dapat berdiri ia menyandarkan kepalanya di pintu itu. Tangannya perlahan membuka kenop pintu.

Ia langsung keluar dari sana. Bermodal pegangan pada dinding. Ia berjalan dengan bersandar pada dinding. Kakinya bergerak perlahan menuju lift.

Kondisinya kacau, rambut yang sedikit berantakan. Muka pucat pasi. Sweater dan celana yang kepanjangan. Bahkan dengan baju sebesar itu, pecahan pecahan kaca itu bisa menembus hingga kulitnya.

Sambil menunggu lift terbuka, Vellice bersandar pada dinding samping lift. Tangannya membersihkan beling yang masih menancap pada pakaiannya dengan kasar. Tangannya sudah terluka parah, jadi tidak apa jika terluka sedikit lagi.

Begitu lift terbuka Vellice langsung memasuki lift. Kedua tangannya ia masukkan kedalam saku bagian depan sweater nya.

"Hei, kamu baik baik saja? Terlihat sedang sakit" ucap seseorang yang ada di lift.

Vellice mengangkat kepalanya dengan perlahan. Walaupun seperti itu ia langsung terhuyung. Ia merasa sangat pusing.

"Hei hei! Kamu kenapa? Mending balik ke kamar! Saya antar!" ucap perempuan itu.

"Tolong antar ke taksi saja" ucap Vellice sedikit terbata. Beruntung, perempuan itu menurutinya. Ia memapah Vellice hingga menuju taksi yang ada di pangkalan depan apartment itu.

"Ke dokter dulu okkay! Saya antar" ucap perempuan itu.

"Tidak terimakasih, saya bisa sendiri" ucap Vellice. Ia menyebutkan alamat rumahnya kepada supir taksi.

***

Begitu sampai di rumahnya. Vellice dengan terhuyung memasuki rumah dibantu oleh Pak Taksinya.

"Terimakasih pak" ucap Vellice karena sopir itu membantu Vellice hingga depan kamarnya.

"Sebentar ya pak, saya ambil uang" Vellice memasuki kamar mengambil uang yang ada di atas meja. Ia berjalan dengan meraih sandaran kasur ataupun tiang untuk membantunya agar tidak terjatuh.

"Perlu saya nyalakan lampunya non?" ucap Pak Supir.

"Tidak perlu pak, terimakasih" ucap Vellice. Begitu sopir itu menutup pintu rumah, Vellice kembali memasuki kamarnya. Ia tidak bodoh untuk membiarkan orang asing berkeliaran di rumahnya tanpa pengawasan.

"Pusing banget sih" gerutu Vellice. Ia kini hanya bisa berbaring di kasurnya. Nafasnya masih tak teratur. Ia merasa seperti habis lari maraton. Begitu menyesakkan.

Vellice memejamkan matanya. Berusaha menghilangkan rasa sakit yang ia rasa.

Hari sudah malam. Semua lampu masih mati. Hanya lampu tidur di atas nakas yang menyala.

Air mata tanpa dapat dicegah mengalir dimatanya.

Bukan keinginannya untuk menghindar. Bukan untuk mencari perhatian. Tapi, ia masih terlalu bingung jika diminta menjelaskan hal kemarin. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia juga takut disalahkan. Dia bukanlah tokoh Vellice yang diberi sifat kuat. Bagai orang tak memiliki hati.

Ingin berteriak pada semua orang disini "Hei! Kalian itu cuma tokoh buatan! Bukan manusia asli!" batinnya.

"Bukannya gue cuma demam" gumamnya dengan suara serak, matanya melihat tangannya yang terdapat bercak darah setelah ia tempelkan ke hidung.

Ia semakin kesulitan bernafas dengan darah mengalir di hidungnya. Kepalanya serasa ingin pecah. Mengapa sesakit ini hanya untuk sakit demam?

Ia meraba kantung celananya berusaha mencari handphonenya. Tetapi ia baru tersadar, ini bukan pakaiannya. Berarti handphone nya tertinggal di apartment Arlan.

Tatapan matanya meredup. Perlahan mata itu tertutup. Dengan nafas tersengal-sengal. Seketika, dalam kegelapan ia seperti melihat mamanya. Lalu sahabat sahabatnya yang mungkin sangat mengkhawatirkan dirinya.

Saat ia memikirkan hidupnya terdengar suara sirine ambulan. Berapa kali pun ia menyangkal kalau tidak ingin ke rumah sakit. Diam-diam ia menghela nafas lega. Ia takut akan kematian.

Pintu rumahnya dibuka dengan kasar. Mereka langsung naik menuju kamar Vellice.

"Disitu, tolong selamatkan dia" ucap seorang laki-laki paruh baya. Dia adalah sopir taksi tadi.

Mereka memberi pertolongan pertama pada Vellice. Setelah itu membawa Vellice menuju rumah sakit.

***