Perdebatan-2

Minimarket tempat kerja Alenia lengkap menyediakan kebutuhan para pelanggan setiap harinya. Minimarket itu buka dari jam tujuh pagi hingga sembilan malam, ya tentu saja tidak sepanjang hari Alenia bekerja, ada dua sift bergantian dengan teman lainnya. Setiap siftnya ada empat orang.

Anugerah Minimarket, tentu saja tempatnya tidak semini dalam pikiran kalian, tempatnya cukup luas dan ber-AC. Meski gajinya tak seberapa tetapi pemiliknya sangat loyal, sering Alenia mendapatkan sekantung buah jeruk segar dan makanan khas Surabaya saat bepergian dengan isterinya.

Alenia mendapat sift dua hari ini, maka dari itu ia bisa mengambil gaji dan membeli beberapa bahan makanan di toko kelontong Ci Memey.

Alenia menghitung kembali uang sewa yang ia siapkan dalam amplop, keningnya mengerut dan menghitung kembali uangnya. Ia menatap pria yang duduk di ruang tamu dari sela pintu kamar.

Davis sedang menonton televisi dan bermain ponsel saat Alenia keluar dari kamar memakai seragam kerjanya.

"Jam berapa sudah berangkat?" tanya Davis melihat jam dinding.

"Mau ke rumah Pak Agustinus dulu, mau bayar uang sewa. Oh ya, Dav, kamu ambil uang tadi?" tanya Alenia.

"Kenapa? Apa enggak boleh? Kalau aku kerja kamu juga dapat uang dariku." Davis menjawab enteng.

"Bukan enggak boleh Dav, kamu ngomonglah jadi uang sewanya kutambahi, atau kau bisa minta." Alenia menjelaskan.

"Sama sajalah, begitu saja kau ributkan!" sergah Davis.

"Dav, aku hanya—"

"Mentang-mentang kamu yang bayar uang sewa dan masak bubur bawang, kamu jadi seperti ini?" tanya Davis menatap Alenia remeh.

"Aku berangkat dulu." Alenia memakai sepatunya dan keluar dari rumah.

Enggak akan selesai sampai dunia kiamat jika sifat Davis kumat.

Alenia menghela napasnya jika sudah berdebat dengan Davis soal uang. Itu bukan hal baru, memang, dan Alenia memilih pergi keluar atau menjauh menghindari perdebatan sengit merusak telinga tetangga.

Kini Alenia menunggu pemilik flat datang. Rumah bermarmer cokelat semu oranye itu mengkilap, menampilkan wajahnya yang kusam dan tak terawat.

"Oh, Mbak Alenia."

"Siang, Pak Agustinus. Saya datang mau memperpanjang sewa flat untuk bulan depan." Alenia menyerahkan amplop putih pada pria berkemeja abu-abu berlengan pendek.

"Saya terima ya. Apa ada keluhan di sana?" tanya Pak Agustinus.

"Tidak ada, Pak. Maaf sudah ganggu jam istirahat Pak Agustinus."

"Ah, tidak apa kok, Mbak Alenia." Pak Agustinus tersenyum ramah.

"Kalau begitu, saya mau pamit dulu, Pak." Alenia berpamitan.

Alenia memakai sepatunya dan berjalan keluar dari halaman rumah Pak Agustinus. Ia perlu berjalan keluar dari perumahan dan menghentikan angkutan umum untuk sampai di Anugerah.

Baru saja ia berhenti menunggu angkutan umum lewat, ponselnya berdering.

"Ada apa Ivy?" tanya Alenia pada penelepon di seberang.

"Kak, Kakak gajian 'kan hari ini? Ivy pengen beli tas, tas Ivy sudah bolong."

"Kakak baru saja bayar uang sewa, bulan depan saja, ya?" bujuk Alenia.

"Kakak jangan pelitlah, enggak mahal kok, hanya seratus lima puluh ribu saja." Ivy menjelaskan berapa harga tas yang diinginkannya.

"Bulan depan saja, ya?" tawar Alenia. Bisa ia dengar jika Ivy mengeluh.

"Maa, Kak Alenia enggak mau beliin."

Alenia menghela napas. Sebentar lagi, ia akan mendengarkan ceramah dari mama mertuanya, bisa dipastikan itu akan lama. Benar saja, adik iparnya yang masih belasan tahun itu mengadu pada mamanya karena tak dibelikan tas yang ia mau.

Mau apalagi? Alenia merasa uang gajinya hanya sedikit dan itu harus cukup sampai bulan berikutnya. Kurang? Tentu saja. Namun, kini ia harus memangkas sisa gajinya makin kecil lagi untuk menuruti keinginan adik iparnya.

Sepanjang jalan menuju Anugerah Minimarket, Alenia mendengarkan ceramah mama mertuanya.

"Ma, Alenia sudah sampai tempat kerja, nanti sambung lagi."

"Ingat semua yang mama katakan, Al! Adik Davis ya adik kamu, jangan pelit-pelit! Mau mati kelonin uang gaji seupil gitu, huh!" Mama mertuanya memberi wejangan yang kini terbiasa ia dengar.

Alenia memutus sambungan teleponnya, merasa harinya mendadak semakin suram saja. Pukul dua kurang sepuluh menit, ia sudah sampai dan siap bekerja bersama tiga orang temannya.

"Al, ada masalah ya?" tanya Lia, teman kerja Alenia. Pelanggan terakhir sudah pergi.

"Adik iparku meminta beli tas," jawab Alenia.

"Perasaan bulan kemarin adik iparmu minta beli sepatu, kali ini tas? Bukan maksud apa-apa, Al. Kakaknya saja enggak kerja, gajimu enggak seberapa, adiknya berulah." Lia berkata terang-terangan pada Alenia.

"Aku akan bicarakan sama Davis nanti, semoga dia mau diajak patungan." Alenia berharap.

"Mestinya gitulah, Al. Ivy itu 'kan adiknya." Lia mengiyakan.

"Aku harus cari kerja lain lagi kayaknya," kata Alenia.

"Duh, Al emang kamu enggak capek apa?"

Alenia tak bisa menjawab pertanyaan Lia. Bukan karena pertanyaannya sulit, jelas Lia tahu jawabannya. Akan tetapi, pengunjung Anugerah menyerahkan barang belanjaannya untuk ditotal.

-

Davis pulang dengan kesal. Bagimana tidak! Dia berniat untuk mengambil kredit sepeda motor bekas dengan DP murah, namun sepeda yang dijanjikan tak diberikan justru salesnya membawa kabur uang yang ia kumpulkan.

Ia telah ditipu. Davis mengumpat, ia kehilangan uang yang didapat dari pemberian wanita kaya itu dan dari gaji isterinya. Kini ia tak punya uang sepeser pun kembali. Berharap jika ia punya sepeda motor, meski bekas akan mudah untuk mendatangi kantor atau bisa memjemput isterinya pulang.

Kini, ia hanya bisa memukuli lututnya dengan kesal, menghabiskan sisa harinya dengan menonton televisi hingga bosan. Berkali-kali ia menengok smartphone-nya berharap dapat panggilan kerja dari sekian banyak surat lamaran yang ia kirimkan.

Ia tertidur karena bosan melanda, terbangun saat perutnya terasa lapar dan jarum jam menunjuk angka lepas pukul delapan malam. Davis menengok dapur, tak ada makanan bahkan bubur cair yang dimasak isterinya tak bersisa, capcay yang dibelinya tadi siang pun tinggal ampasnya saja.

Yang ada di lemari es hanyalah bahan makanan mentah, jikapun dimasak pasti menunggu nasi matang beberapa belas menit kemudian.

'Ah! Sulitnya jika tak ada Alenia. Maafkan aku, Al.'

Davis merogoh sakunya, hanya ada dua lembar uang puluhan, memutuskan untuk mengambil jaket dan keluar dari rumahnya. Ia melihat jam di ponselnya sebentar lagi jam kerja Alenia selesai, ia berniat membeli nasi goreng dan menunggu isterinya pulang, pastinya turun di depan gang dekat jalan raya.

Ia memesan dua bungkus nasi goreng dan harus antri bersama dua orang lainnya. Sekiranya selesai saat Alenia pulang. Sayangnya, itu sedikit benar karena nasi goreng pesanannya masih dimasak saat ia melihat Alenia yang berjalan lelah.

Alenia melihat sosok suaminya dari kejauhan berdiri bersama dua orang-lainnya. Ia mendekati suaminya itu, menanyakan mengapa berada di luar.

"Dav, sedang apa?"

"Beli nasi goreng sambil nunggu kamu pulang, sebentar lagi matang kok."

Alenia baru ingat jika ia tak memasak nasi untuk makan suaminya, jadi dipastikan Davis kelaparan menunggunya pulang.

Dua pria yang menunggu nasi goreng bersamaan dengannya melihat ke arah Alenia yang duduk di dekatnya. Davis segera mendekati isterinya, seolah menunjukkan bahwa wanita cantik itu memang miliknya. Alenia terlihat sedikit terkejut dengan sikapnya yang berbeda daripada siang tadi.

Tukang nasi goreng memberikan sekantung kresek berisi dua bungkus nasi goreng pesanan Davis. Davis memberikan uang terakhirnya dan menggandeng tangan Alenia pulang ke rumah mereka di lantai tiga.