Suasana dalam ruangan ini begitu damai dan tenang, berbanding terbalik dengan suasana kota yang terlihat dari balik pintu kaca itu. Seorang laki-laki sedang duduk menatap laptop di hadapannya. Ia dengan sekuat tenaga sedang menahan diri untuk beranjak dari tempat itu.
Sebenarnya, ia tidak tahu apa yang sedang dilakukannya saat ini adalah hal benar. Ketika hati nuraninya tersentuh, sekali lagi otaknya berseru. Ini adalah hal yang benar! Toh, demi kebaikan perempuan itu juga. Vellice perlu peringatan, untuk mengingatkannya akan alur pasti dari cerita ini.
Walaupun ia tahu, yang perempuan itu inginkan hanya bertahan hidup. Tapi, ia juga Vellice tak ada yang tahu. Jika mereka mati di dunia ini. Apakah raga asli mereka akan ikut mati? Atau dengan mati di dunia ini, malah dapat membuat mereka kembali dari dunia ini?
Beberapa menit berlalu, Lucas masih setia menatap ke arah laptopnya. Tangannya yang tadi mengetik, kini terdiam. Menunggu Vellice sampai pada titik tertentu hingga cukup membuat perempuan itu sadar.
Lucas berdiri, bergegas keluar apartemen meninggalkan laptop yang masih terbuka. Mengebut di jalanan malam yang ramai. Hingga ia sampai di sebuah rumah mewah. Rupanya, banyak juga yang datang ke acara ini.
Lucas berlari masuk. Dirinya dengan sengaja terlambat 30 menit. Ia melihat Arlan yang sedang berbincang santai di sana. Lucas tersenyum miring lalu menghampiri Arlan.
"Lo lupa sama Vellice?" tanya Lucas santai.
"Vellice?" tanya Arlan mengernyit bingung."Kakaknya Anna?"
Lucas mendecih. Cowok itu mengambil handphonedan menunjukkan foto Vellice ke arah Arlan.
Seketika itu pula Arlan melotot. Jantung cowok itu berdegup sangat kencang. Panik melanda dirinya. Arlan langsung berlari menuju lantai atas. Bahkan, dirinya sempat menabrak meja hingga meja itu terjatuh.
Tentu saja banyak pasang mata yang melihat ke arah mereka.
"Kalian enggak usah ikutan naik. Urus pesta aja," ucap Lucas. Cowok itu mengikuti Arlan dengan santai.
***
Vellice masih terus menatap pintu itu. Ia bahkan tidak bisa terpejam. Begitu pintu terbuka dan menampakkan sosok Arlan, seketika udara segar memenuhi paru-paru.Telapak tangannya langsung membuka menjatuhkan pisau itu.
"Lice! Lice!" Arlan berteriak panik, sedangkan Vellice langsung menubruk cowok di hadapannya.
Gadis itu menangis kencang di pelukan Arlan.Tanpa sengaja, matanya menatap Lucas dari balik bahu Arlan. Cowok itu menatapnya dengan tatapan tidak seperti biasa.
Lucas menatapnya datar.
Semalaman penuh Vellice dan Arlan tertidur di kamar yang sama . Setelah mengobati tangan Vellice, Arlan menenangkan gadis itu hingga tertidur.
***
Pagi ini, begitu membuka mata, yang Vellice dapati tetap gelap. Ia merasa seperti sedang memeluk seseorang. Vellice bergerak menjauhkan wajahnya, tapi tangan orang yang memeluknya menahan kepala gadis itu.
Vellice menggigit tubuh cowok yang memeluknya.
"Gue enggak bisa napas!" ucap Vellice. Kepalanya menyentak ke belakang sampai bisa terlepas dari pelukan cowok itu. Vellice menatap tak percaya. Bahkan, Arlan masih bisa tertidur cukup tenang."Bangun!" Gadis itu bergerak mendekati Arlan. Tidur tengkurap di sisi Arlan.Tangannya bergerak mencubit hidung cowok itu. Arlan refleks menahan tangan Vellice karena kesulitan bernapas.
"Lice, aku ngantuk," gumam Arlan dengan masih memejam.
Vellice menatap malas makhluk di depannya. "Ayo ke pantai!"
"Ngapain?"Cowok itu bertanya sambil menguap dengan masih terpejam. Semalaman dirinya tak bisa tidur. Apalagi setelah membaca coretan tangan Vellice di buku itu.
"Ya, udah kalau enggak mau,"rajuk Vellice.
"Iya, iya. Kamu mandi dulu sana."
"Gue selesai mandi lo harus udah bangun!"
"Iya, iya."
"Lan, kenapa ada dua sweater abu-abu?" tanya Vellice saat menemukan sweater kembar berwarna abu-abu muda. Apakah Arlan mau memberikan salah satunya untuk Anna?
"Pake aja."
Diambilnya sweater itu dan celana leging hitam. Gadis itu bergegas mandi. Sayangnya, ritual mandinya kali ini harus berlangsung lebih lama. Di dalam kamar mandi, gadis itu terus-menerus mendengkus. Tangan yang diperban oleh Arlan tidak bisa dibuat apa-apa. Ujung jarinya pun tak dapat digerakkan. Arlan memerbannya terlalu tebal.
Vellice hanya bisa mandi menggunakan tangan kiri. Selama apa pun ia mandi, ketika keluar, ia masih mendapati Arlan tertidur lelap.
"Bangun!" seru Vellice.
Kali ini, Arlan bahkan tidak bergerak sedikit pun. Vellice mendekat lalu menggigit hidung Arlan gemas.
Cowok itu memekik dan langsung terjaga. Lebih terkejut lagi saat sadar dirinya berhadapan begitu dekat dengan Vellice.
Vellice langsung menjauh. "Mandi!"
"Tangan kamu sakit?"Arlan malah bertanya hal lain.
"Pake nanya!"
"Nanti ke rumah sakit dulu, ya?"
"Enggak!" Vellice langsung memekik. Ingatannya kembali ke kejadian semalam di mana tangannya dijahit oleh dokter pribadi Arlan. Memang disuntik obat bius di bagian tangannya saja. Namun, begitu efek obat menghilang, sakitnya luar biasa.
"Enggak bakal diapa-apain lagi, Lice. Cuma dicek biar dapet obat yang lebih bagus."
"Enggak mau! Mandi sana!"Gadis itu menghentakkan kaki keluar kamar.
Begitu ia berada di tangga, suara keramaian terdengar jelas. Ia berjalan menuruni tangga perlahan.
"Gimana tangan kamu?" tanya salah seorang gadis yang ia tahu sebagai pacar Atta.
Vellice mengendik acuh. Gadis itu berjalan ke arah Anna yang duduk di sofa single. Ia menyodorkan tangan tepat di hadapan Anna.
"Obatin!" perintah Vellice ketus.
"Astaga, Na. Kalau gue punya kakak kayak gitu, auto kabur dari rumah,"komentar pacar Atta.
"Lo siapa, sih? Cerewet bengat!"Vellice menyahut kesal.
"Dia Adel sama Dela."Atta mengenalkan kedua gadis yang berdiri di sisinya.
"Dela pacar gue."Ashad menambahkan.
Vellice menatap sebentar lalu mengendik acuh."Cepetan! Ngapain diliatin doang!"
Anna sampai berjengit saking terkejutnya karena sentakan Vellice. Gadis itu langsung berdiri lalu pergi mengambil kotak obat.
"Kalian nginep di sini? Enggak punya rumah?" tanya Vellice sinis.
"Sia-sia gue semalem ngerasa khawatir.” Gadis yang bernama Adel menyahut.
"Siapa suruh?"
Adel dan Dela memelotot kesal ke arah Vellice.
Anna datang membawa kotak obat. Vellice tetap duduk. Gadis itu menyodorkan tangan lagi ke Anna.Mau tak mau Anna duduk di lantai di depan Vellice karena Vellice duduk di sofa single yang tadi ia duduki.
"Pelan-pelan!" seru Vellice ketika Anna membuka perban.
"Astaga!" gumam Arlan. Arlan yang sudah selesai mandi langsung turun. Begitu melihat apa yang akan dilakukan Anna, ia merebut kotak obat dari tangan gadis itu."Minggir!"Arlan langsung duduk menggantikan Anna.
"Pelan-pelan!"Vellice mengingatkan Arlan.
"Iya, iya."
Arlan mengobati tangan Vellice sambil sesekali menimpali obrolan teman-temannya. Sementara Vellice tetap bungkam.
"Kalian mau pergi?" tanya Ari.
"Iya,” sahut Arlan.
"Itu bukannya baju yang lo beli di pinggir jalan itu, ya, Lan? Yang dijual bapak-bapak pake baju tipis?" tanya Atta sambil terkekeh kecil.
"O, yang dipajang di depan toko tutup itu? Yang ngalangin orang-orang buat jalan?" sambung Ashad.
"O, yang lo beli 30 rebu dua itu, Lan?" tanya Ari.
Vellice menatap tak suka ke arah mereka. Terlihat jelas niat mereka mengatakan itu. Mereka pasti ingin melihat reaksi Vellice.
"Hm, iya. Tapi, udah aku cuci, kok.” Arlan menyahut sambil menatap ke arah Vellice.
Gadis itu tak mengatakan sepatah kata pun. Ia merasa sedikit sakit hati. Bagaimanapun, Vellice pernah berada di posisi orang jualan. Saat dana bazar kampusnya kurang, ia dan beberapa teman berjualan di pinggir jalan. Banyak dari mereka yang membeli hanya karena kasihan.
Vellice menatap ke arah lain. Gadis itu menatap ke arah jejeran foto yang terpajang di ruang tamu. Tentu saja di deretan foto itu tidak ada fotonya. Tokoh Vellice sudah membuang semua foto tentang dirinya. Tokoh Vellice benar-benar membenci keluarga ini.
"Lama banget," gumam Vellice. Matanya menatap ke arah tangan.
Arlan balas menatap mata Vellice. "Ini udah mau selesai." Cowok itu sedang mengikat perban Vellice.
"Lo enggak jijik pake pakaian murahan itu?" tanya Dela terang-terangan.
Mereka dari tadi masih menunggu respons Vellice.
Vellice mengernyit ke arah mereka. Ia malas menanggapi hal seperti ini. Arlan sedang ke ruang tengah mengembalikan kotak obat.
"Kalian mau tahu satu hal?" desis Vellice."Gue pernah jualan kayak bapak-bapak yang bajunya tipis, kata kalian itu. Kalau cuma tahu ngabisin uang, enggak usah sok mendesak orang. Diri sendiri aja enggak becus, beraninya mojokin gue."
Mereka langsung menegang mendengar hal itu.
Arlan memeluk Vellice dari belakang. Cowok itu mendengar ucapan Vellice. Dirinya langsung terenyuh mendengar kata-kata yang keluar dari bibir gadis itu.
"Udah, ayo keluar!"
Vellice mengikuti Arlan yang masih merangkul pinggangnya.
Begitu Vellice dan Arlan keluar, mereka yang ada di dalam saling pandang. Lalu tanpa sadar menghela napas panjang.
***
Saat perjalanan ke pantai, Arlan melirik ke arah Vellice berulang kali.Setelah berpikir ribuan kali, akhirnya Arlan mengeluarkan suaranya.
"Aku udah baca yang kamu tulis di bukuku."
Vellice tak menanggapi. Gadis itu tetap menatap ke luar jendela.Tiba-tiba handphone-nya bergetar. Ia mendapat sebuah pesan dari nomor asing.
[Jangan lakukan itu!]
Vellice mengernyit aneh. Gadis itu memilih mengabaikannya.
Begitu sampai tujuan, Arlan membukakan pintu untuk Vellice. Cowok itu langsung menautkan tangan mereka.
"Enggak terlalu rame."Vellice berkomentar. Memang tidak banyak pengungjung yang terliat di san.
“Hm, tempat ini enggak terdaftar sebagai tempat wisata.”
"Tempat sebagus ini?"Gadis itu mengernyit.
Arlan mengangguk lalu membawa Vellice menuju penjual kelapa. Membeli dua buah untuk mereka nikmati sambil duduk di bawah pohon dengan selembar tikar.
"Ke sana!"Vellice menunjuk ke arah pantai."Pengen renang."
"Ayo!"
"Tapi kita enggak bawa baju ganti."
"Tinggal beli,‘kan?" tanya Arlan mengernyit bingung.
Vellice reflesk memukul kepala Arlan. "Boros!"
"Inget, siapa yang lebih boros dari siapa?" Ucapan Arlan membuat gadis itu merengut kesal.
"Tapi gue enggak bisa renang."
Kali ini Arlan yang mengernyit."Kamu barusan menang lomba renang, loh, Vel."
"Katanya mau dengerin cerita?"Vellice malah balik tanya.
Arlan menghela napas pelan. Begitu melihat minuman Vellice sudah habis, Arlan langsung mengajak gadis itu berdiri.
"Kemana?" tanya Vellice.
"Maen air." Arlan membawanya untuk menyewa loker."Handphone kamu taruh sini. Sekalian sandal juga."
Mereka menyimpan jaket, sandal, dan handphonedi sebuah loker yang memang disewakan di sana.
"Ayok!" seru Vellice mendadak bersemangat. Gadis itu berlari ke bibir pantai.
Arlan menyusul dari belakang.
"Hua, Arlan!" seru Vellice sambil tertawa lebar saat Arlan tiba-tiba menggendongnya sambil berlari.
Arlan berhenti berlari. Cowok itu kini berjalan santai.
"Gendong belakang, ya?" tawar Arlan.
“Capek, ‘kan, lo?” ejek Vellice.
"Enggaklah. Mana ada capek. Mau kuingetin berat badan kamu?" sahut Arlan membuat Vellice merengut. Arlan langsung menurunkan Vellice. Ia segera jongkok di depan gadis itu.
"Awas aja sampe nurunin di tengah jalan." Vellice segera naik. Tangannya memeluk leher Arlan, sedangkan dagu menempel di bahu cowok itu.
Untuk beberapa langkah, mereka lewati dengan saling diam. Hening sembari menikmati suara ombak dan tawa beberapa pengunjung di sana.
"Lan?"
"Hmm?"
"Jadi denger cerita gue enggak?"
"Jadilah! Awas aja sampe enggak cerita atau bohong!".
"Janji jangan nyela?"
Arlan mengangguk.
"Jadi... gue bukan dari dunia ini."
Arlan langsung menghentikan langkah.
"Maksud kamu?"
"Katanya enggak bakal nyela?"Gadis itu menggigit telingat Arlan.
"Aw! Iya, iya.” Arlan kembali melangkah menuju bibir pantai paling ujung.
"Kamu tahu yang namanya buku?"
"Tahulah!"
"Dibilangin jangan nyela."Vellice kembali menggigit telinga Arlan.
"Kan, kamu tanya!"Arlan membela diri.
"Percaya enggak kalau ini dunia di dalem buku?"
Vellice menghela napas lebih dulu. "Malem itu gue ketiduran sehabis baca novel. Cerita fiksi. Isinya tentang seorang cewek yang menjadi korban bullying kakaknya sendiri. Dia berakhir dengan cowok penyelamatnya. Sampe sini ngerti enggak?"
"Cerita dari buku yang kamu baca itu ceweknya si cupu, terus cowoknya si penyelamat, terus akhirnya mereka bersama. Gitu, ‘kan?"
Vellice mengangguk. "Cerita romantis. Percintaan remaja. Menurut lo, mereka pantes enggak?"
"Belum tentu. Kan, aku enggak baca ceritanya. Mana tahu ceweknya punya niat jahat atau cowoknya enggak tulus."Arlan berusaha rasional.
Vellice mendadak tersenyum lalu kembali mengigit telinga Arlan.
"Aw! Kok, digigit lagi, sih, telingaku?" sahut Arlan.
"Kakaknya Si Cupu tadi yang suka bullying dia, suka sama cowok yang jadi penyelamatnya Si Cupu tadi. Dia suka sama cowok itu sejak SMP. Setiap hari ngasih sarapan, makanan, ataupun susu ke si cowok. Dia begitu suka sama cowok itu. Menurut lo, kalau udah cinta bertahun-tahun gitu, kakaknya Si Cupu ini bisa move on enggak?"
"Enggak bakal. Cowoknya bodoh banget nyia-nyiain cewek kayak gitu. Bertahun-tahun, loh? Gadis itu emang terlihat sebagai tokoh jahat, tapi bukan berarti dia benar-benar jahat. Siapa tahu ada hal lain di balik itu."
"Kenapa mikirnya gitu? Kalau bener-bener jahat, gimana?"
"Ya, dulu aku juga selalu berpikiran seperti itu. Kalau jahat, ya, jahat. Enggak ada alasan seseorang buat jadi jahat. Tapi, entah sejak kapan, pemikiran itu berubah. Semenjak ketemu kamu. Aku nyesel enggak liat kamu dari dulu.Enggak tahu tentang kamu dari dulu."
"Kakaknya itu, dia benci sama adiknya gara-gara ayahnya. Suatu hari, tiba-tiba ayahnya datang bawa seorang gadis dan bilang kalau itu adiknya. Orang tua mereka bertengkar hebat. Tak lama, ibu dari si kakak bunuh diri. Dia tidak terima diselingkuhi sampai sudah memiliki anak lain. Apalagi, jarak antara kakak dan adik itu hanya satu tahun. Berarti, ayahnya berselingkuh setahun setelah mereka menikah atau bahkan sebelum itu."
Arlan tidak menyahut kali ini.
"Semenjak ibunya meninggal, ayahnya terus-menerus bersikap diskriminasi. Ayahnya terus-menerus memanjakan si adik. Kakaknya itu enggak pernah diurus sama sekali. Berhari-hari enggak makan pun ayahnya enggak peduli. Kalau seperti itu, bukan salahnya jika si kakak begitu benci sama adiknya, ‘kan?"
"Enggak salah, tapi sepenuhnya salah ayah mereka."
Vellice mengernyit kesal mendengar itu.
"Kalau si adik tahu kakaknya diperlakukan seperti itu, tapi tetap diam saja? Dia tetap bermanja-manja sama ayah mereka padahal tahu kakaknya menderita."
"Keluarga itu enggak ada yang beres."
Vellice mengangguk membenarkan.
"Puncaknya, saat kematian ayah mereka. Kakaknya sama sekali tidak peduli. Bahkan, ia kabur dari acara pemakaman ayahnya. Tak pernah mengikuti segala macam acara mengenai ayahnya. Seluruh keluarga jadi semakin benci sama Si Kakak. Mereka semua membenci kakak itu hanya karena apa yang mereka lihat dan dengar, bukan dari apa yang mereka selidiki." Air mata gadis itu kembali tumpah. Padahal, ini bukan cerita tentangnya. Ia hanya menceritakan tokoh Vellice dalam novel."Padahal, tanpa mereka tahu, ayahnya itu tanpa tahu malu meninggalkan banyak utang. Semua hutang itu ditanggungkan kepada sang kakak. Anak berumur belasan tahun disuruhn menanggung utang yang tidak tahu jumlahnya? Ada juga pengacara hukum yang menjamin hal itu. Jika Si Kakak memberitahu hal ini atau melimpahkan hal ini ke orang lain, makaSi Kakak akan mendapat hukuman penjara atas alasan pengkhianatan."
Arlan masih tekun mendengarkan cerita Vellice.
"Memang bukan masalah besar karena harta yang ayahnya tinggalkan sangat banyak. Si Kakak menggunakan semua uang itu untuk menutupi hutang ayahnya. Yang tersisa hanya tinggal beberapa juta. Bahkan tidak ada 10 juta. Dengan modal sepengetahuan semua anggota keluarga yang sok tahu semuanya, mereka menghakimi Si Kakak secara sepihak. Mereka berpikir, dana ratusan juta hanya diberikan kepada Si Kakak, sedangkan adiknya hanya mendapatkan rumah beserta isi. Semua anggota keluarga semakin membenci Si Kakak tanpa tahu alasannya! Mereka menghakimi gadis kecil itu dengan menggebu-gebu. Tanpa tahu apa saja yang ditanggung anak itu."
Vellice menghela napas. Menceritakan kembali isi novel itu, sebenarnya, membuat dia sendiri sesak.
"Mereka terus membenci Si Kakak. Bahkan, sampai Si Kakak meninggal, jenazahnya hanya diurus oleh petugas rumah sakit juga kepolisian. Tidak ada satupun anggota keluarga yang datang, termasuk adiknya. Padahal, kakaknya sampai bekerja keras hanya untuk membiayai sekolah adiknya sampai kuliah. Kakaknya bekerja sangat keras tanpa kenal lelah hanya untuk menghidupi mereka. Keluarganya tidak ada yang tahu bagaimana perjuangan Si Kakak sampai cerita itu selesai." Air matanya semakin mengalir deras. Ia bahkan menangis sesenggukan.
Tangannya semakin memeluk erat Arlan. Kepalanya ia sembunyikan di lekukan leher Arlan bagian samping. Bibirnya tepat di telinga Arlan, membuat cowok itu menahan emosi karena Vellice menangis.
" ... dan aku yang dari dunia lain. Dari dunia dimana tahu kalau itu semua hanyalah cerita fiksi yang dibuat seseorang. Tiba-tiba masuk ke dunia novel itu lalu berperan sebagai Si Kakak. Vellice namanya. Kakak yang dikenal jahat oleh semua orang. Adiknya Anna. Lalu, cowok yang ia cintai seumur hidup, bahkan sampai napas terakhir hanya nama cowok itu yang ia ucapkan. Cowok itu kamu. Kamu, Lan." Tangisnya semakin keras. Ia menggigit baju Arlan untuk meredam suara.
Sementara Arlan membeku. Hingga pekikan kesakitan keluar dari mulut. Dari hidungnya menetes darah. Vellice berteriak panik memanggil semua orang yang ada di sana.Mereka terjatuh seketika saat Arlan berteriak kesakitan.
"Tolong! Lan! Arlan!"pekik Vellice."Kan, nggak seharusnya gue cerita. Lan, plis!” Vellice berseru di sela tangis."Enggak usah senyum!" Tangisnya makin kencang ketika melihat Arlan mencoba tersenyum.
Beberapa orang datang membantu Vellice. Mereka menggotong Arlan. Rupanya sudah ada yang menelepon petugas darurat. Arlan segera dibawa ke ambulance. Setelah mengucapkan terima kasih dan masuk mobil, tangis gadis itu kembali pecah. Seorang petugas mencoba menenangkannya, tetapi tidak berhasil.
Begitu sampai di rumah sakit, Vellice masih saja menangis. Handphone dan sepatunya masih ia tinggal di loker. Dia kini seperti gembel yang berkeliaran di rumah sakit mewah.
"Maaf, tapi bisakah menghubungi sanak saudara pasien?" tanya seorang perawat.
"Handphone kita tertinggal di pantai."
"Bisa menggunakan telepon rumah sakit, Kak."Perawat itu menawarkan.
"Saya tidak tahu nomor mereka."
"Kami butuh persetujuan wali untuk melakukan tindak lebih lanjut."
"Apa yang terjadi?"Kekhawatiran meningkat di wajah Vellice. "Saya yang akan tanda tangan!" Vellice langsung merebut berkas dan perawat dan segera menandatangani.
"Apabila keluarganya datang dan menuntut Anda ....”
"Cepat! Lakukan apa pun!" Vellice memotong.
Ia melihat Arlan keluar dan dibawa ke ruangan lain. Vellice terus-menerus mengikuti kemanapun Arlan dibawa. Saat Arlan keluar tadi, dapat ia lihat hidung Arlan masih mengeluarkan darah.Arlan baru bisa masuk ruang kamar inap pukul 9 malam. Padahal, mereka masuk rumah sakit kisaran pukul 11 siang.
Kini, Vellice harus berhadapan dengan resepsionis yang meminta bayaran.
"Dompet saya masih tertinggal di pantai," kesal Vellice.
"Mohon maaf, Kak. Bisa minta tolong seseorang untuk mengambilkan?"tanya pihak administrasi.
"Tidak, saya tidak menghafal nomor telepon siapapun."
"Perkiraan pasien saudara Arlan akan bangun besok pagi pukul 8. Bisa minta tolong diambil dahulu, Kak? Maaf, ini sudah prosedur rumah sakit."
"Jaga dia!" seru Vellice kesal. Gadis itu segera berlari keluar dan langsung menghentikan sebuah taksi. Tadinya ingin jalan saja, tapi ia tidak tahu arah.Begitu sampai di pantai, situasi sudah sangat sepi. Vellice berlari bertelanjang kaki dari pintu masuk, jalanan menuju pantai terbuka masih berkerikil.
"Lo enggak bakal sakit lagi, ‘kan?" serunya kesal sambil melotot ke arah kaki."Kenapa enggak ada yang nunggu!"
Gadis itu berlari menuju beberapa nelayan. "Pak, maaf. Apakah yang menjaga loker masih ada?"
"Aduh, Non. Coba dicari ke warung sana."Seorang bapak menanggapi lalu menunjuk ke arah sebuah warung yang masih buka di dekat dengan pintu keluar.
"Terima kasih, Pak!"Dengan berlari, Vellice menuju warung yang dimaksud. Napasnya sampai terengah-engah. Begitu sampai di warung, Vellice baru ingat kalau belum makan seharian. Gadis itu mendesah lega saat melihat seorang bapak penjaga loker ada di sana.
"Pak, maaf. Bisa minta tolong bukakan loker?"
"O, iya, Non! Saya tungguin tadi. Takut ada yang penting.".
Mereka bergegas ke loker. Vellice segera memakai sandal. Tanpa alas kaki sakit juga. Gadis itu langsung kembali ke rumah sakit menggunakan taksi yang sama. Tentu saja sopir taksinya tidak akan pergi karena belum gadis itu belum membayar. Begitu sampai rumah sakit, Vellice segera mengurus pembayara. Gadis itu sedikit merengut karena merasa sia-sia bekerja 1 bulan penuh. Padahal, ia baru saja mendapat gaji minggu lalu.
Begitu kembali ke ruangan Arlan, cowok itu masih terlelap.
Vellice segera duduk di samping Arlan. Menidurkan kepalanya di sisi cowok itu. Ia menaruh tangan Arlan di atas pipinya. Telapak tangan Arlan yang hangat sedikit menenangkan keresahan hatinya. Karena kelelahan, gadis itu segera tertidur.
***
Arlan terbangun. Cowok itu menatap ke arah tangan lalu mengelus pipi gadis di sampingnya dengan lembut.Otak kecilnya mencoba memutar memoro apa yang membuatnya bersarang di rumah sakit. Arlan menatap panik ke arah Vellice begitu mengingatnya.
Ia menatap sekitar. Gara-gara dirinya, pasti Vellice sangat kesulitan.
Vellice terusik karena gerakan tubuh Arlan membuat rambutnya tertarik. Gadis itu terjaga. Arlan memperhatikan bagaimana Vellice mengerjap perlahan. Kemudian menguap samar; mengucek mata untuk memfokuskan pandangan. Semua gerakan gadis itu tidak ada yang luput dari perhatian Arlan.
"Udah sadar?" tanya Arlan sambil tersenyum begitu mata mereka bertemu.
"Udah bangun? Kepala kamu gimana? Masih sakit? Nyeri? Cenut-cenut enggak? Atau gimana?"Vellice memberondong. Gadis itu sudah berdiri dengan tangan menyentuh kening Arlan.
"Udah sembuh, enggak sakit lagi. Sekarang yang aneh, kenapa muka kamu pucet?"Arlan meneliti wajah Vellice. Memang, gadis itu tampak pucat.
Belum sempat Vellice mengelak, suara perutnya menjawab terlebih dahulu.
"Kamu belum makan?" Cowok itu langsung turun dari brankar dan berdiri, mencari sandal yang ia temukan di dekat sofa panjang kamar itu. Dengan membawa tiang infus, Arlan menautkan jari-jari tangannya dengan jemari Vellice lalu membawa gadis itu keluar.
"Kantin di sebelah mana, ya?" tanya Arlan ketika keluar.
"Lo tanya gue? Bukannya udah tahu asal gue dari mana?" Vellice balik bertanya.
Lagi-lagi membuat Arlan mengernyit kesal.
"Aku! Kamu! Vellice! Awas aja sampe bilang gue-gue lagi!" Arlan menarik tangan Vellice menuju ke arah kiri.
"Suka-sukalah."
"Coba bilang 'Kamu mau makan apa, Arlan?'"
"Lo ....”
"Kamu!"
"Kenapa, sih? Ribet banget cara manggil doang."
"Biarin. Biar bedalah! Enak aja aku disamain sama orang lain."
"Ye, gue kirain kenapa!" Vellice menoyor kepala Arlan pelan.
"Jadi, aku cuma tokoh fiksi, dong?" tanya Arlan tiba-tiba.
Vellice mengangguk membetulkan.
"Mereka juga? Semua yang ada di sini juga?"
Lagi-lagi Vellice mengangguk.
"Enggak masuk akal banget. Kita semua juga bernapas. Bisa gerak, bisa mikir juga. Masa cuma tokoh fiksi?"
"Nah, itu. Aku juga ngerasa aneh. Kayak dunia nyata,‘kan?"
Kali ini Arlan malah tersenyum lebar.
"Nah, manggilnya gitu. Jadi enak didengar, ‘kan?”
Vellice menatap malas ke arah Arlan.
"Kamu ... enggak akan pergi, kan, Vel? Iya,‘kan? Kamu tetep disamping aku,‘kan? Iya,‘kan? Kamu udah enggak mungkin balik ke dunia asal,‘kan? Kamu selalu di sini,‘kan? Iya,‘kan? Bener,‘kan? Kamu ....”
Mendadak cowok itu berhenti lalu mencengkeram erat kedua tangan Vellice sambil menatapnya.
***