"Kenapa lo kelihatan kecewa gitu? Jangan- jangan lo-! Dasar mesum!" pekik Vellice.
"Ap- Apaan sih! Tadi aja lemes. Sekarang bisa teriak. Cepet banget ngefeknya itu obat" sahut Arlan.
Vellice semakin malas menanggapi. Ia langsung tidur di atas brankar.
Arlan menunggunya hingga anak PMR datang.
"Itu selimut di cuci. Juga kasur yang ini dibersihin. Jaga tu cewek. Gue pergi" ucap Arlan tiba-tiba, hingga mengejutkan seorang gadis petugas PMR yang baru saja datang.
"I- Iya kak" ucap gadis itu gugup. Arlan langsung pergi keluar dari UKS.
***
"Kak!" seru Anna memanggil Arlan.
"Kenapa?" ucap Arlan tersenyum lembut.
"Kakak darimana? Aku cariin kemana mana nggak ketemu. Katanya mau nraktir aku makan?" sahut Anna ceria.
"Iya-iya, bentar. Ta!" seru Arlan memanggil Atta. Atta, Ari dan Ashad mendekati Arlan.
"Kamu ke kantin bareng mereka dulu ya? Kakak mau ganti baju dulu" ucap Arlan.
"Eh! Eh! Lan!" seru Ari yang tak ditanggapi Arlan.
"Aneh banget tu anak hari ini. Udah bolos pelajaran olahraga. Sekarang malah telat istirahatnya. Kemana coba tadi?" ucap Ashad.
"Biarin lah, ayok ke kantin dek!" seru Atta mengajak Anna. Anna tersenyum dan berjalan mengikuti mereka.
Mereka berempat berbincang sangat lama. Anna merasa nyaman dengan mereka. Karena ia juga tidak memiliki teman disini, siswa-siswa itu takut jika ikut di bully seperti Anna. Ia merasa bersyukur karena ada mereka.
"Eh Lan!" panggil Ari melambaikan tangan ke arah Arlan yang baru saja datang. Namun, Arlan langsung menuju tempat memesan makanan. Laki-laki itu mengabaikan panggilan Ari.
Setelah itu Arlan datang ke meja mereka sambil membawa bungkusan berisi nasi bungkus dan teh panas.
"Gue pergi dulu. Gabisa ikutan kalian makan. Duluan!" seru Arlan. Ia bahkan tidak berhenti untuk mengucapkan hal itu. Arlan hanya berjalan melewati meja mereka sambil berbicara.
"Eh! Eh! Lan!" seru mereka memanggil Arlan yang semakin menjauh.
Arlan langsung bergegas menuju UKS. Ia tadi saat melewati UKS bertabrakan dengan gadis petugas PMR. Perempuan itu mengatakan kalau Vellice mengeluh perutnya sakit. Jadi ia berencana membeli makanan.
Arlan menaruh bungkusan itu di atas nakas. Ia bertanya pada petugas PMR itu. "Ambilin piring sama sendok"
"Gelas juga!" seru Arlan.
Setelah gadis itu datang, Arlan menyiapkan makan siang Vellice yang masih tertidur di sampingnya.
Arlan menepuk pipi Vellice perlahan.
"Bangun, makan" ucap Arlan langsung ketika Vellice mengerjapkan matanya. Perempuan itu dengan perlahan duduk dibantu oleh Arlan.
"Loh, lo bukannya ada janji makan sama Anna?" tanya Vellice. Karena seharusnya Arlan dan teman-temannya serta Anna sedang membahas tentang dirinya yang dianggap mengkonsumsi narkoba saat ini di kantin.
"Darimana kamu tahu? Lagipula, gimana aku mau makan bareng mereka kalo kamu bisa mati kelaparan disini?" ucap Arlan.
Vellice terkejut, matanya membulat menatap Arlan. Entah mengapa hatinya menghangat ketika menyadari Arlan lebih memilih dirinya daripada Anna.
"Lice" panggil Arlan. Sedari tadi Vellice terus mengacuhkan Arlan.
"Hm" gumam Vellice, matanya masih terus menuju layar handphone di tangannya.
"Waktu itu, kenapa kamu diem aja?" tanya Arlan.
Vellice menatap Arlan, ia mengernyit bingung. Waktu itu? Itu nya itu kapan?
"Di kolam renang. Kenapa kamu nggak renang? Malah diem aja?" tanya Arlan.
"Gue ga bisa" ucap Vellice reflek. Namun seketika ia membekap mulutnya. Sial, gue niat mau bohong malah jujur. Batinnya.
"Terus kamu pikir aku bakal percaya? Kamu yang menang olimpiade tahun lalu. Tiba-tiba bilang ga bisa berenang?" ucap Arlan.
"Iya" sahut Vellice.
"Iya apa Lice?" desak Arlan.
"Gue ga bisa renang. Gue bilang ga bisa ya ga bisa Arlan!" seru Vellice kesal.
"Kamu konsumsi narkoba?" tanya Arlan lagi.
"Ck! Iya!" sahut Vellice kesal.
Arlan melotot terkejut. Ia tak menyangka mendapat pengakuan dari Vellice.
Vellice ikut melebarkan matanya. Tangannya bergerak memukul kepala Arlan kencang.
"Lo percaya!?" ucap Vellice. Mulutnya menganga tidak percaya. Bukannya di novel di ceritakan Arlan tidak percaya tentang rumor itu dan hal itu membuat Vellice semakin mencintai Arlan.
"Aw! Lice! Sakit!" ucap Arlan. Ia langsung berdiri menjauhi Vellice. Tangannya memegang kepalanya yang tadi dipukul keras oleh perempuan itu.
Saat menatap Vellice, Arlan langsung mengingat sesuatu. Tangannya bergerak melepas kaos kaki Vellice.
"Masih sakit?" tanya Arlan. Ia menyentuh permukaan hansaplast yang ada di telapak kaki Vellice.
"Hmm" Vellice hanya berdeham menyahutnya. Mau mengatakan masih sakit namun egonya lebih tinggi. Memang masi bisa dibuat jalan kan.
"Ini belom diganti dari 3 hari yang lalu!?" pekik Arlan tiba-tiba. Ia tahu, karena ia yang menempelkan ini.
"Ya emang kenapa sih?" tanya Vellice kesal. Ia menarik kakinya keatas menjauhkan dari jangkauan Arlan.
Arlan menahannya memegang pergelangan kaki Vellice.
"Diem dulu!" seru Arlan.
Vellice semakin terkejut ketika Arlan tiba-tiba menyibak roknya ke atas. Walau hanya sedikit.
"Ini kenapa lagi!? Kenapa nggak diobatin!? Lecet gini!" seru Arlan. Tangannya menyentuh lutut Vellice yang lecet berwarna ungu kehitaman juga terdapat goresan disana.
Arlan kini mulai memindai tubuh Vellice lagi. Ia mencari luka lain di tubuh itu.
Arlan melirik Vellice yang menyembunyikan tangan kanannya. Tanpa aba aba ia menarik tangan itu.
"Ini kenapa!?" seru Arlan. Arlan menatap telapak tangan dan siku Vellice yang luka.
"Jangan bilang kena pecahan kaca waktu di apartment!?" seru Arlan. Laki-laki itu waktu itu kalang kabut mencari Vellice ketika menemukan beberapa bercak darah diatas pecahan kaca. Lalu, tiba-tiba 3 hari kemudian Vellice datang seperti tidak memiliki masalah apapun. Hal itulah yang membuat Arlan kesal dengan sifat Vellice.
"Lo kenapa si? Pergi sana!" ucap Vellice yang merasa tidak nyaman.
"Diem deh!" seru Arlan. Ia mengambil kotak p3k dan mulai mengobati kaki Vellice.
"Ini juga kenapa nggak diganti ganti? Gabisa ganti sendiri? Harus ada yang gantiin? Kamu tu udah gede. Gini aja manja" marah Arlan sambil mengobati kaki Vellice.
"Lepas ih!" seru Vellice sebal dari tadi ia mencoba menjauhkan kakinya tapi ditahan oleh Arlan. Ia juga tak berani menatap mata Arlan dari tadi. Ia hanya takut. Takut jatuh lebih dalam lagi.
Arlan mengobati lutut Vellice. Lalu ke tangan Vellice.
"Liat apa sih?" tanya Arlan. Arlan menoleh ke arah yang dilihat Vellice. Namun di sana hanya ada piring dan gelas kosong di atas nakas bekas makan Vellice tadi.
"Masih laper?" tanya Arlan membuat Vellice menoleh ke arahnya.
"Nggak" sahut Vellice.
"Ya terus dari tadi kenapa malah natap piring!? Yang ngajak bicara disini. Kamu nggak tahu ya, kalau menatap lawan bicara itu etika sopan santun paling dasar" ucap Arlan menceramahi. Tapi, dirinya sendiri dari tadi menatap luka Vellice. Bukannya menatap muka Vellice.
"Ya kalo gue suka lo mau tanggung jawab?" sahut Vellice kesal.
"Ya nggak lah! Siapa juga yang mau sama cewek bar bar kayak kamu" ucap Arlan membuat Vellice melotot.
"Apa!? Bar bar!?" seru Vellice tiba-tiba. Ia pun bangkit duduk secara mendadak membuat Arlan berjengit terkejut.
"Kan! Mau duduk aja keliatan bar bar nya" sahut Arlan. Vellice langsung menjambak rambut Arlan.
"Ngomong lagi! Ngomong! " seru Vellice.
"Ashh Sakit Lice! lepasin!" seru Arlan berusaha menjauh. Namun, apa daya Vellice kuat juga.
"Kakak!" seru Anna sambil berlari menuju mereka berdua.
Vellice reflek melepaskan tangannya ketika Anna memukul bagian tangannya yang luka.
"Ma-maaf kak. Sakit ya pasti. Hiks Maaf kakakk. Anna salah. Anna salah" ucap Anna sambil menangis. Kedua tangannya menggenggam tangan Vellice.
Vellice menghela nafas malas.
"Hmm, udah sana! Udah bel masuk" seru Vellice mengusir mereka.
"Kalian masuk kelas, ijinin gue" ucap Arlan pada Atta, Ari dan Ashad.
"Nggak! Lo lupa? Hari ini ada ulangan! Ayok ke kelas!" seru Atta. Tangannya sudah bergerak meraih tangan Arlan.
"Udah sih kalian jangan ribut disini! Gue mau tidur!" seru Vellice kesal. Mereka semua langsung kembali ke kelas.
***