Jam pulang sekolah tiba. Tentu saja sudah perempuan itu duga, kalau Arlan melupakan janjinya. Mungkin, sekarang laki-laki itu sedang menjalankan perannya. Vellice menghela nafas kecewa begitu ia benar-benar tak menemukan keberadaan Arlan, bahkan ketika perempuan itu sudah sampai gerbang sekolah. Padahal, ia sudah sengaja melambatkan langkahnya. Juga terus berbincang dengan teman temannya.
“Ayok Vel! Bareng gue” ucap Lara. Vellice menoleh ke arah permpuan itu. Kini dirinya sedang berfikir bagaimana caranya menolak ajakan perempuan itu karena dia harus bekerja. Saat itu pula ia juga merasa bersyukur kalau Arlan tidak jadi mengantarnya pulang. Sehingga Arlan tidak perlu tahu kalau dirinya bekerja.
“Dia pulang bareng gue” ucap Lucas. Dengan kurang ajar laki-laki yang baru datang itu merangkul pundak Vellice.
“Duluan ya!” sahut Vellice langsung. Perempuan itu dengan cepat menaiki motor Lucas.
Mereka langsung pergi dari sana. Kini, tepat ketika lampu jalan berwarna merah yang menandakan mereka harus berhenti. Lucas mengatakan sesuatu “Handphone lo bayarnya boleh dicicil” ucap Lucas.
Vellice menganga tak percaya, bahkan perempuan itu sempat berharap kalau Lucas mau membayari ongkos service handphonennya. Reflek bibir Vellice langsung mencebik kesal.
“Bibirnya biasa aja” sahut Lucas sambil tertawa. Laki-laki itu dapat melihat dari kaca spion motor.
Vellice memukul helm Lucas dari belakang.
***
Disisi lain, seperti yang diperkirakan Vellice. Kini Arlan, Ashad, Ari, Atta dan Anna sedang terkurung di dalam perpustakaan. Mereka sedang mengerjakan tugas OSIS. Semua sibuk mencari referensi untuk dibuat sebagai bahan materi.
“Jam berapa Lan?” tanya Atta. Arlan akhirnya membuka handphonenya setelah seharian penuh tidak menyentuh layar pipih itu.
Dahinya mengernyit bingung ketika melihat ada note di bagian lockscreen handphonenya.
‘Vellice!’ hanya itu yang tertera disana. Arlan membuka kunci handphone nya dan seketika matanya melotot. Sesaat setelah melihat wallpaper handphonenya, berbagai ingatan menyeruak di kepalanya. Wallpaper laki-laki itu adalah foto Vellice, ketika perempuan itu sedang tidur di kamarnya.
“Gue duluan!” seru Arlan, Laki-laki itu bahkan meninggalkan tas dan jaketnya. Arlan langsung berlari menuju ruang kelas Vellice. Hatinya terus terasa sesak sepanjang perjalanan. Ia terus terusan merasa takut karena telah mengecewakan perempuan itu lagi.
Ketika melihat seisi kelas telah kosong, ia kembali berfikir kira-kira di mana keberadaan Vellice. Ia jadi ingat, setiap mata pelajaran selalu berpindah pindah kelas. Dan laki-laki itu tidak tahu di mana letak kelas terakhir Vellice. Dengan tergesa-gesa, Arlan berlari mengelilingi sekolah yang memiliki 2 gedung bertingkat tiga itu. Ia terus membuka pintu demi pintu. Berharap menemukan Vellice dengan segera. Keringat sudah bercucuran di wajah dan badannya. Membuat seragamnya menjadi basah.
Ia sudah berkeliling di dua gedung itu hingga lantai tiga pula. Namun, tetap tak mendapati keberadaan Vellice. Dari lantai tiga Arlan melihat ke bawah, Laki-laki itu mencari kemungkinan keberadaan Vellice.
Akhirnya Arlan berlari turun, dan langsung menuju taman belakang sekolah. Namun, tetap tidak mendapati keberadaan perempuan itu. Lalu, Laki-laki itu berlari menuju depan sekolah. Tepatnya mencari di halte yang ada disana. Namun, Laki-laki itu tetap tidak menemukan keberadaan Vellice.
Arlan memutuskan tempat terakhir, laki-laki itu berlari memutari sekolah menuju warung belakang sekolah. Tempat,di mana Lucas sering berkumpul dengan gerombolannya.
“Lucas di mana?” seru Arlan langsung pada gerombolan siswa yang ada disana. Ia pun tahu, kalau mereka teman teman Lucas.
“Lagi jadi sopir buat adeknya” ucap Seno, kemudia disambut tawa yang lain. Seharian ini mereka terus menggoda Lucas.
“Dia tadi jemput Vellice, anak sekolah lo” ucap Aldi.
Saat itu pula, ntah mengapa ada rasa kecewa yang begitu besar hinggap dihatinya.
Sepulang sekolah, Arlan menarik teman-temannya untuk ikut dirinya ke rumah Vellice. Laki-laki itu, awalnya berniat ingin meminta maaf pada Vellice. Namun, begitu sampai di rumah mewah itu. Tidak terlihat ada aktifitas apapun di dalamnya.
“Kak Vellice belum pulang ya” gumam Anna. Perempuan itu segera membuka kunci pintu rumah. Begitu pintu terbuka, Ashad, Ari dan Atta langsung tiduran di atas sofa.
“Mau minum apa kak?” tanya Anna.
“Gue ke atas” ucap Arlan langsung.
“Ngapain lo Lan?” seru Atta.
“Woi! Berasa rumah sendiri kali” ucap Ashad.
Sedangkan Arlan tak peduli, Laki-laki itu langsung memasuki kamar Vellice. Tadinya, ia ingin menunggu di ruang tamu. Tapi, ia takut akan melupakan perempuan itu lagi kalau tidak melihat wajahnya dan handphonenya sekarang dalam kondisi mati. Jadi, yang ia lakukan sekarang adalah tiduran di atas kasur Vellice. Dengan handphone yang tersambung charger. Handphone itu juga menayangkan foto Vellice. Tentu saja foto-foto yang ia ambil sendiri. Saat perempuan itu tidur, saat ia mengintip Vellice yang sedang ada di dapur, saat kaki perempuan itu sedang sakit, dan beberapa lagi.
Bibirnya tersenyum begitu melihat foto perempuan itu ketika mereka sedang berada di mall. Saat itu, Vellice dengan bibir menahan senyum dan mata berbinar menatap sebuah parfum. Itu adalah kali pertama dirinya melihat seorang perempuan bisa secantik itu dengan binar matanya. Ia yang tak ingin kehilangan kesempatan langsung mengambil foto perempuan itu. Sesaat setelah ia memotret perempuan itu, ekspresi Vellice berubah. Perempuan itu terlihat tersenyum miris. Matanya tak lagi menampilkan binar yang indah. Kini, tatapannya berubah redup.
Begitu Anna mengajak mereka ke kasir, perempuan itu langsung berubah sikap seperti biasa. Mengingat hal itu, Arlan jadi mengingat sesuatu. Ia belum memberikan parfum itu ke Vellice. Pasti perempuan itu akan sangat senang kalau ia memberikan parfum itu padanya. Arlan tersenyum memikirkan betapa senangnya Vellice ketika menerima parfum kesukaannya darinya.
Tangan laki-laki itu bergerak menggulir layar. Mengubah foto tadi menjadi wallpaper handphonenya. Sepanjang sisa hari itu, Arlan habiskan untuk terus melihat foto Vellice. Ia benar-benar tidak ingin melupakan Vellice lagi.
***
Disisi lain, Vellice sedang kebingungan akan pulang menggunakan apa. Ahh, a hanya sedang malas jalan kaki. Apalagi ia memerlukan waktu kurang lebih 40 menit untuk sampai ke rumahnya jika berjalan kaki.
Perempuan itu menghela nafas begitu melihat teman-temannya sudah pergi satu per satu. Vellice dengan lesu berjalan membelah malam. Memang tidak terlalu sepi jalanan disini ketika malam. Masih ada satu atau dua manusia yang berlalu lalang.
Vellice berjalan sambil menundukkan kepalanya, perempuan itu bergerak membuka handphonenya. Melihat seisi handphone itu, tangannya asal membuka instastory. Tentu saja, tokoh Vellice yang memfollow mereka semua.
Sesaat langkahnya terhenti, dirinya menatap story orang lain yang memperlihatkan foto dirinya ketika sedang tidur. Dengan cepat tangannya bergerak membalas story itu.
‘Arlan bego!!!! Hapusss!!!!’
Bukannya langsung menghapus instastory itu, ia malah mendapat telepon dari laki-laki itu.
“Heh! Kapan lo ngefoto gue! Hapusss! Mana masih tidur! Muka ga ada bagus-bagusnya!” seru Vellice langsung begitu perempuan itu mengangkat telepon.
“Kamu di mana?” sahut Arlan.
“Di jalan lah! Cepetan hapus!” seru Vellice.
“Di jalan mana? Udah malem, belom pulang juga” sahut Arlan. Sekarang jam sudah menunjukkan jam setengah sebelas malam. Atta, Ashad dan Ari sudah pulang terlebih dahulu. Mungkin, mereka lama-lama bosan menunggu di rumah itu.
“Ga tahu lah, mana hafal nama jalan” sahut Vellice. Mengetahui arah pulang ke rumahnya saja sudah bagus, untuk apa menghafal nama nama jalan itu.
“Deskripsiin aja yang kamu liat,” sahut Arlan.
“Emmm, kursi?” sahut Vellice.
“Yang bener Lice!” seru Arlan kesal.
“Kursinya dari kayu, panjang” ucap Vellice.
“Astagaa.... Selain itu?” tanya Arlan lagi.
“Emmm, ada nenek-nenek duduk di tangga” sahut Vellice.
“Hahhh.... Ada tangga di situ?” tanya Arlan.
Vellice mengangguk tanpa sadar. Lalu hening....
“Lice! Ada tangga di sana?” tanya Arlan lagi.
“Oh iya” ucap Vellice sambil menepuk jidatnya.
“Ada apa lagi?” tanya Arlan. Laki-laki itu terus menelfon Vellice sambil memakai jaketnya. Baju seragamnya masih melekat di badannya. Yang laki-laki itu lakukan ber jam-jam di dalam kamar Vellice, hanyalah terus menatap foto perempuan itu.
“Ada pohon, pohon cemara” ucap Vellice.
“Kamu duduk di tangga itu, tunggu aku” ucap Arlan langsung.
“Memang lo tahu gue di mana?” tanya Vellice.
“Jangan tutup telfonnya” ucap Arlan.
Vellice menuruti perintah laki-laki itu, ia segera duduk di tangga itu. Di ujung tangga teratas, terdapat arena bermain skateboard. tiba-tiba dirinya teringat, kenapa ia tidak mengatakan tempat itu ke Arlan ya?
“Disana banyak cowok? Jangan deket-deket!” ucap Arlan, ia mendengar suara tawa beberapa Laki-laki.
“Hmm, ngapain juga gue deket deket” sahut Vellice malas. Perempun itu bergerak menelungkupkan kepalanya di atas lututnya. Ia mengantuk, juga lelah.
“Lice?” panggil Arlan.
“Hmmm” gumam Vellice.
Arlan segera berlari menuju seorang perempuan yang sepertinya tertidur.
“Kamu tidur?” tanya Arlan langsung, begitu berada di depan Vellice. Ia segera melepas jaketnya, memakaikannya ke tubuh Vellice. Tangan laki-laki itu langsung mengambil alih tas milik Vellice begitu selesai memakaikan jaket. Memakai tas itu di depan badannya.
“Naik” ucap Arlan. Tangannya bahkan menarik tangan Vellice agar berada di pundaknya.
“Hmmm” gumam perempuan itu dengan mata masih terpejam. Vellice langsung merangkul leher Arlan. Laki-laki itu tanpa kesusahan berdiri hingga sepenuhnya Vellice ia gendong.
“Ngantuk banget?” tanya Arlan.
“Hmm” gumam Vellice.
“Lain kali jangan sampe ketiduran di tempat kayak tadi” ucap Arlan.
“Hmmm” gumam Vellice.
“Hahh.... kamu tu bener-bener ga sadar gimana penampilan diri sendiri” ucap Arlan. Laki-laki itu terkadang sebal ketika Vellice bertingkah seperti manusia paling tidak pede dan paling jelek sedunia.
“Hmmm” sahut Vellice. Perempuan itu sesungguhnya sedang berusaha terus tersadar. Tapi, mata dan otaknya memaksa dirinya untuk segera beristirahat.
“Lain kali kalo pergi kemana-mana pakai baju panjang” ucap Arlan.
“Hmmm” gumam Vellice. Beruntung, hari ini perempuan itu memakai celana jeans dengan alasan roknya sedang ia cuci.
“Kamu darimana?” tanya Arlan lagi.
“Hmmm?” tanya Vellice.
“Hahh... tidur aja yang bener” sahut Arlan. Laki-laki itu tidak membawa kendaraan. Karena, memang lebih baik ia berlari menuju kesini. Ia dapat mengetahui tempat di mana Vellice berada, tentu saja bukan karena arahan perempuan itu. Tapi ia mendengar sedikit keramaian dan suara orang-orang bermain skateboard.
Sesampainya di rumah Vellice, lampu ruang tamu bahkan sudah mati. Sepertinya Anna sudah tidur, karena mengira dirinya langsung pulang.
Tanpa menyalakan lampu, Arlan berjalan menaiki tangga dengan cahaya remang-remang. Ia segera memasuki kamar Vellice, menidurkan perempuan itu di atas kasurnya. Tangannya bergerak melepas sepatu dan kaus kaki yang dipakai Vellice.
Arlan berjalan menuju kamar mandi, membasahi handuk kecil. Lalu, kembali lagi ke kamar. Ia mengusap muka Vellice dengan handuk basah itu.
“Hmm” gumam Vellice.
“Leher juga Ar” ucap Vellice lirih. Perempuan itu langsung berbaring miring menunjukkan lehernya. Dengan patuh, Arlan langsung mengelap leher Vellice.
Setelah mengusap leher itu, Vellice tiba-tiba mengangkat kedua tangannya.
“Kamu tu, tidur ga sih!?” seru Arlan langsung. Tapi, tangannya dengan cepat mengelap kedua tangan Vellice.
“Ngantukk...” gumam Vellice. Dari tadi mata perempuan itu terus terpejam.
“Handphone kamu mana?” ucap Arlan begitu Laki-laki itu selesai membersihkan tangan Vellice.
“Di tas” gumam Vellice.
Arlan langsung mengambil handphone itu. Membuka kunci handphone dengan menempelkan jari Vellice ke sidik jari handphone itu.
Laki-laki itu, dengan cepat memasang aplikasi pelacak. Arlan juga mendaftarkan sidik jarinya sendiri di handphone itu.
Dasar kurang ajar.
***