|27| Fiksi

Seminggu berlalu semenjak Arlan mengetahui asal usul Vellice. Cowok itu terus menahan rasa sakit kepala sebagai ganti jika dirinya tidak mau berdekatan dengan Anna.

"Lan, jangan maksain gitu, dong!" seru Vellice kesal.

Arlan terus-menerus menempel kepadanya. Memang ia tidak melarang, tetapi ini berlebihan. Bahkan seminggu ini Arlan tidur di kamarnya. Cowok itu lebih memilih tidur di sofa panjang yang ada di kamar Vellice daripada kamar lain yang kosong. Arlan benar-benar takut jika melupakan Vellce lagi.

"Kepala kamu jadi sakit,‘kan? Ini aku enggak tahu arah! Mau kemana?" seru Vellice. Antara panik dan marah bersatu. Mereka sedang ada di dalam mobil.

Arlan yang tiba-tiba kesakitan saat menyetir, langsung berganti peran dengan Vellice. Namun, percuma. Vellice tidak tahu arah.

"Jalan lurus aja. Kiri jalan ada gedung tinggi namanya Lyly. Aku tinggal di sana.".

"Apartmen?"Gadis itu mulai melajukan mobil Arlan.

"Iya." Arlan meringis kesakitan. Lagi-lagi kepalanya seperti tertimpa beban berat.

Begitu menemukan gedung yang dimaksud, Vellice langsung memasuki gedung tersebut dan memarkirkan mobilnya di basement.Ia memapah Arlan menuju lift di sana.

"Lantai berapa?" tanya Vellice.

“Enam."

Begitu mereka sampai di depan kamar Arlan, Arlan segera memencet beberapa digit sandi.

"Siniin tangan kamu."Arlan meminta.

Walaupun Vellice bingung, gadis itu tetap menyerahkan tangan. Arlan menempelkan salah satu jari Vellice ke mesin kode pintu.

"Nanti kalau kesini, tinggal pakai sidik jari aja."

Begitu memasuki apartmen, Vellice mematung. Mulutnya menganga lebar. Ia memelotot. Kepalanya menoleh ke seisi ruangan.

"Kamu psikopat!?" kesal Vellice. Bagaimana tidak? Berbagai macam foto dirinya, mau ukuran terkecil atau terbesar, memenuhi semua dinding apartemen Arlan.Dari model lukisan sampai model foto yang dibingkai, semuanya ada.

Arlan langsung menarik Vellice menuju kamarnya.

"Kan, aku udah bilang biar enggak lupa sama kamu."

"Arlan!" teriak Vellice begitu melihat isi kamar Arlan.

Ada seperti tali memanjang dari ujung-ujung dinding. Total ada 8 tali. Lalu di setiap tali ada puluhan foto Vellice yang tergantung di sana menggunakan penjepit kecil.

Arlan langsung tertidur di ranjang. Cowok itu ternyata memang kesakitan.

Vellice duduk di depan meja Arlan. Ada banyak buku di sini. Berbeda sekali dengan meja belajarnya yang bersih dari buku.

"Ini apa, Lan?" tanya Vellice. Vellice memegang buku tebal berwarna hitam.

Arlan membuka mata, menatap ke arah Vellice.

"Beberapa informasi tentang kamu."

Kini, Vellice sibuk membaca isi buku itu. Tidak memedulikan Arlan yang masih kesakitan. Memang tidak ada obatnya, ia harus bagaimana lagi?

Vellice kesal dengan Arlan yang terlalu memaksakan diriagar bisa bersamanya. Namun, ia juga senang Arlan melakukan itu. Ia merasa hanya Arlan yang menginginkannya di dunia ini ataupun di dunia nyata. Di dunia nyata, bahkan pacarpun ia tak punya. Delapan belas tahun hidupnya dihabiskan sebagai jomlo.

Buku itu berisi beberapa macam keanehan dirinya. Juga beberapa adegan berbeda yang ada di ingatan Arlan. Vellice terus membaca. Ia terenyuh mengetahui Arlan begitu berusaha keras hanya untuk dirinya.Vellice sedikit terkejut ketika tiba-tiba ada yang memeluk dari belakang. Arlan memiringkan kepala di atas bahu Vellice. Hidungnya menempel dengan leher jenjang Vellice.

"Udah enggak sakit?"

"Enggak.” Suara cowok itu terdengar serak, membuat Vellice sedikit merinding.

"Enggak pegel bungkuk gini?"

Arlan langsung berdiri tegap. Cowok itu mengangkat Vellice.

"Eh? Eh?"

Arlan membawanya ke kasur. Cowok itu menaruh Vellice di sampingnya. Vellice memiringkan kepala, bersandar di bahu Arlan. Sementara Arlan bersandar di dinding belakangnya dengan kaki lurus.

"Pegel tahu rasa kamu!" sahut Vellice. Perempuan itu melanjutkan membaca buku Arlan. Ternyata banyak adegan yang Vellice rusak. Ia juga tidak terlalu ingat detail isi novel.

Seperti saat Arlan mengantarnya kerja. Seharusnya, Arlan sedang bermain dengan Anna di mal.Lalu saat Arlan menunggunya pulang hingga tengah malam. Seharusnya,cowok itu menemani Anna di rumah karena mati lampu.

Arlan menumpukan dagu ke puncak kepala Vellice.

"Jangan dielus! Entar aku ngantuk."

Tangan Arlan mengelus lembut dahi dan rambut Vellice.

Benar saja. Lima menit setelah itu, Vellice sudah terlelap. Buku yang ia genggampun terjatuh.

Arlan tersenyum lembut menatap Vellice. Ia tidak akan pergi dari sisi gadis itu. Ingatannya kembali terngiang akan kalimat yang pernah Vellice tujukan.

"Bisa tidak, bisa iya. Tapi, kemungkinan besar aku bakal pergi dari sini."Begitu yang dikatakan Vellice saat Arlan bertanya apakah ia akan tetap di sini atau kembali ke dunia nyata.

Gara-gara hal itulah, Arlan terus mengawasi Vellice 24 jam.

***

Hari sudah malam ketika gadis itu terjaga. Gelap. Tidak ada bedanya ketika membuka maupun menutup mata. Namun, ia tahu kalau ada yang memeluk. Wajahnya pun menatap dada Arlan.Apakah ia harus menggigit cowok itu lagi?

"Jangan gigit!" Arlan merasakan pergerakan kepala Vellice.

Setiap bangun tidur, Vellice selalu membuat gerakan yang justru bisa membangunkan Arlan. Sebenarnya, Arlam suda bangun saat gadis itu menggigitny. Namun, Arlan memilih untuk pura-pura tidur.

"Gelap," rengek Vellice.

"Sebentar."Cowok itu beranjak untuk mencari sakelar lampu.

Begitu lampu menyala, Vellice langsung menutup mata karena silau.

"Mandi dulu sana. Aku yang masak. Mau makan apa?”

"Mau makan di luar."

"Kemana?"

"Mau coba ke tempat kerjaku?"Vellice sedang off hari itu.

"Katanya ada kunjungan dari atasan hari ini, tapi aku, kan, libur. Penasaran aja. Belom pernah ketemu sama pemilik mal." Vellice tersenyum lebar. Ia hanya penasaran, tapi juga bersyukur karena ini jatah liburnya. Jika ia masuk, pasti aku dilanda takut seharian. Bagaimana kalau ia melakukan kesalahan?

"Beneran? Jangan malu, loh, ya?"

"Malu kenapa?" Gadis itu sedang memilih baju milik Arlan yang pantas untuknya."Besar semua,"sungutnya.

Arlan berdiri tepat di belakang Vellice. Cowok itu mengambil salah satu baju yang ada di gantungan. Sweater pink panjang. "Kamu enggak tanya kenapa aku punya baju warna pink?"

"Enggak. Emang kenapa?" Gadis itu menerima sweater dari Arlan.

"Aneh aja. Kan, aku cowok.”

"Di tempat asalku, banyak banget cowok yang pake baju pink, kok. Kan, lucu."

Arlan mengambil barang dari laci yang ada di lemari baju. Ia mengeluarkan sebuah totebag. “Nih!”

Vellice menerimanya. Di dalamnya terdapat leging panjang berwarna abu-abu.

"Punya adek aku. Dari tahun lalu titip suruh beliin, tapi enggak diambil-ambil."

"Dimana sekarang?"

"Ikut Mama sama Papa."

Vellice mengangguk. Sebenarnya, sudah tahu.

"Bukannya kamu udah tahu?"

Lah, bisa baca pikiran, tuh, orang!

Vellice hanya meringis. Gadis itu segera masuk ke kamar mandi.

***

Begitu sampai di mal, Vellice sedikit merasa risih karena hampir seluruh pegawai mal ataupun manusia di sana melihat ke arahnya.

Vellice berjalan sedikit dibelakang Arlan. Seandainya saja Arlan tidak menggenggam tangannya, gadis itu sudah kabur. Ia yakin, ini pasti gara-gara Arlan. Setiap hari kesini, tidak pernah sekalipun mendapat tatapan seperti sekarang

Begitu menaiki eskalator, Vellice bertanya ke Arlan. Gadis itu berada satu tangga di bawah Arlan.

"Kok, kamu tahu tempat kerjaku?” heran Vellice.

"Kan, kita mau makan. Di lantai dua, ‘kan?”

"Bohong! Kamu punya fotoku waktu kerja di sini."Vellice memelotot.

"Kamu kenapa berdiri di sana, si?" desis Arlan kesal. Cowok itu menarik pinggang Vellice ke arahnya. Mau tak mau, Vellice menaikkan kaki ke satu tangga. Kini, mereka sejajar.

"Kenapa mbak-mbak pada liatin kita, sih?" tanya Vellice pelan. Bahkan, penjaga keamanan yang ada di ujung eskalator menatap ke arah mereka.

Arlan menatap tajam orang-orang itu. Berani-beraninya mereka membuat gadisnya tidak nyaman.

"Udah enggak akan ada yang liatin lagi," sahut Arlan.

"Beneran?"

"Iya."

Vellice menatap ke arah sekitar. Benar saja. Tidak ada lagi yang melihat ke arah mereka.

Begitu menginjak lantai dua, Vellice refleks bersembunyi di belakang Arlan. Bila terlihat melotot ke arahnya. Dagu gadis itu menunjuk ke arah sekumpulan orang memakai jas yang ada di deretan meja.

"Bos Besar?" tanya Vellice tanpa suara.

Bila langsung mengangguk. Vellice melirik beberapa orang yang memakai jas di sana melalui celah bahu Arlan.

"Kenapa, sih? Kok, ngumpet gitu?" tanya Arlan. Cowok itu sedikit terkekeh geli. Kapan lagi dapat melihat tingkah absurd Vellice?Arlan menarik tangan Vellice menuju deretan meja yang ada di sana.

Begitu duduk, Vellice berbisik kepada Arlan."Lan, kayaknya kita harus pindah tempat, deh."

"Pindah gimana? Di sini aja, ah! Komplit tahu. Kamu mau makan apa aja, pasti ada!"Arlan sok-sokan mempromosikan tempat itu.

"Ya, tahulah! Kan, aku kerja di sini,"kesal Vellice. Tidakkah Arlan mengerti?

Seketika ia merasa takut jika bosnya mengetahui keberadaannya. Bagaimana jika dia dimarahi? Tapi, dia tidak punya kesalahan, ‘kan? Mengapa tidak kerja? Kan, jadwal libur gadis itu. Otaknya terus memikirkan hal-hal aneh.

Arlan duduk disampingnya. Posisi mereka menghadap ke arah stand kopi tempat kerja Vellice. Jadi, mereka membelakangi para bos besar.

"Mau beli apa?" tanya Arlan.

"Emm, kopi?" tanya Vellice.

"Kopi terus! Enggak bosen tiap hari minum kopi?"Arlan memelotot.

"Enggak apa-apalah.Biar omset tokoku naik,‘kan?" Vellice menyeringai.

Arlan berdecak. “Makan apa jadi?"

"Pizza!" seru Vellice. Sesaat matanya bertubrukan dengan Rafa yang melintasi mereka.

Rafa memelotot ke arah gadis itu.

"Suaraku keras, ya?"

"Enggak, kok."

"Bagus! Enggak pernah pulang, ketemu orang tua juga enggak nyapa. Anak siapa sih, ini, Pa?" seru seorang perempuan paruh baya. Dia menjewer kuat telinga Arlan.

Sementara Vellice sedang berusaha menetralkan wajah terkejutnya. Bukannya mereka para Bos Besar?

"Loh, ini siapa? Mantu Mama? Kok, enggak pernah kamu ajak ke rumah?"Perempuan paruh baya itu kembali bersuara. "Halo, saya Nindya. Orang tua Arlan."Tangan perempuan itu menggantung ke arah Vellice.

Dengan gelagapan, Vellice segera berdiri dan mencium tangannya."Vellice, Tante."

"Ini suami tante. Brian."

"Om."Vellice mengangguk kaku ke arah laki-laki paruh baya.

"Ma, jangan dibikin takut, dong!" seru Arlan kesal ketika melihat tangan Vellice yang mencengkeram bajunya.

"Loh, kamu takut? Aduh, duh, jangan takut, dong!"Nindya segera mengajak Vellice untuk duduk. Nindya dan Brian duduk di seberang mereka."Nah, gini, dong. Jangan sama gadis yang kemarin. Mama enggak suka. Gadis, kok, lembek banget," gerutu Nindya terang-terangan.

"Perlu Mama tahu, gadis yang Mama maksud itu adiknya Vellice."

"Loh? Kok, beda jauh? Nak Vellice ini, sekali lihat saja sudah keliatan kalau anaknya mandiri." Nindya langsung membandingkan.

"Mandirilah, Ma. Tahu enggak, Ma? Vellice kerja di si ... aw!" Ucapan Arlan terpotong karena cubitan keras Vellice.

Gadis itu kini meringis ke arah Nindya.

"Loh? Beneran? Wah, penilaian Mama memang selalu tepat." Nindya berucap bangga.

"Di stand mana?" Kali ini Brian yang bertanya.

"Kopi, Om."

Setelah itu, mereka terlibat obrolan yang cukup lama. Hampir semua pegawai di sana menatap mereka terus-menerus. Mereka sudah mengenal Vellice akibat insiden ulang tahun. Lalu, sekarang ia makan dengan direktur perusahaan besar yang memiliki mal ini.

"Pulang kemana?" tanya Arlan saat mobil yang mereka kendarai keluar dari mal.

"Rumahlah. Kemana lagi?"

"Ke apartemenku."Arlan menyeringai.

Gadis itu memelotot seketika.

***