“Selamat pagi semua, saya manager dari perusahaan yang memiliki tempat ini. Jadi, hari ini saya kemari untuk mengumumkan. Kalian akan dipindahkan di restaurant pusat yang terdapat di dalam mall kami. Jadi, toko ini tidak akan mulai beroperasi lagi. Hari ini, kita bereskan tempat ini. Akan saya bantu,” ucap seorang Laki-laki yang memiliki umur kisaran 20- an.
“Baik pak” ucap Ilham, Vellice, Bila dan Rafa. Memang sudah ada pemberitahuan dari grup pusat sebelumnya. Tidak ada yang menolak. Karena dengan bekerja di sana, gaji mereka akan dinaikkan.
“Vel, bantuin gue dong. Biarin si Rafa aja yang nyapu ngepel” ucap Bila.
Dengan senang hati Vellice langsung menuju tempat Bila. Ia membantu mengumpulkan berbagai barang yang ada di dalam laci.
“Bagaimana sekolah kamu?” tanya Pak Manager.
“Ahh, baik Pak”sahut Vellice.
Seharian itu mereka membersihkan seisi kafe. Bahkan, mereka pulang lebih awal.
“Lo jalan kaki lagi Vel?” tanya Ilham.
Vellice mengangguk. “Iyalah, mau naek apalagi” sahut Vellice.
“Oh, iya gue belom cerita ya? Rumah dia di Euphoria tahu” ucap Ilham.
“Hah? Perumahan elit itu?” tanya Bila cepat.
“Iyaa, ga mungkin banget kan kalo dia kerja sama kita” sahut Ilham.
“Atau jangan-jangan perusahaan orang tua lo bangkrut?” tanya Rafa.
“Apa lo diusir dari rumah?” tanya Bila.
“Apa uang jajan lo lagi ditahan?” tanya Ilham.
“Ga usah aneh-aneh deh. Gue duluan! Keburu malem!” sahut Vellice langsung. Perempuan itu langsung berjalan menjauhi mereka.
“Hati-hati!” seru mereka tanpa menawari tebengan.
***
“Lice!” seru Arlan. Semenjak, Arlan menjemput Vellice di lapangan arena skateboard itu. Arlan terus-terusan menunggu Vellice disana. Bodohnya, Arlan tidak bertanya darimana Vellice pergi. Laki-laki itu terus menunggu Vellice akan menceritakannya sendiri.
“Kurang kerjaan?” tanya Vellice langsung. Perempuan itu juga heran. Apa Arlan tidak punya kegiatan lain? Setiap malam selalu menunggunya disini. Bahkan saat ini ia pulang lebih awal 40 menit dari biasanya. Dan tetap saja ia menemukan Arlan disini.
“Kan aku udah bilang, bakal terus nunggu kamu” ucap Arlan. Laki-laki itu tersenyum cerah.
Vellice menatap pasrah ke arah laki-laki itu. Yang satu, si Lucas selalu mendebatnya untuk mengantar dirinya berangkat kerja. Yang satu ngotot terus menunggunya pulang.
“Lo nunggu gue dari jam berapa?” tanya Vellice.
“Hmm? Lupa” ucap Arlan sambil nyengir lebar. Ia tidak mungkin mengatakan kalau dirinya menunggu Vellice dari habis maghrib kan? Bisa-bisa perempuan itu mengamuk kalau tahu ia menunggu selama itu.
“Bawa mobil?” tanya Vellice, melihat tangan Arlan menggenggam kunci mobil.
“Bawa, pengin ngajak kamu makan di luar. Laper banget, seharian cuma makan mie” sahut Arlan dengan raut muka cemberut.
“Ga usah sok imut” sahut Vellice langsung.
“Iya-iya” ucap Arlan tertawa lebar.
“Ayok!” ucap Arlan, Laki-laki itu langsung menautkan tangan mereka. Menggenggam erat tangan Vellice.
“Kayaknya, udah jadi hobi baru genggam tangan kamu terus” ucap Arlan.
“Hmmm” gumam Vellice. Perempuan itu berusaha melihat sekeliling.
Mereka langsung memasuki mobil Arlan begitu sampai.
“Kapan sih, lo bakal buang foto itu?” ucap Vellice kesal ketika melihat foto dirinya terpajang di dashboard mobil. Bahkan diberi figura yang menempel pada dashboard mobil. Itu adalah foto dirinya ketika berada di mall. Ia ingat tentu saja, karena itu saat ia begitu menginginkan parfum petrichor. Bibirnya mencebik kesal ketika mengingat kejadian itu lagi.
Saat sedang membayangkan betapa enaknya aroma petrichor tiba-tiba sebuah botol parfum terpampang di depan matanya.
“Hah!?” seru Vellice langsung, begitu melihat tulisan petrichor disana.
“Aku salah beli, daripada ga kepakai buat kamu aja” ucap Arlan.
“Seriusan salah beli?” tanya Vellice cepat. Mana mungkin salah beli parfum semahal ini. Kalau parfum murahan salah beli masih maklum.
“Iyalah, masa cowok pakai parfum kayak gitu” sahut Lucas.
“Beneran salah beli kan?” tanya Vellice lagi.
“Iyaa sayang” sahut Arlan.
“Bener-beneran? Kamu ga suka parfum ini? Baunya enak loh” tanya Vellice lagi dengan cepat. Perempuan itu sampai lupa memprotes Arlan yang memanggilnya sayang.
“Iya, mau makan apa?” tanya Arlan mengalihkan pembicaraan. Vellice dengan senang memeluk parfum itu. Ia kini merasa sangat bahagia hanya dengan sebuah parfum.
“Aku tanya makan apa Lice?” ucap Arlan lagi, kini tangan laki-laki itu megelus rambut Vellice.
“Emm..... aku pengin seblak” sahut Vellice.
“Hah? Makanan apa itu?” tanya Arlan.
“Disini nggak ada makanan bernama seblak? Kerupuk tapi direbus. Terus ada mie, sosis, bakso, kaki ayamnya juga” sahut Vellice.
“Kaki ayam?” tanya Arlan.
“Iyalah, apalagi” sahut Vellice.
“Kaki ayam kok dimakan sih! Makan itu dagingnya. Lain kali jangan makan itu lagi!” seru Arlan langsung.
“Disini nggak ada yang pernah makan kaki ayam?” tanya Vellice.
“Nggak ada lah! Manusia gila dari mana yang makan kaki ayam? Jorok” sahut Arlan.
Vellice mengendikkan bahu. “Gue juga ga doyan sih” sahut perempuan itu.
“Kamu pernah makan blak itu di mana?” tanya Arlan.
“Seblak Arlan, bukan blak. Hmm, bukan disini yang pasti” sahut Vellice.
“Kamu pernah keluar negeri? Kok aku ga tahu” sahut Arlan.
“Memang apa yang lo tahu?” tanya Vellice.
Arlan mencebik kesal. Memang benar sebelum ini ia sama sekali tidak akrab dengan Vellice. Yang ada, di setiap pertemuan mereka hanyalah karena satu alasan. Laki-laki itu yang sedang menghukum Vellice.
“Nanti kan juga tahu” sahut Arlan.
“Terserah lo aja makan apa” sahut Vellice.
“Bisa ga sih, manggilnya aku-kamu?” tanya Arlan.
“Males” sahut Vellice.
“Ya, jangan males dong!”sahut Arlan.
“Ya suka-suka gue lah” sahut Vellice.
“Aku Lice, a- ku” sahut Arlan.
Vellice hanya mengendikkan bahu acuh. Perempuan itu kembali berkutat pada parfumnya. Membuka tutup botol dan menghirup aromanya tanpa menyemprotkannya.
“Udah sampe?” tanya Vellice, ketika Arlan sudah memakirkan mobilnya.
“Iya, bentar” ucap Arlan. Laki-laki itu keluar mobil terlebih dhulu. Baru membuka pintu mobil disamping Vellice.
Begitu turun Vellice menatap sekitar. Mengapa ada perbukitan disin? Dari bawah ia tidak melihat tanda-tanda adanya perbukitan sepertinya. Tapi, lebih dari itu. Mengapa Arlan membawanya ke tempat seperti ini!? Lihat saja, semua orang yang ada disini adalah pasangan. Banyak sekali adegan bermesraan di seluruh tempat ini. Padahal, disini hanya seperti tempat makan biasa. Hanya saja, memang pemandangannya begitu bagus.
“Makan apa?” tanya Arlan.
“Terserah” ucap Vellice. Mereka sudah mendapatkan tempat duduk. Dari tempatnya, Vellice dapat melihat hampara kerlap kerlip lampu perkotaan. Matanya menatap itu semua. Tidak ada bedanya dengan kehidupan aslinya. Sangat mustahil kalau dunia seperti ini ada di dalam novel.
Arlan pergi beberapa saat. Setelah kembali, laki-laki itu membawa dua mangkuk dan dua minuman.
“Aku beliin cokelat panas, sama ramen” sahut Arlan.
“Hah? Ramen? Disini ada ramen?” tanya Vellice.
“Sekali lagi kamu ngomong disini-disini awas ya! Kalimat kamu sehari-hari itu, seperti mengatakan kalau kamu tidak dari tempat ini. Tidak dari dunia ini” sahut Arlan kesal. Karena, memang berkali-kali Vellice seperti membandingkan dunianya dengan dunia ini.
***