Jika Aku Tahu-3

Davis mendahului langkah Alenia masuk ke dalam, seolah mempersilakannya masuk. Alenia melepas sepatunya dan segera masuk ke kamar mandi, rasanya seluruh tubuhnya lengket, tetapi ditahan oleh Davis.

"Al, makan dulu, yuk!" ajak Davis.

"Kamu makan saja dulu, Dav. Rasanya lengket semua," kata Alenia.

"Ya sudah, jangan lama-lama aku tunggu."

Alenia segera mengguyur tubuhnya dengan air segar, rasanya segala penat lelahnya luruh tak bersisa. Ia keluar dan mendapati aroma nasi goreng pembelian suaminya itu sudah tersaji di meja makan lengkap dengan sendok dan dua gelas air mineral, namun tak ada Davis di meja makan.

Davis segera mendekati Alenia di meja makan, mereka makan dengan nikmat dalam diam. Davis usai terlebih dahulu, sementara Alenia masih makan.

"Dav, tadi siang Ivy telepon. Dia minta dibelikan tas seharga seratus lima puluh ribu." Alenia bercerita.

"Bulan kemarin dia minta sepatu, sekarang minta tas besok apalagi? Jangan diberikan." Davis merasa Ivy memberatkan keuangan mereka.

"Mama tadi marah karena aku bilang pada Ivy kalau bulan depan saja karena sudah membayar uang sewa." Alenia bercerita kembali.

"Besok aku akan temui Ivy dan mama, kamu lanjutin makan dulu." Davis meminta isterinya melanjutkan makannya.

"Dav, kamu kan tahu kalau permintaan Ivy tak bisa diberikan lain waktu, kita patungan saja gimana? 'Kan kamu ada uang," kata Alenia mengutarakan idenya.

"E, uang itu habis. Terakhir buat beli nasi goreng kita tadi." Davis tercekat menjawab pertanyaan Alenia.

"Habis? Secepat itu, Dav?" tanya Alenia.

"Aku tadi temui Pak Solo. Berniat buat ambil kredit sepeda motor bekas tapi uang DP dibawa pergi." Davis menceritakan apa yang ia alami.

"Berapa?" tanya Alenia.

"Empat ratus ribu."

"Dav, 'kan sudah kubilang jangan percaya dengan orang yang baru kau kenal?"

"Aku tidak tahu jika gini jadinya, Al."

"Lalu Ivy gimana?"

"Soal Ivy, jangan dipikirkan aku yang tangani dia." Davis duduk di depan televisi kembali, ia membiarkan Alenia menghabiskan makan malamnya.

-

Manda pulang ke rumahnya dengan lelah. Seharian ia berkutat di balik meja kerjanya mengembangkan Emerald Two. Sebenarnya berita yang dikonsumsi publik tak sepenuhnya benar, bahwa Emerald Two adalah cabang Emerald pemberian suami pertamanya.

Itu kurang tepat. Usaha itu sudah dimiliki Manda dari sebelum menikah dengan suaminya itu , dan suaminya yang kedualah yang menyempurnakannya saja.

Suami, bagi Manda adalah pria yang sok berkuasa atas dirinya yang memanggilnya hanya saat butuh dilayani saja. Selebihnya isteri hanyalah sebuah status belaka.

Berbeda dengan suami pertamanya yang meninggal mendahuluinya. Tak lama mamanya menjodohkannya dengan pria yang seusia dengannya, yang kini dipastikan berada di kediamannya.

Sepi. Saat Manda datang, itulah yang dilihat oleh Manda saat pulang ke rumah suaminya, tetapi itu hanya sementara. Karena suara cekikikan khas wanita berada di balik sekat ruang tengah.

Ia melihat suami keduanya itu duduk menatapnya tajam. Manda hendak berbalik saat suara suaminya menyapa.

"Baru pulang? Apa senang diantar pria muda itu?" tanya suaminya itu.

"Aku baru pulang habis ketemu klien Emerald. Pria muda siapa?" tanya Manda balik.

Kian meminta wanita yang bergelayut manja di sisinya itu mengambilkannya minuman sementara ia berbicara dengan Manda.

"Apa aku harus sebutkan ciri-cirinya?" tanya Kian dengan senyum misteriusnya.

"Aku hanya bertemu dengannya saat dia bantu tasku yang dicopet, selebihnya tak ada apa-apa." Manda berkata jujur.

"Aku tidak suka dikhianati di belakang, Manda. Jika kau berniat pergi, langkahi aku di depan." Kian masih menyunggingkan senyumnya.

"Aku, ke kamar dulu."

Manda berbalik dan berpapasan dengan gadis bergaun putih yang tipis nun seksi membawakan segelas minuman berwarna pekat untuk suaminya. Catat baik-baik, suaminya.

Kian Callison tak mengenal cinta. Yang ada di benaknya hanyalah apa yang diberikan sesuai dengan apa yang diterima. Jika saat ini ia bersama seorang gadis dipastikan itu hanyalah untuk kesenangannya sesaat.

Gadis itu keluar dari rumahnya usai menyenangkan Kian. Tak peduli pada wanita yang berstatus isterinya menangis dalam diam di sudut kamar mandi.

Manda memeluk lututnya dalam tangis. Make-upnya luntur menampilkan wajah cantik alaminya, tak mengindahkan tubuhnya yang kedinginan berbalut pakaian yang ia kenakan saat bekerja.

"Jika tahu begini, aku tak mau menikah dengannya, Ma!"

Manda melepas pakaiannya yang basah, ia masuk ke dalam air bath-up dan tenggelam. Ia ingin segala sedih dan penatnya hilang tak berbekas.

Kisah cintanya tak semanis yang ia harapkan. Saat menikah dengan suaminya yang pertama, ia merasa seperti ratu yang diperhatikan dan dijunjung tinggi, meski tak bergelimang harta yang banyak, ia sangat bahagia.

Namun, kini? Ia merasa seperti di neraka. Pria yang menikahinya hanya menjadikannya pajangan saat tampil di depan publik, sementara di rumah? Tak ubahnya menjadi sebuah guci mahal yang hanya dinikmati keindahannya saja.

Manda keluar dari kamarnya, kediaman suaminya itu hening. Bahkan jika kau menjatuhkan piring ke lantai, gemanya akan terdengar seantero bangunan rumah megahnya ini.

Ia menuruni tangga, ruang tengah yang tadi suaminya berada kini lengang, melangkah ke dapur dan bertemu pembantu rumah tangga Kian yang setia.

"Nyonya mau makan malam?" tanya Bibi pada Manda.

"Bibi istirahat saja, Manda bisa sendiri kok." Manda menjawab.

"Tidak, Nyonya nanti tuan marah. Bibi siapkan makan malamnya ya?" tawar pembantu rumah Kian. Manda akhirnya mengiyakan saja.

"Tuan ke mana?" tanya Manda.

"Pergi baru saja." Bibi bersanggul itu menyiapkan makan malamnya yang terlambat.

Manda duduk di meja makan melihat pembantu rumah tangga Kian yang setia itu menyiapkan makan malamnya. Ia mengelus lenganya sambil melihat seisi rumah megah Kian.

"Rumah dan pemiliknya sama dinginnya. Tak ada kehangatan yang tercipta, dan sialnya aku seumur hidup akan jadi pajangannya."

"Silakan, Nyonya. Ada yang Nyonya perlukan lagi?" tanya bibi lagi.

"Tidak, tidak. Bibi istirahat saja." Manda menjawab segera.

"Baik, permisi selamat malam, Nyonya."

"Ya, Bi." Manda mempersilakan.

Manda makan dalam keheningan. Ia bisa saja menyetel televisi guna meramaikan situasi saat ini, tapi toh percuma mereka ramai di dalam televisi saja, tak nyata.

Bisa dipastikan bahwa Kian akan lama pulang, jadi ia tak perlu menunggunya hingga dini hari seperti waktu pertama kali ia datang ke rumah ini.

"Cukup kesekian kalinya aku menunggunya pulang- yang entah ke mana dan bersama siapa- hingga dini hari. Saat ia pulang pun, langsung masuk ke dalam kamarnya, tanpa menyapaku yang sudah menunggunya pulang."

Jadi usai makan malam, ia kembali ke kamarnya memainkan ponsel menjelajah sosial media yang ia punya hingga terlelap seperti malam yang sudah-sudah.

Benar apa yang ditaksir Manda, bahwa suaminya akan pulang saat jarum jam pendek sudah melewati angka satu. Ia pulang dengan wajah lelah dan sedikit mabuk masuk ke dalam kamarnya.

Blamm!

Manda terkejut. Ia terbangun mendengar debuman kencang di kamar sebelah, ia asumsikan itu adalah tanda bahwa suamimya itu sudah pulang. Manda memeluk teman tidur tak hidupnya, kembali meniti mimpi.