Pagi ini, sekolah sedikit gempar karena tiba-tiba ada perpindahan murid secara masal dari sekolah lain.Vellice juga termasuk dari salah satu orang yang terkejut. Bukan karena tidak mungkin ini terjadi. Karena apa pun yang ada di dunia fiksi, bisa saja terjadi. Namun, cerita ini berubah total. Tidak pernah ada adegan para murid sekolah lain pindah ke sekolah Vellice.
Tidak pernah ada adegan itu. Apalagi, yang masuk adalah Lucas dan teman-temannya.Baru kali ini juga, Vellice mendapatkan tatapan datar dari Lucas. Dari cowok yang ia pikir selalu ramah kepadanya.
Saat ini, karena Vellice pusing sendiri dengan pikiran yang memikirkan Lucas masuk sekolahnya, maka Vellice memilih berlari menuju lapangan basket indoor. Di sana lah Lucas berada.
Vellice langsung berlari ke tengah permainan. Tentu saja membuat heboh seisi ruangan besar itu karena memang banyak yang sedang menonton.
"Gue salah apa?" seru Vellice.
"Menurut lo?" tanya Lucas.
"Lucas!"
"Minggir, deh. Bikin rusuh aja!"
"Enggak mau!"
"Mau tau apa salah lo?" tanya Lucas tajam. Tangan kanannya mengapit dagu Vellice. Hidungnya berada tepat lima sentimeter di depan hidung Vellice."Salah lo ada di sini!"
"Lucas!"Gadis itu kembali berlari mengejar Lucas hingga ke koridor sekolah yang sepi.
"Lice!" seru Arlan. Cowok itu berlari dari arah berlawanan, melewati Lucas, lalu memeluk Vellice erat."Maaf! Aku lupa kamu lagi! Maaf, maaf, maaf!"Cowok itu menyandarkan kepala di bahu Vellice.
"Enggak papa. Nanti aku ingetin lagi kalau kamu lupa." Vellice menyahut lembut dan menenangkan. Selalu seperti ini ketika Arlan melupakan dirinya. Cowok itu akan gemetar ketakutan. Vellice mengelus kepala Arlan lembut.
Ketika menatap ke depan, lagi-lagi ia mendapati tatapan datar dari Lucas.
***
Di siang yang terik, Vellice dikerjai oleh 4 orang teman gilanya. Mereka, secara mendadak meninggalkannya sendirian di sekola. Dengan alasan,"Salah lo sendiri, tadi ke mana aja? Dicariin enggak ada! Makanya, jangan pacaran mulu!"
Kini, demi menghindari jam olahraga yang tidak ada habisnya, Vellice memilih menuju perpustakaan.Begitu membuka pintu, sepi menyambutnya. Penjaga perpustakaan juga tidak ada di meja. Vellice memasuki ruangan itu. Ketika sedang melihat lorong-lorong rak buku, tatapannya membeliak menatap seseorang dengan sebuah novel di tangan.
Vellice berlari hendak merebut buku itu, tetapi suara kakinya yang berisik membuat cowok itu langsung menyadari keberadaan Vellice.
"Dari mana lo dapet buku itu?"Vellice mengirimkan tatapan tajam. "Lucas!"
Lucas pun menatap tajam Vellice.
"Pengacau!"
Vellice ternganga. Gadis itu tak menyangka dengan apa yang diucapkan Lucas. Bukankah selama ini Lucas peduli kepadanya? Lalu, kenapa cowok itu terlihat berubah sekarang?
Matanya yang berkaca-kaca menatap tepat ke arah mata Lucas. Kedua tangannya memegang baju seragam Lucas.
"Lo tahu itu bukan mau gue," ucap Vellice setelah hampir 20 menit hanya hening."Dari mana lo? Kenapa bisa di sini? Dapet buku itu dari mana? Kenapa lo di sini? Lucas!" Air matanya tumpah begitu saja hanya karena sorot mata Lucas yang menajam. Sorot mata penghakiman seolah manusia di hadapannya memiliki dosa paling besar. Sorot mata marah dan kecewa.
Bukannya menyingkir dari hadapan Lucas, Vellice malah memeluk cowok itu. Tidak memedulikan tubuh tegang Lucas yang terkejut karena tindakannya. Tanpa izin, Vellice memeluk sambil terus menangis.
"Aku cuma pingin hidup. Aku takut. Aku takut. Aku takut. Takut, Lucas."
Lucas tidak membalas pelukannya. Cowok itu hanya menunduk, menatap bagaimana kondisi gadis itu.
"Gue tanya, lo mau balik?" tanya Lucas.
"Gue bisa balik?"Gadis itu mendongak, menunjukkan wajah basah air mata dan memerah.
Lucas mengangguk sambil menghela napas."Pengacau kayak lo emang harus dipulangin."
"Ta-pi ...."
Gadis itu melamun. Berpikir, apakah ia akan terus menangis karena merindukan tempat ini? Ah, tempat ini atau hanya ... Arlan?
Bagaimana jika ia meninggalkan cowok itu? Apa yang akan terjadi dengan Arlan? Apakah ia akan langsung melupakannya? Atau terus menderita karena kepergiannya? Ia tidak akan membiarkan pahlawannya seperti itu,‘kan?
Tentu saja pahlawannya. Entah apa ia bisa menjalani hidup lama di sini tanpa cowok itu.
Disisi lain, ia sangat membenci Arlan. Sangat-sangat membenci bagaimana cowok itu terus-menerus mengisi hatinya. Setiap waktu demi waktu yang berlalu selalu ada cowok itu yang mengganggu hidupnya. Terutama, beberapa minggu ini. Di mana Arlan terus-menerus berada di dekatnya; menginap di rumahnya, membawanya ke tempat-tempat indah. Juga, cowok itu terus berusaha untuk mengingatnya.
Apakah Arlan akan menangis dengan gemetar ketakutan lagi ketika melupakannya? Seperti yang setiap saat dilakukan cowok itu. Arlan bahkan menangis walau hanya melupakannya selama 5 menit. Siapa yang akan rela jika meninggalkan cowok yang begitu berharga?
Namun, ia punya kehidupan lain. Banyak hal juga yang harus ia lakukan. Walaupun memang dikehidupan nyatanya juga sudah tidak ada yang namanya keluarga. Gadis itu tahu, kalau ia tidak bisa di sini terus-menerus.
"Kenapa? Lo bimbang, ‘kan?"Lucas menyipit ketika memandang Vellice. Tatapannya begitu sinis.
Tanpa menghindar, Vellice mengangguk. Tangis gadis itu kembali pecah. Tubuhnya kembali memeluk Lucas. Tiba-tiba, sebuah tinju mendarat di pipi Lucas. Cowok itu terdorong hampir jatuh. Untungnya, ia berpegang rak buku yang kokoh. Tangan satunya balik memeluk Vellice secara refleks agar gadis itu tidak jatuh.
"Kalau cemburu, liat kondisi!" kesal Lucas.
Cowok yang tak lain adalah Arlan langsung menarik Vellice ke pelukannya. Di sana, Vellice semakin menangis kencang.
"Lo apain dia?" seru Arlan. Matanya menatap tajam ke arah Lucas.
Lucas berdecih keras."Kalau lo tahu juga paling ikutan nangis."
Lucas berbalik menjauhi tempat itu. Tentu saja dengan sebuah buku yang masih ada dalam genggaman. Sebuah buku dengan sampul berwarna indah berjudulkan Alone Girl. Buku yang menceritakan tentang Anna dan buku yang sekarang ia masuki.
"Tenang dulu, oke? Ada apa, Lice?" tanya Arlan lembut.
"Aku ... enggak ... mau ... pergi."
Hanya sepenggal kalimat itu saja sudah membuat Arlan menegang.
"Kamu enggak akan pergi!" Terkesan egois memang, tapi kalian tidak akan mengerti bagaimana ketakutannya cowok itu sekarang.
"Tapi, aku nggak bisa di sini terus.” Vellice masih sesenggukan.
"Bisa. Kamu pasti bisa, kan, Lice?" ucap Arlan takut. Suara cowok itu bahkan melemah. Arlan memeluk Vellice erat. Tangan kanannya berada di kepala Vellice, sedangkan tangan kiri memeluk pinggang Vellice.Tubuh cowok itu mulai bergetar.
“A-ku mengacau. Aku tau ... aku salah. Enggak seharusnya aku di sini.” Vellice berkata di sela-sela sesenggukan.
"Lan, Anna pingsan!" Teriakan yang memekakkan telinga itu membuat dua manusia yang saling berpelukan berjengit terkejut.
Vellice melepaskan pelukan lalu menatap sendu ke arah Arlan. Gadis itu melihat bagaimana Arlan mencoba menolak hal yang seharusnya ia lakukan.
"Tinggal bawa UKS!" Bahkan, sorot sendu mata cowok itu masih mengarah ke arah Vellice.
"Udah, tapi dia teriak manggil nama lo terus! Anna belom sadar juga! Dia masih pingsan!" seru Atta panik.
"Gue enggak akan pergi." Begitu kalimat itu selesai terucap dari bibirnya, dengungan keras terdengar di telinga. Cowok itu terjatuh. Tangannya menyentuh kepala yang seperti tertiban benda berat. Hidungnya juga mulai mengeluarkan darah. Hanya rintihan kecil yang terdengar dari cowok itu. Arlan sudah bisa mengendalikan teriakan kesakitannya waktu demi waktu. Hanya untuk Vellice, ia rela terbiasa dengan rasa sakit. Bagaimana mungkin ada seorang gadis yang tega meninggalkan cowok seperti itu?
"Pergi!" ucap Vellice dingin.
Begitu mendengar suara itu, Arlan kembali membuka mata. Mata yang selalu ia sembunyikan ketika sakit mendera. Matanya menatap sendu ke arah Vellice.
"Pergi, Arlan."Kali ini, sorot mata Vellice terlihat dingin.
Arlan menggeleng kuat. Cowok itu tetap berada di sana.
Apakah kalian tahu berapa lama cowok itu akan merasakan kesakitan? Selama adegan dalam novel yang seharusnya terjadi. Jika saat ini seharusnya Arlan menemani Anna selama 1 jam, maka selama itulah cowok itu harus menanggung rasa sakit.
"Delapan jam! Kali ini 8 jam yang harus dilalui Arlan!" teriak Vellice."Lo harus nemenin Anna sampe di rumah! Nanti malem bakalan mati lampu! Pergi, Arlan! Pergi!" teriak Vellice frustrasi, tidak memedulikan kebingungan yang dirasakan Atta.
Arlan tetap menggeleng kuat. Cowok itu kini berbaring di lantai yang dingin. Meringkuk, dengan kedua tangan yang mencengkeram rambut.
***
Malam ini, ditemani gemerlap lampu yang indah, seorang cowok bagai dewa di dunia ini berada di sebuah balkon apartemen lantai 20. Kata demi kata membuat sebuah kalimat di dalam sebuah layar. Kalimat indah yang nantinya akan menjadi sebuah cerita indah. Cerita yang akan mengundang para manusia untuk membaca, menghujat, juga memujinya.
Awal mula dari semua ini adalah ketika ia menemukan sebuah keajaiban yang mustahil. Disaat perjalanan pulang dari seminar, secara mendadak dirinya seperti ditarik paksa ke suatu tempat. Munculah dirinya di sini. Di dalam novel yang ia sudah sangat hafal alur demi alurnya.Namun, banyak hal yang berubah. Ada seorang pengacau yang selalu mengganggu alur cerita.
Laptop tipis berwarna silver yang selalu ia bawa ke mana-mana mengikuti sampai ke dunia ini.Ketika pertama kali ingin memastikan apakah ia benar-benar ada dalam dunia novel, ia membuka sebuah file berjudul Alone Girl.
Saat itulah ia tahu segalanya telah berubah. Banyak alur yang tiba-tiba berubah. Yang paling penting adalah hampir semua naskah di sana terhapus.
Ketika Lucas membuka pintu hendak pergi,segerombolan cowok berdiri di depan pintu. Mereka menyerobot masuk ke apartmen.Ia dapat membaur dengan baik. Lalu, dari situ ia tahu lokasi sekolah para tokoh yang ia buat.Lucas terus-menerus berusaha memperbaiki alur cerita. Tentu saja ini akan merugikannya. Banyak sekali pembaca yang menyukai tokoh Anna. Tokoh Vellice memang hanya ia buat sebagai selingan saja.
Ketika kejadian di UKS, Lucas yang membuatnya seperti itu. Lucas mencoba mengetik kembali tulisan sesuai dengan alur yang seharusnya. Namun, tiba-tiba tulisan berubah ketika Vellice muncul. Terutama, saat Vellice mengatakan kenyataannya. Lucas mengernyit terkejut. Ia baru tahu, ternyata Vellice dari dunia lain. Dunia yang sama dengannya.
Ketika ia bertemu dengan tokoh Vellice pertama kali, ia merasa seperti menjadi penjahat paling kejam di dunia.Ia memang tidak ingin mengganggu gugat apa yang dilakukan Vellice. Namun, para tokoh di sini masih ada dalam pengaruhnya. Ia bisa membuat apa saja di sini.
Memang dirinyalah yang membuat Arlan terus-menerus merasa kesakitan.Ia bahkan tidak merasa bersalah sama sekali terhadap semua tokoh di sini. Yang ia lakukan juga demi kebaikan mereka.
Ketika Vellice nyaris bunuh diri, ia yang membuat semua itu. Cowok itu bahkan sengaja untuk terlambat. Ini peringatan untuk Vellice. Namun, apa? Yang terjadi keesokan harinya adalah malah Vellice menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
Lucas geram dengan kenaifan Vellice. Ia juga sangat membenci dirinya ketika tidak bisa marah saat bertemu gadis itu. Vellice terlalu rapuh untuk disalahkan.Sekuat apa pun pertahanan diri, Vellice selalu dapat menerobos ke relung hatinya. Bayangan perempuan itu menangis terus-menerus berkeliaran di pikirannya.
Lagi-lagi cowok itu menghela napas. Ia terlalu lama melamun. Ditatapnya laptop, sudah 3 jam ia membuat Arlan terus kesakitan. Vellice juga tidak berhenti menangis di pelukan cowok itu. Saat ini, Arlan dan Vellice berada di apartmen Arlan.
Lucas mengacak rambut frustrasi. Ini hanya sebuah tulisan, tapi bisa membayangkan bagaimana keadaan mereka sekarang. Cowok itu mengirim sebuah pesan kepada Vellice.
***
“Lan, pulang, ya? Ke rumahku, ya?” pinta Vellice di sela isakan.
Arlan masih tersenyum dan menatap sendu ke arah Vellice. Tangannya tergenggam erat gadis itu.
"Kita harus usaha,‘kan?" tanya Arlan dengan suara serak dan berat.
Cukup mendengar suara berat Arlan, Vellice kembali menangis keras. Gadis itu terduduk di lantai dengan kepala bersandar ke kasur. Sementara Arlan berbaring miring menatap Vellice.
"Aku ingin memelukmu,” lirihnya.
Vellice beranjak tidur di samping Arlan. Cowok itu langsung memeluknya. Vellice merasakan bagaimana tubuh cowok itu bergetar menahan sakit. Darah sudah tidak lagi keluar dari hidung, tetapi rintihan lirih terus keluar dari bibirnya. Dahi Arlan pun basah oleh keringat.
Vellice memijat pelan kepalanya. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Cowok di hadapannya ini sangat keras kepala. Seandainya ia kuat, pasti sudah menggendong Arlan dan membawa paksa pulang ke rumah. Mengurung cowok itu bersama Anna. Biarkan saja semua terjadi sesuai alur. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana.
Bukankah akan sama saja? Ketika mengikuti alur, hatinya akan sakit karena Arlan lebih memilih wanita lain. Namun, ketika Arlan menolak seperti ini, hatinya jauh lebih sakit karena sudah membuat cowok itu terus kesakitan.
Embusan napasArlan terasa di lehernya.
Dering handphone terdengar. Ia langsung mengambilnya. Bukan karena apa, tapi selama ini jika ada pesan masuk ke handphone-nya memang hanya karena Arlan. Tidak ada lagi orang lain yang memenuhi kolom chat di sana selain cowok itu.
[Besok kembali.]
Hanya dua kata, tapi cukup membuat gadis itu menegang di tempat. Ia refleks melempar ponsel menjauh lalu kembali memeluk erat Arlan. Kebingungan kembali melanda Vellice.
"Lan, kalau aku udah enggak di sini, kamu enggak bakal sakit lagi,‘kan?" tanya Vellice pelan.
Kalimat itu cukup membuat Arlan melepaskan pelukan mereka. Dengan sedikit rintihan, ia menatap tajam ke arah Vellice."Siapa bilang? Aku bakal jadi orang paling sakit, Lice."
Vellice menggeleng sambil tersenyum miris. "Tidak. Kamu akan lupa.” Tidak ada keraguan dalam kalimat gadis itu.
Ya, apa saja yang ditulis oleh penulis akan terjadi. Semua ini akan dengan mudah terselesaikan kalau dirinya kembali ke dunia nyata. Sekalipun, kenangan bersama cowok itu pun akan ikut menghilang.
Sungguh, ia tidak ingin hal itu terjadi. Namun, gadis itu juga sadar jika tidak mungkin selamanya ada di sini. Bukan hanya karena dirinya bukan dari dunia ini, tapi ia tidak bisa melihat Arlan terus kesakitan seumur hidup hanya demi dirinya. Tidak. Membayangkannya saja ia sudah ingin menangis keras.
"Enggak. Kamu enggak akan pergi kemanapun, Lice!" seru Arlan frustrasi. Cowok itu berteriak dengan suara berat.
Vellice hanya tersenyum miris menatapnya.
Arlan kembali memeluk gadis itu. Kali ini, tubuh Vellice ikut berguncang karena menahan tangis.
Mereka terus menangis, memohon kepada siapa pun supaya dapat menyatukan mereka dimanapun berada. Walaupun Vellice sangat tahu, itu adalah hal yang sangat mustahil. Walaupun Arlan tahu, sepenuh hidupnya dipegang oleh seorang manusia.
Cowok itu membuka laci nakas. Ia mengambil sebuah kalung yang memang sudah disiapkan untuk Vellice."Aku nggak tahu kenapa kamu tiba-tiba bilang gitu. Tapi inget, ke mana pun kamu pergi, sku akan selalu ada buat kamu. Aku bakal terus mencarimu. Aku bersumpah kita akan terus bertemu kedepannya. Tidak akan ada lagi hal yang dapat memisahkan kita, Lice."Cowok itu setengah duduk. Ia berkata sambil memasangkan kalung ke leher Vellice."Jangan nangis, oke? Kalau kamu mau pergi, pergilah. Jangan khawatir. Aku akan mengejarmu." Cowok itu mengusap pipi Vellice. Ia bersumpah tidak akan lagi membuat gadis di hadapannya menangis.
Tak lama merenung, mereka tertidur lelap karena lelah.
***
Pagi harinya, ketika matahari pagi mengusik mata, Vellice sedikit lega karena merasa dirinya sedang memeluk seseorang. Arlan masih di sini, di sampingnya, tapi kemudian ia teringat sesuatu. Kamar Arlan tidak memiliki jendela. Vellice refleks membuka matanya.
Tubuhnya membeku. Ia menatap sesuatu yang ia peluk. Sebuah guling kesayangannya. Juga, sebuah buku dengan halaman terbuka di sampingnya.
Benar katanya. Ia pulang.
***